Mahar : 7,500,000,- (TERMAHAR) Tn. ANR, Duren Sawit Jakarta Timur
- Kode : GKO-241
- Dhapur : Carita Kaprabon
- Pamor : Dwi Warno (Pulo Tirto dan Wengkon)
- Tangguh : Cirebon (Abad XVI)
- Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 542/MP.TMII/IX/2017
- Asal-usul Pusaka : Cicalengka, Bandung
- Keterangan Lain : warangka dusun, keris corok, pamor jwalana
Ulasan :
CARITA KAPRABON, banyak sekali dhapur keris luk sebelas yang menggunakan nama depan ‘carita” seperti carita dalêman, carita pasaja, carita gênêngan, carita gandhu, carita bungkêm dan tentu saja yang paling tersohor adalah carita kaprabon. Keris ini memakai ricikan : kembang kacang, tikel alis, memakai jenggot susun (tetapi kadang-kadang tidak); lambe gajah dua. Ricikan lainnya adalah memakai sogokan rangkap, kruwingan, gusen, sraweyan dan greneng.
Menurut pitutur lisan, pada jaman dahulu hanya mereka yang mempunyai trah (keturunan darah biru) yang boleh memiliki dan menyimpan keris luk sebelas berdhapur Carita Kaprabon. Boleh dikata keris dengan dhapur ini adalah keris ningrat. Ditambah adanya kepercayaan unik, jaman dahulu bagi mereka yang memiliki keris dhapur Carita Kaprabon akan memelihara burung Gelatik Jawa (Java Sparrow) sebagai pasangan atau klangenan “sang mbahurekso” kerisnya.
FILOSOFI DAN MAKNA, Menurut kitab bausastra jawa (Poerwadarminta, 1939), carita: n. cariyos k. babad, dongèng ngêmot lêlakon; kc. crita ; kaprabon: kn 1 panganggo lsp. agêming ratu; 2 pangkating ratu; 3 pc. panganggo dhinês; kc. prabu.
Carita berarti cerita atau kisah, sebagaimana layaknya sebuah cerita, dalam lakon kehidupan manusia selalu ada tokoh ‘terpilih’. Sama halnya dalam drama, perlu adanya aktor/aktris yang menjadi tulang punggung pementasan. Dengan aktor-aktris yang tepat dan berpengalaman, dapat dimungkinkan pementasan yang bermutu.
Meskipun semua yang ada di bawah langit berjalan sesuai suratan atau yang telah digariskan oleh Sang Sutradara Agung. Kita semua yang hidup, tak sopan kiranya jika hanya menyerahkan segala urusan kepada Sang Khalik. Tuhan bukan kambing hitam, bukan pula obyek penderita. Tuhan tidaklah otoriter menentukan diri kita memilih ‘jatah‘, karena justru menghargai manusia sebagai pribadi utuh yang diberi kebebasan. Kebebasan untuk menentukan pilihan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi berbeda satu dengan yang lain.
Kaprabon berasal dari suku kata praba yang berarti sorot cahaya. Dapat pula bermakna aura yang memancar di seputar kepala. Keprabon merupakan sorot aura yang menandakan tingkat keluhuran dan kemuliaan seseorang. Makna khusus keprabon berarti tahta atau kekuasaan.
Sejatinya, jalan untuk meraih (wahyu) keprabon itu tidak mudah, penuh onak dan duri. Harus dijemput dengan ‘laku‘: mesu raga dan mesu jiwa. Tapi tidak setiap kegiatan laku batin itu akan mendapatkan (wahyu) keprabon karena persyaratan untuk memangkunya tidaklah mudah. Perlu menata solah dan bowo, serta melalui liku-liku perjalanan hidup yang berat. Dari berbagai peristiwa yang menimbulkan suatu penderitaan hendaknya dijadikan sebagai bentuk laku prihatin yakni dijadikan wahana penggemblengan hidup. Dengan demikian seseorang dimungkinkan untuk mencapai tataran kesadaran spiritual yang meningkat lebih tinggi. Berkat kesadaran spiritual yang memadai, akan terbentuk budi pekerti (bowo) yang luhur. Budi pekerti luhur bukan sekedar jargon, namun senantiasa disertai dengan sikap dan perbuatan (solah) yang benar-benar konkrit. Apabila seseorang dapat memiliki pengalaman proses spiritual sedemikian rupa berarti ia telah menjadikan dirinya sebagai “media tanam” yang layak bagi bersemainya “benih” (wahyu) keprabon.
Luk Sewelas (sebelas)
Dalam bahasa Jawa, angka 11 tidak disebut sebagai “sepuluh siji”. Namun, angka 11 disebut sebagai “SEWELAS“ (welas asih). Inti dari “welas-asih” atau cinta-kasih dalam bahasa Indonesia, atau dalam bahasa Arab-nya disebut “rahman-rahim”, adalah menjadikan seseorang layak disebut sebagai manusia. Artinya, jika seseorang tidak memiliki rasa welas-asih maka ia tidak layak untuk disebut manusia, lebih tepatnya sering disebut sebagai Buto mahluk tak beradab.
Demikian juga seorang Pemimpin diciptakan dengan rasa ‘welas asih’ seperti yang diajarkan oleh Semar selaku pamong para ksatria pandhawa yang terkenal membela kebajikan. Semar menghormati rakyat jelata lebih dari dewa-dewa. Semar tidak pernah ‘mengentuti’ rakyat, tetapi membuang kentut kepada dewa yang salah bekerja menjalankan kewajibannya. Semar (pemimpin) itu hakikatnya di atas, tetapi eksistensinya di bawah.
Selain itu ‘sebelas’ adalah angka 1 yang di ‘dobel’, sehingga dapat juga diintepretasikan menjadi semacam ada dua kekuatan tertinggi yang digabung menjadi satu, sehingga mampu mendorong potensi manusia menembus batas spiritual, kegelapan, misteri, dan berakhir pada pencerahan. Oleh karenanya pengertian Carita Kaprabon menyiratkan makna simbolis hubungan manusia dengan Yang Di Atas-nya, bersatunya keinginan manusia dengan kehendak Tuhan.
TANGGUH CIREBON, Selain menilik lokasi geografis keris ini terakhir diketemukan yakni di daerah Cicalengka Jawa Barat, perabot warangka sebelumnya, serta melihat bentuk (ciri gaya) pasikutan keris ini; mulai dari bentuk luk (kemba atau samar), bentuk wadidang, greneng, dimensi pesi hingga karakter material besi dan pamor yang masih banyak menggunakan besi “malela” (jenis logam yang bercampur seperti serat kaca dengan serat seperti kaca gemerlap) adalah khas keris “tangguh kulonan“.
Keris-keris tangguh Cirebon Awal masih banyak membawa pasikutan (langgam/gaya) leluhurnya yakni keris-keris Pajajaran. Dimana yang paling kentara adalah bentuk luk-nya yang kemba dan hemet (samar atau samun). Besinya khas dengan masih tingginya kandungan besi malela” tetapi memiliki kualitas bahan pamor yang berkesan ngapas atau kurang cerah. Keris-keris tangguh Cirebon Awal memang lebih ditujukan sebagai pusaka tayuhan yang lebih mengutamakan daya yoni/taksu, sesuai aliran keagamaan pada masa itu yang lebih ke arah tasawuf dan lahirnya tarekat Satariyah.
Era Cirebon Pertengahan (Madya) keris-keris mulai tampil semakin menarik. Pada masa ini muncul gaya yang lebih dinamis dimana tarikan luk mulai manis (rengkol) seiring dengan kekuasaan Mataram Amangkurat I dimana dominasi terhadap daerah priangan dan pesisir mulai masuk dalam hal politik dan budaya semakin menguat. Kekhasan era Cirebon pertengahan ini nampak diantaranya kembang kacang yang lebih menyerupai belalai gajah, penggunaan gonjo wulung (tanpa pamor, hanya menggunakan slorok baja), dan yang paling kentara adalah ukuran panjang bilah keris yang melebihi rata-rata pada umumnya dimana berani tambil lebih jangkung mencapai 41-45 cm. Keris-keris dengan panjang melebihi rata-rata ukuran keris jawa (normalnya 30-37 cm) dikenal dengan ‘keris Corok’. Keris ‘Corok’ juga dipercaya mempunyai daya spritual melebihi keris-keris pada umumnya.
Kemudian pada masa Cirebon Akhir, dimana dominasi kolonial baik langsung maupun tak langsung mulai mempengaruhii kebijakan politik keraton, melahirkan babak baru dalam melahirkan persenjataan di Cirebon. Produksi massal senjata fungsional perang dan pusaka sangat banyak dalam rangka mendukung peperangan melawan tirani asing.
TENTANG PAMOR, dalam ajaran kuno disebutkan; baja memberikan ketajaman, besi memberikan keampuhan dan pamor memberi cahaya kepada tosan aji, sehingga orang Jawa sering menyebutnya dengan ‘wahyunya besi’ (bersatunya bapa angkasa aka meteor dengan ibu bumi aka besi). Pamor yang merupakan ‘tulisan’ atau enskripsi sang Empu adalah salah satu hasil kebudayaan perlambang, sedangkan lambang itu sendiri bagi manusia merupakan wujud doa, harapan dan cita-cita tertentu.
PAMOR DWI WARNO, dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa merupakan istilah untuk menunjuk keris yang satu sisi bilahnya memiliki dua macam motif pamor dominan yang berlainan. Misalnya pada bilah ini terdapat motif pulo tirta dibungkus dengan wengkon.
PAMOR WENGKON, Bentuknya seperti alur garis yang tak putus mengelilingi sepanjang tepi bilah keris. Tuahnya dipercaya bersifat perlindungan bagi pemiliknya agar terhindar dari bahaya tak kasat mata juga memberikan perlindungan terhadap godaan batin.
PAMOR PULO TIRTA, pulo = pulau tirta = air, secara harafiah berarti pulau (di tengah) air (laut). Adalah salah satu motif pamor yang bentuk gambarannya sepintas lalu mirip gugusan pulau di tengah lautan air. Dianggap sebagai pamor yang memiliki tuah yang dapat menambah ketentraman keluarga, rezeki dan luwes dalam pergaulan. Diantara pamor pulo tirto kadang-kadang terselip pamor jwalana (tiban) lain, seperti pada bilah ini ada setidaknya 3 macam pamor jwalana yakni; kalacakra, gunung perak, galubung emas.
KALACAKRA, menempati bagian sor-soran tosan aji dimana bentuk gambarannya seperti pada gambar di atas. Bagi mereka yang mempunyai kekuasaan, tuah atau taksu pamor ini bisa menjadi salah satu back-up pendukungnya. Selain itu, tuah pamor ini juga dapat dijadikan penangkal untuk melemahkan semua energi datang yang sifatnya kurang baik. Ditinjau dari cara pembuatannya, pamor kalacakra ada dua macam. Yang pertama adalah bentuk rekan atau dirajahkan dalam bentuk gambaran tertentu oleh sang Empu, sedangkan yang lain adalah kodrat atau tiban (yang terbaik) atau tanpa rekayasa sang Empu.
GUNUNG PERAK, wujudnya sebuah pusar-pusar yang besar di sraweyan (gb. atas) Khasiat : lekas tercapai maksudnya jika mencari untung, dapat memiliki simpanan harta.
GALUBUNG EMAS, berupa pusar-pusar di dalam pamor lain (gb. atas) . Tuah : banyak rejeki, selamat dikasihi atasan dalam pekerjaan, dihormati orang lain, membawa banyak simpanan harta dan kekayaan.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : 5C70B435 Email : admin@griyokulo.com
————————————