Tombak Ron Andhong

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 2.950.000,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen – Jakarta Pusat


  1. Kode : GKO-285
  2. Dhapur : Ron Andhong
  3. Pamor : Ngulit Semangka
  4. Tangguh : Pajajaran (Abad XII)
  5. Sertifikasi No : 715/MP.TMII/VI/2018
  6. Dimensi : panjang bilah  26,3 cm panjang pesi 12,2 cm , panjang total 38,5 cm
  7. Asal-usul Pusaka : Tasikmalaya, Jawa Barat
  8. Keterangan Lain : sarung kulit ular

Ulasan :

RON ANDHONG, atau godong andhong adalah salah satu bentuk dhapur tombak lurus. Bentuk tombak ini mirip sekali dengan bentuk daun andong. Bilahnya pipih dan simetris. Di tengah tombak itu memakai ada-ada dari pangkal hingga ke sebagian/ke ujung bilahnya yang lebar. Ricikan lainnya tidak ada. Dhapur tombak ron andhong banyak terdapat pada tombak-tombak tangguh kuno, terutama zaman Pajajaran dan Segaluh. Menurut kepercayaan tombak dhapur ron andhong dibuat tidak dimaksudkan untuk kegunaan praktis dalam peperangan, melainkan sebagai pusaka.

FILOSOFI, Ron = daun, Andhong = sejenis memiliki nama latin cordyline fruticosal adalah sekelompok tumbuhan monokotil yang sering dijadikan sebagai tanaman hias. Andong mempunyai nama yang berbeda-beda di setiap dearah, seperti di Sunda misal disebut hanjuang. Daun andong khas berbentuk lanset, berukuran agak besar dan berwarna hijau kemerah-merahan atau berwarna hijau muda. Andong sering dipakai sebagai tanaman pelindung, sebagai hiasan pagar atau taman, sebagai pembatas tanah, sawah atau ladang bahkan area pemakaman.

Cerita lain mengenai tanaman satu ini sedikit berbau mistis, antara andhong/hanjuang hijau dengan merah. Yang hijau bersifat mengundang kekuatan supranatural sedangkan andong/hanjuang merah bersifat menolak. Oleh karenanya tanaman andhong/hanjuang merah lebih baik ditanam di pekarangan rumah sebagai penolak bala.

Dalam masyarakat Sunda, Jawa dan Bali, andong memiliki makna ‘pembatas ruang’ baik secara harafiah maupun filosofis. Bahkan Prabu Siliwangi menuliskan hanjuang yang rimbun pada bait syair-syairnya dalam menggambarkan rumah budak angon. Pohon andhong atau hanjuang adalah lambang pohon yang lurus ke atas dengan sendirinya, tanpa menjadi benalu pada pohon lain. Dapat tumbuh dimanapun tanpa ‘susah’ menanamnya. Seperti namanya hanjuang, yang artinya: “hayuk dalam hidup akan selalu berjuang”. Sekaligus memahami batas kebaikan dan keburukan sehingga dapat menjadi panutan yang melindungi masyarakat disekitar. Dan bocah angon adalah simbol dari diri sendiri yang harus dijaga (diangon), dari lampah dan ucap yang tercela.

TANGGUH PAJAJARAN, pada masa lampau kekuatan pertanian menjadi salah satu indikator kuatnya ketahanan suatu negeri. Tanah Pasundan adalah tanah yang sangat subur, gemah ripah loh jinawi. Dengan kesuburan tanahnya, hampir dipastikan kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di tlatah tersebut mampu melakukan swasembada pangan sendiri. Tanpa harus agresi ke daerah lain, secara normatif masyarakat ini tidak merasa khawatir akan kekurangan kebutuhan dasar; sandang, pangan dan papan, karena karena alam yang ada di sekitar sudah ‘maha’ menyediakan. Tipikal masyarakat yang tinggal atau mempunyai daerah yang geografisnya subur, diberkahi banyak gunung, mata air dan sungai, berhawa sejuk hampir dipastikan masyarakatnya adalah mereka yang suka hidup damai. Kesederhanan adalah DNA nya. Memiliki teknik pattern-welding istimewa dalam bilahnya yang cenderung tipis. Dengan latar belakang masyarakat agraris yang cinta damai, itulah keris keris pedalaman Barat (Pajajaran, Galuh, Pakuan) tercipta dengan tampilan ‘rasa’ yang khas dan tentu saja aura pembawan yang ‘adem ayem’.

Membuka literasi mengenai Empu-Empu tangguh Pajajaran juga tidak kalah menariknya, tidak seperti Empu Cirebon,  kita masih bisa menelusuri banyak nama-nama Empu asli kerajaan ini. Selain membabar keris, tercatat  Empu Mercukundha membabar tombak dhapur : sigar jantung, gereh pethek, ron pring, barengkeng dan prajurit dengan ciri : besinya ngglugut, tanpa pamor hanya besi dan baja, serta tanpa disepuh. Mpu Kuwung membabar tombak dhapur baru, barukuping/barukarna, banyak angrem, sigar jantung, ron pring dan ron andhong dengan ciri pamor beras wutah, bilah tipis, methuk iras dan pucuk pesi diuntir. Ada juga, ternyata Mpu Nyai Sombro juga membabar tombak dengan dhapur ron pring, ron andhong dan sigar jantung (tidak disebutkan ciri-cirinya). Empu Gedhe juga membabar tombak (tidak diterangkan nama dhapurnya) dengan ciri wiyar (lebar), besinya lumer dan ujung wilahnya asempung. Empu Pete (tidak dijelaskan nama dhapurnya) dengan ciri pamor tambal, agak tipis namun pengkuh (kuat). Empu Damarjati membabar tombak dhapur cekel, biring dan ron andhong. Empu Pangeran Welang, dan Empu Loning juga membuat tombak (tidak disebutkan nama dhapurnya maupun ciri-cirinya).

Sedikit bercerita, tombak ini penulis dapatkan dari pengepul barang antik (bukan pedagang tosan aji), dalam kondisi yang agak memprihatinkan penuh dengan karat dan minyak yang mengental puluhan atau bahkan mungkin saja ratusan tahun. Namun entah kenapa ada “sesuatu” yang menarik dari tombak ini, mampu “mencolek rasa”. Sepertinya orang tidak akan menduga hasil yang didapatkan setelah dijamas dan diwarangi. Tidak mudah memang saat ini menemukan tombak era Pajajaran dengan warna besi  ngelar gelatik (seperti bulu sayap burung gelatik), dalam perabaan kulit terasa sangat halus namun liat atau keras dengan pamor ngambang yang kontras. Bagian Odo-odo nya juga unik; lancip hingga 2/3 bagian. Bagian methuk-nya sangat rapat sehingga terkesan iras dengan ujung pesi diuntir. Secara keseluruhan bilah masih bisa dikatakan simetris kanan-kiri, utuh dengan geripis alami karena faktor usia bukan hasil perapian atau larasan. Pekerjaan selanjutnya tentu saja mencarikan landeyan panjang dan tudungnya.

PAMOR NGULIT SEMANGKA, berupa beberapa garis lengkung dari bentuk garis lengkung terkecil  kemudian melebar dengan lengkungan yang membesar, menunjukkan gerak yang teratur harmonis. Dapat dikatakan bahwa garis-garis lengkung yang berirama pada pamor ngulit semangka ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun). Kehidupan yang berkembang untuk mencari jati diri, mau belajar dan menjalin kehidupan sosial agama. Akan membawa dirinya menuju ke dalam penyatuan diri melalui pasang surut  keadaan, dan pada akhirnya harus kembali ke asalnya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *