Naga Salira Luk 13

Mahar : 13.131.313,-


1. Kode : GKO-515
2. Dhapur : Naga Salira
3. Pamor : Ngulit Semangka
4. Tangguh : Mataram Senopaten (Abad XV)
5. Asal-usul Pusaka :  Semarang, Jawa Tengah
6. Dimensi : panjang bilah 36 cm, panjang pesi 6,5  cm, panjang total 42, 5 cm
7. Keterangan Lain : Dhapur keris langka, tinatah lung melati


ULASAN :

NAGA SALIRA, kadang-kadang disebut dengan Naga Slira atau Naga Sarira. Dhapur Naga Salira dapat ditengarai dari bagian kepala naga yang berada pada bagian gandhik, namun badan sang naga meliuk bukan mengikuti luk, tapi mengikuti bentuk ganja-nya. Umumnya, badan naga digambarkan lengkap dengan sisiknya, sehingga terkesan seperti stilasi ular sedang berjalan/berenang dengan kepala terangkat. Pada umumnya keris ini memiliki perawakan kecil dan ramping (33-35 cm), dengan ujung bilah berbentuk nyujen atau nyunduk sate (runcing dan tajam). Dhapur Naga Salira tergolong dhapur keris dengan pakem yang sangat jarang dijumpai.

FILOSOFI, Dhapur Naga Salira memiliki ciri umum yang hampir sama dengan keris dhapur naga lainnya. Kepala Naga yang berada pada bagian gandik memakai hiasan mahkota pendek sederhana, bukan tipe mahkota raja atau makutha dengan jamang susun tiga. Kesederhanaan mahkota ini mengandung makna mendalam bahwa kemuliaan sejati tidak lahir dari kebesaran mahkota, melainkan dari kebijaksanaan budi. Mahkota yang tidak menjulang tinggi menandakan kerendahan hati dalam kekuasaan, bahwa seorang pemimpin sejati tidak perlu menonjolkan diri untuk dihormati. Ia justru merunduk dalam kebijaksanaan, seperti padi yang kian berisi kian menunduk. Dari sanalah lahir ajaran luhur bahwa puncak kemuliaan adalah kesanggupan untuk tidak meninggikan diri.

Sumping sebagai hiasan telinga bukan sekadar ornamen lahir, melainkan perlambang batin yang halus. Ia mengingatkan, bahwa seorang raja atau pemimpin yang dikaruniai banyak keluwihan (kelebihan) harus memiliki ketajaman pendengaran, mampu memilah mana suara kebenaran dan mana bisikan yang menyesatkan. Pendengaran yang jernih akan menuntun seorang pemimpin untuk dekat dengan Tuhan, dekat dengan rakyat, dan dekat dengan suara nuraninya sendiri.

Mata naga yang menatap tajam ke depan namun berkesan tenang menggambarkan keteguhan kepemimpinan yang berakar pada kebijaksanaan. Tatapan itu tidak sekadar melihat, melainkan menyadari. Ia mencerminkan sifat seorang pemimpin yang sejati—“berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta,” yaitu berhati luhur, adil, dan penuh kasih terhadap seluruh makhluk. Dalam keseimbangannya itulah ia menjadi suri tauladan, tempat rakyat menggantungkan hormat dan harap.

Sementara, mulut naga yang terbuka menandakan kewaspadaan dalam bertutur kata. Ucapan seorang pemimpin bukan sekadar bunyi, melainkan sabda yang hidup. Pepatah Jawa mengingatkan: “Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali”—kata-kata seorang raja tak boleh ditarik kembali. Apa yang terucap darinya menjadi “paugeran”, aturan yang mengikat tidak hanya bagi kawula dan bawahan, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Karena di sanalah letak martabat seorang pemimpin: menepati sabdanya sendiri sebelum menuntut kepatuhan orang lain.

Selanjutnya cara penggambaran Naga Salira sangat unik, sesuai dengan artinya Slira/Salira yang berarti badan/tubuh, dimana pada umumnya keris dhapur naga yang lain badan naga meliuk mengikuti luk, namun pada dhapur Naga Salira badan naga justru ditatah menjuntai turun ke bawah bukan ke atas, menghias bagian ganja. Ukuran tubuhnya relatif pendek dan terkesan gemuk, ekornya menyatu dan tampak selaras dengan bagian ganja. Badan naga yang tampak seolah sedang bergerak menunjukkan laku perjuangan sebagai seorang pemimpin.

Dalam pandangan Jawa, perjuangan tidak semata mengandalkan kekuatan lahir, tetapi juga keikhlasan dan kesabaran. yang menekankan laku tata titi lan temen, dimana seorang pemimpin sejati tidak tergesa, tabah menghadapi ujian, dan setia pada jalan yang diyakininya. Dari ketiganya lahir keseimbangan antara niat, laku, dan hasil, yang akhirnya menghantarkan manusia pada apa yang dicita-citakan. Dalam budaya jawa, memandang diri berarti menyadari bahwa hidup adalah sebuah perjalanan spiritual. Manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu menjaga harmoni, hidup selaras dengan alam, serta kehendak Sang Pencipta. Diri bukan pusat, tapi bagian dari kesatuan semesta, tempat setiap makhluk memiliki peran dan keseimbangannya masing-masing. Itulah hakikat memayu hayuning buwana—mengupayakan keindahan dan keselamatan dunia, melalui keseimbangan antara antara cipta, rasa, dan karsa yang selaras dengan kehendak Ilahi. 

Dengan demikian, Naga Salira tidak hanya menjadi pusaka dalam rupa, tetapi juga cermin laku hidup yang mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan hanyalah bara yang membakar, sedangkan kebijaksanaan tanpa kerendahan hati hanyalah bayangan yang kosong.

TANGGUH MATARAM SENOPATEN,| ing Mataram Senapati winarni | sikutan prigêl srêng bagus | wêsi biru sêmunya | garing alus pamor pandhês tancêpipun | angawat kêncêng tur kêras | tan ana kang nguciwani  || Serat Centhini

Dalam Serat Centhini ditulis: keris di zaman Mataram Senopaten pasikutannya terampil, elok dan bagus; besinya berwarna semu biru; kering halus, pamornya tajam dan menancap; berwatak kuat serta keras; tak ada yang mengecewakan.

PAMOR NGULIT SEMANGKA, Buah semangka dikenal sebagai salah satu buah kesukaan Kanjeng Nabi. Dalam pandangan spiritual Jawa, semangka menjadi simbol sifat andhap asor atau rendah hati. Tanamannya merambat di tanah, tidak menjulang tinggi seperti pohon lain. Sikap ini menggambarkan kepribadian yang tidak meninggi diri, tidak sombong, dan selalu membumi. Dalam satu pohon semangka, biasanya hanya tumbuh satu atau dua buah saja. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak serakah—lebih baik menghasilkan satu karya atau tindakan yang bermakna.

Dinamakan pamor ngulit semangka karena coraknya menampilkan garis-garis lengkung yang membesar secara teratur dan harmonis, menyerupai kulit buah semangka. Namun di balik bentuk yang sederhana itu tersimpan makna mendalam tentang irama kehidupan. Garis-garisnya tidak lurus kaku, melainkan melengkung lembut dan berulang secara teratur. Ini menggambarkan perjalanan hidup manusia yang tidak selalu berjalan lurus. Lengkung yang satu berpadu dengan lengkung lainnya, mencipta harmoni—seperti pasang surut nasib, jatuh bangun, susah senang, yang jika dijalani dengan sabar akan membentuk keindahan.

Setiap garis tumbuh dari pangkal yang sama dan bergerak melebar ke luar, melambangkan perluasan wawasan, kedewasaan, dan kebijaksanaan yang tumbuh seiring waktu. Semakin jauh garis itu melengkung, semakin luas pula pandangan hidup yang tercermin darinya. Keteraturan garis-garis tersebut menunjukkan pentingnya tata titi lan temen—ketekunan dan ketulusan dalam menjalani laku. Tidak ada garis yang mendahului atau menindih yang lain; semuanya berjalan pada jalurnya sendiri, seimbang dan serasi. 

CATATAN GRIYOKULO, Dalam masyarakat perkerisan Nusantara, keris Naga menempati tempat yang istimewa di hati para sutresna tosan aji. Dhapur-nya yang jarang dijumpai, dan dahulu diyakini tidak dimiliki oleh sembarang orang, menempatkan keris Naga dalam kelas tersendiri di antara ragam dhapur lainnya.

Ketika keris Naga Salira ini dibuka dari warangka-nya, kesan “prigel” segera terasa. Istilah prigel dalam konteks tangguh keris, sebagaimana disebut dalam Serat Centhini, memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar “terampil”. Dalam dunia tosan aji, prigel menandai karya empu yang telah matang lahir-batin, di mana ketangkasan, keahlian, dan rasa hidup berpadu antara teknik dan spiritualitas. Biasanya, keris prigel tampak “enak dipandang” dan “enak digenggam”, karena proporsinya pas.

Pada Naga Salira ini, sosok naga tampak prasojo — sederhana namun hidup, gagah tapi tetap anggun. Ciri khas dhapur-nya, dengan tubuh naga dan sisik-sisik yang menempel di bagian ganja, digarap dengan cermat oleh sang Empu. Pamor pada bagian bilah juga dapat dinikmati secara utuh karena tidak terganggu oleh motif naga. Meski panjang bilahnya 36 sentimeter, keris ini terasa ramping dengan tantingan yang sangat ringan. Karakter yang masih memperlihatkan bayangan gaya Majapahit — wajar, sebab para empu pada masa Panembahan Senapati banyak berasal dari, atau keturunan empu, Majapahit.

Yang tidak bisa “tidak dilirik” tentu saja “kuning-kuning” yang menghias bagian sumping dan wuwungan ganja. Motif tinatah pada wuwungan ganja ini misalnya, bentuknya mirip relief non-cerita atau penggambaran apsara bentuk tertentu, membawa kita membandingkan dengan motif hias kombinasi, antara motif geometris belah ketupat, yang di tengahnya terdapat ceplok bunga melati. Motif ini umum didapatkan sebagai hiasan pada candi-candi di Jawa Tengah, dipahatkan pada pelipit yang mengelilingi bagian bawah kaki candi, antara lain: terdapat di Candi Mendut, Borobudur, Gedongsongo, Plaosan, dan Merak.

Motif Lung-Lungan pada keris merupakan ragam hias yang terinspirasi dari batang tumbuh-tumbuhan yang masih muda dan masih melengkung. Sedangkan bunga Melati yang tampak sederhana itu, bukan sekadar penutup ornamen, ia simbol kehalusan budi, pertumbuhan spiritual, dan keterhubungan manusia dengan alam yang hidup. Seperti keris prigel yang hidup bukan karena besinya, melainkan karena rasa sang empu yang melebur di dalamnya—demikian pula melati hidup dalam hati yang bersih, menebar wangi tanpa berkata apa-apa. Maka melati bukan sekadar lambang kesucian, tetapi metafora dari kesadaran yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Ia tidak menuntut disembah, tidak perlu dikenang, karena dalam keharumannya sudah terkandung laku pamit yang sempurna:
memberi, lalu pergi, tanpa menoleh.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


🌍 Jelajahi Dunia Tosan Aji
🔍 Temukan kawruh yang tersembunyi
📚 Jurnal, majalah, buku, hingga serat-serat kuno kini tersedia di SINENGKER.COM
📖 Ayo sinau bareng!

👉 TEKAN UNTUK MASUK 🗝️


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *