Sabuk Inten Mataram Sultan Agung

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4,950,000,- (TERMAHAR) Tn. YG Tambun, Bekasi


 keris-indonesia keris-sabuk-inten-tangguh-mataram-sultan-agung
  1. Kode : GKO-181
  2. Dhapur : Sabuk Inten
  3. Pamor : Beras Wutah
  4. Tangguh : Mataram Sultan Agung Abad XVI
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 535/MP.TMII/X/2016
  6. Asal-usul Pusaka : Surakarta
  7. Keterangan Lain : sogokan terutama bagian depan korosi, jejeran kemuning werut

warangka-ladrang-solo sertifikasi-sultan-agung

Ulasan :

DHAPUR SABUK INTEN merupakan salah satu bentuk dhapur keris luk sebelas. Ukuran panjang billahnya sedang, permukaan bilahnya nglimpa. Keris ini memakai kembang kacang, lambe gajah. Ricikan lain yang terdapat pada keris Sabuk Inten adalah sogokan depan dan belakang, sraweyan, dan ri pandan atau greneng.  Salah satu pusaka koleksi keraton Kasultanan Yogyakarta yang berdhapur luk 11 Sabuk Inten adalah KK Wisa Pramana. Warangkanya terbuat dari kayu timoho nyamel (gambaran berupa motif tidak menentu, tetapi secara umum mendekati bulat) dengan pendok terbuat dari suasa (Suasa adalah bahan yang terbuat dari campuran emas dan perak serta tembaga). Mulanya keris itu dibuat atas pesanan Sri Sultan HB II raja yang terkenal dengan sebutan Sinuwun Sepuh, yang sempat pula dua kali dilengserkan dan tiga kali naik tahta. Kemudian keris tersebut diwariskan pada salah seorang putranya yang bernama Panembahan Mangkurat, kemudian diwariskan kepada Tumenggung Reksanegara dan oleh Sri Sultan HB V KK Wisa Pramana ini ditarik kembali dan dijadikan pusaka keraton. Sabuk Inten juga dianggap dhapur keris yang wajib dimiliki oleh seorang kolektor.

Dhapur Sabuk-intên ika | maknanipun sosotya luwih adi | murade atinirèku | dene ta rahsanira | kamulyaning manungsèku tinartamtu | kudu anganggo sarengat | tatakrama kang prêmati ||…… Serat Centhini.

FILOSOFI, bentuk Sabuk Inten artinya adalah permata yang sangat indah, sebenarnya yang dicari maksudnya tidak lain dan tidak bukan adalah hati manusia sendiri. Adapun rahasia maknanya adalah bahwa derajad kemulian seorang manusia sudah ditentukan sejak lahir, tinggal meraihnya saja dengan cara memperhatikan syariat tata krama yang pantas (tidak menghalalkan segala macam cara).

Istilah “Sarengat” berasal dari bahasa Arab syari’at (syara’a), yang berarti menuju ke sumber mata air yang tiada habisnya. Syari’at juga berarti jalan lapang yang lurus, tidak belok-belok. Kata syari’at dalam arti lebih dalam adalah semua firman yang ditetapkan oleh Allah untuk umatnya, juga Sunnah Rasullulah SAW yang berupa ucapan, teladan maupun takrir (ketetapan). Maqom (tataran, kedudukan) yang paling awal untuk mencapai ma’rifat adalah sebagai dasar lumadi (mengabdi) kepada Gusti Allah, manusia haruslah paham dulu dasarnya yaitu sarengat (syari’at). Sarengat untuk mengatur hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, hubungan horizontal manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan dunia dan seisinya. Pemahaman akan sarengat adalah ilmu fiqih, yaitu ilmu tata cara beribadah yang benar, sembahyang, puasa, zakat, utang-piutang, jual beli dan lain sebagainya. Tataran (maqom) dasar ini harus dilewati sebelum merambah ke tataran selanjutnya, dan tataran awal tersebut tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Ketika manusia mengenal rahasia sarengat maka dia telah mencapai tingkat ketulusan batin  dan mencapai derajad lebih tinggi diantara sesamanya.

PAKELUN – MATARAM SULTAN AGUNG, Tangguh/pasikutan zaman ini banyak beragam karena banyak reformasi dibidang seni, budaya dan penanggalan, masyarakat umum diberi kebebasan untuk memiliki keris dan para empu diberi kebebasan untuk membuat kreasi karya terbaik, sehingga pesikutan sangat beragam sejak awal pemerintahannya. Para empu juga melestarikan dengan membuat pula model keris sebelumnya dengan memadukan ciri khas era mataram Sultan Agung.  Ketika  merencanakan mengempur VOC di Batavia,  Sultan Agung mempersiapkan diri melengkapi peralatan perang. Sultan Agung mengumpulkan empu – empu dan pande besi yang ada di daerah kekuasaan Mataram. Para Empu tersebut berasal dari seluruh penjuru tanah jawa berjumlah 800 dikumpulkan di Mataram untuk melaksanakan perintah membuat keris, tombak, meriam dan senjata perang lainnya, peristiwa inilah yang disebut “Pakelun“. Kata kelun artinya penguasaan menyeluruh atau mutlak. 800 orang empu ini kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok dipimpin oleh empu senior (empu tindih) dan kepadanya diberikan pangkat lurah mantri, berjumlah 8 orang yakni:

1. Ki Tepas, Empu berasal dari Semarang

2. Ki Salatea, Empu berasal dari Tuban

3. Ki Mayi, Empu berasal dari Jawa Barat.

4. Ki Legi, Empu keturunan Ki Supogati dari Majapahit

5. Empu Gedhe, Anak Empu Cublak dari Pajang.

6. Empu Luwing, Empu berasal dari Semarang, dimana eyang buyutnya adalah Mpu Ki Koso Madura.

7. Ki Guling, Empu berasal dari Mataram

8. Ki Ancer, Empu berasal dari Kalianjir.

9. Ki Tundhung, Empu berasal dari Kudus, yaitu Ki Supo Enom (Jokosupo II), yang diangkat membawahi semua empu (Empu Jejeneng), dan diberi gelar oleh Sultan Agung: Pangeran Sendhang.

Berbeda dengan keris buatan Empu pakelun Majapahit yang keris-kerisnya mempunyai satu gaya, satu pasikutan, keris-keris karya Empu Pakelun Mataram lahir dengan membawa gaya masing-masing Empu. Seperti keris Sabuk Inten ini, dari bentuk sor-soran dan bagian gandik terutama bagian blumbangan dan bentuk sekar kacang masi membawa karakter majapahit juga besinya. Karakter pamor yang mubyar dan bentuk gonjo sebit rontal bercorak Mataram sejati. Berkesan  anggun dan cantik menarik hati siapapun yang menatap.

luk-sebelas pamor-meteorit

gandik-sabuk-inten beras-wutah-sultan-agung

PAMOR BERAS WUTAH, Berarti “beras tumpah”, oleh kebanyakan penggemar keris dianggap memiliki tuah yang dapat membuat pemiliknya mudah mencari rejeki, berkelimpahan. Oleh sebagian ahli tanjeg dikatakan bahwa di dalam pamor ini tersembunyi tuah lain yang baik. Bagi lelaki Jawa yang telah menikah, pamor ini juga mengingatkan akan tanggung jawab lelaki sebagai kepala keluarga untuk bertanggungjawab menghidupi / menafkahi keluarganya, sebagaimana tercermin dari ritual kacar-kucur pengantin Jawa, dimana pihak lelaki menumpahkan beras ke tempat yang telah disediakan pihak perempuan. Arti simbolis ritual ini juga berarti bahwa rejeki yang didapat sang suami tidak lari kemana-mana selain ke istri sendiri – yang sekaligus menjadi pengelolanya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : 5C70B435  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *