Sombro (Tindih)

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 5,000,000 (TERMAHAR) Tn. ON, Jelambar Jakarta Barat



  1. Kode : GKO-235
  2. Dhapur : Sombro
  3. Pamor : Beras Wutah
  4. Tangguh : Pajajaran (Abad XII)
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 463/MP.TMII/VII/2017
  6. Asal-usul Pusaka : Bogor
  7. Keterangan Lain : warangka baru, mendak dan hulu kayu arang primitif cirebon lawas

 

Ulasan :

SOMBRO, sebenarnya adalah bukan ‘pakem‘ nama dhapur keris, tetapi dengan menyebut nama  ‘sombro’ orang-orang perkerisan sudah akan paham keris dengan bentuk ricikan spesifik seperti apa yang dimaksud. Dimana penyebutan nama dhapur Sombro merujuk untuk keris dengan bilah pendek (sejengkal) dengan ricikan pejetan dangkal. Penampilan kerisnya sederhana dan cenderung  agak wagu, tetapi besinya tergolong pilihan, padat dan tempaannya matang. Permukaan bilahnya terdapat lekukan-lekukan, lekukan ini seolah diartikan bekas pijitan tangan sang Empu. Banyak diantaranya tergolong ganja iras (ganja menyatu dengan wilah).

KERIS TINDIH, sebutan bagi keris yang dianggap mempunyai tuah yang baik bagi para kolektor tosan aji. Di kalangan para koletor tosan aji, sering ada anggapan bahwa diantara keris koleksinya mungkin ada yang tidak cocok dengan dirinya atau mempunyai pengaruh (tuah) kurang baik. Walau demikian, ia merasa sayang untuk melarung atau memaharkan. Untuk menetralkan atau menangkal pengaruh negatif atau kurang baik dari keris-keris tersebut, biasanya para kolektor memiliki apa yang dinamakan keris tindih. Keris ini dipercaya mempunyai kekuatan yang dapat meredam segala pengaruh buruk dari keris lain yang ditakutkan berimbas negatif, baik bagi pemiliknya maupun keluarga sekitarnya. Dengan memiliki satu atau beberapa buah keris tindih, dipercayai akan memberikan ruang nyaman dan sisi yang lebih aman bagi sang pemilik.

Banyak kepercayaan yang berkembang di dalam masyarakat perkerisan mengenai keris tindih ini :

Pertama, adalah mutlak keris tindih berasal dari tangguh sepuh sanget, utamanya sebelum Majapahit seperti Singosari, Kediri, Jenggala dan tentu saja yang dianggap paling ngedap-ngedapi (top) meskipun jarang yang diketemukan dalam kondisi wutuh tentu saja adalah tangguh kabudhan/purwacarita. Kepercayaan ini juga bukan tanpa dasar, karena pada dasarnya budaya patriarki Jawa mewariskan untuk tidak hanya selalu menghormati orang tua sendiri tetapi juga orang yang lebih tua. Kearifan lokal ini tampaknya terserap dalam budaya tosan aji. Dimana diyakini secara alami, sifat gaib keris-keris yang lebih muda umurnya (tangguh-nya) akan menghormati keris-keris yang lebih tua umurnya. Pemahaman secara ilmiah mengenai material kabudhan pun bisa diterima akal. Dari hasil pengamatan penulis besi kabudhan memang mempunyai karakter tempa dan material yang khas. Tidak harus jauh-jauh harus meneropong melalui kerisnya, bahkan kudi-kudi temuan pun memiliki besi material yang kurang lebih serupa. Jika kita merendam kudi dengan air kelapa yang putih bilah pun akan cepat menjadi putih bersih, tetapi jika air kelapa baru itu kita gantikan dengan air yang kotor besinya pun akan cepat menyesuaikan menjadi hitam. Tampaknya besi yang dianggap kabudhan memiliki sifat menyerap ‘apapun’ dengan cepat, termasuk diantaranya dipercaya menyerap energi yang kurang baik.

Kedua, ada yang meyakini keris tindih tidak harus berasal dari tangguh sebelum era majapahit. Filosofi yang tertanam dalam tosan aji justru lebih menentukan karena menyangkut doa awal ketika pusaka tersebut dibabar. Sebagai contoh tidak hanya keris tetapi Tombak, misalkan Tombak Banyak Angrem (soang atau angsa yang sedang mengerami telurnya). Masyarakat Jawa memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya nenek moyang kita sangat terinspirasi oleh kejadian-kejadian alam sekitar. Di dalam kehidupannya angsa memiliki rasa kekeluargaan dan toleransi yang kuat. Ketika sang betina sedang mengerami telur, sang jantan menjaganya. Kemudian dijaganya pula sang betina dan anak-anaknya terhadap serangan atau adanya ancaman yang membahayakan keluarganya. Selain itu adalah hal lumrah  Angsa digunakan sebagai “satpam penjaga” rumah sebagaimana anjing. Angsa sangat teritorial, mereka fanatik menjaga wilayahnya mirip anjing. Dan siapapun yang masuk kedalam wilayah ini akan membuat mereka berteriak, marah, atau menyerang. Disaat bertelur, sifat teritorial mereka malahan lebih ekstrem menjadi menyerang siapapun mendekat.  Muka angsa yang tampak bodoh adalah menipu, karena mereka cukup cerdas mengenali manusia. Mereka hapal siapa tuannya dengan baik. Anjing penjaga jika dilempar dengan daging akan diam dan asik makan. Menyogok angsa diam adalah suatu usaha yang akan lebih banyak berujung kegagalan total. Angsa di kala makan justru akan berisik. Angsa tidak bisa disuruh diam dengan makanan. Terlebih hanya angsa yang dipercaya hewan yang tidak bisa disirep (dipengaruhi) oleh ilmu sihir.

Ketiga, mereka yang memahami keris tindih sebagai konsep spiritual yang tentu saja diyakini secara personal, maka kesemuanya akan menjadi flexible (subyektif); apapun tangguh dan dhapurnya hingga bagaimanapun bentuk fisik tosan aji adalah hak prerogatif sang pemilik benda pusaka untuk menyematkan gelar tituler sebagai pusaka tindih. Sebagai contoh keris Sombro banyak dipercaya sebagai tindih untuk menetralisir pusaka-pusaka yang ‘ganas’. Walaupun secara usia masih sejaman dengan era Pajajaran atau Tuban Majapahit dan dalam pakem dhapur keris nama sombro tidaklah eksis. Tetapi ada hal besar lain yang diyakini. Empu Sombro adalah satu dari sedikit jumlah Empu  wanita di Nusantara. Dengan kelas gender yang tidak sama dengan kebanyakan Empu lainnya, induksi yang ada pada keris-keris ciptaanya dipercaya memiliki bobot spiritual berbeda yang sifatnya melengkapi kekurangan yang ada, hingga ngademke (mendinginkan).

TANGGUH PAJAJARAN, tantingannya ringan karena bilahnya seringkali tipis dan ukurannya tidak terlalu panjang, pamornya putih berkesan ngambang, rabaan material besinya sangat halus, berserat dan keras sekali sebab sepuhannya benar-benar tua. Pejetan-nya tampak samar dengan bentuk gandhik yang agak wagu. Secara keseluruhan bilahnya masih cukup wutuh, digdaya menghadapi gempuran sang kala (waktu). Dari sisi samping (sisi tajam) tampak lekukan-lekukan yang oleh orang-orang perkerisan sering dipahami dengan bekas pejetan tangan. Yang menjadi keistimewaan bilah ini adalah wangi pada besinya yang mirip dengan sabun, meski dilakukan perawatan dengan wangi minyak lain, dan dimasukkan dalam warangka baru (biasanya bilah menyerap aroma kayu baru atau pernis) ketika kering aroma besi akan kembali lagi seperti wangi awal. Orang tua atau sesepuh jaman dahulu sangat menggandrungi jenis besi beraroma ‘rempah’ karena dianggap bukan besi sembarangan melainkan besi kelas ‘pusaka’. Semakin manis dipadukan dengan garan cirebonan primitif yaksa (buta bajang) sedang dalam posisi jongkok pralambapada-asana di atas kelopak bunga padma berbentuk segitiga ‘tumpal’.

PAMOR BERAS WUTAH, Secara denotasi adalah beras yang tumpah, sedangkan secara konotasi adalah simbol tanggung jawab seorang laki-laki sebagai suami, ayah dan kepala keluarga yang berkewajiban untuk menafkahi keluarganya (sandang, pangan dan papan). Dan sebagai istri dengan sepenuh hati menerima amanat (mengatur ekonomi keluarga) yang besar untuk mampu mengolah apa yang telah diberikan oleh suami dengan sebaik-baiknya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *