
Ulasan :
BROJOL, adalah salah satu bentuk dhapur keris lurus. Ada dua versi bentuknya; yang pertama, panjang bilahnya hanya sekitar 15 sampai 19 cm, bilahnya tipis, rata dan biasanya merupakan keris kuno. Pejetan yang ada hanya samar-samar saja. Gandhik-nya pun polos dan tipis. Kadang-kadang memakai gonjo iras (menyatu dengan bilah). Kadang-kadang pula pada bilahnya ada lekukan-lekukan dangkal, seolah lekukan itu bekas ‘pijitan‘ dari jari tangan. Keris brojol jenis pertama ini (pendek) sering disalahkaprahkan secara berjamaah dengan sebutan keris Sombro, padahal sombro adalah nama empu wanita dari Pajajaran yang hijrah ke Tuban. Sebagian pecinta keris, terutama orang-orang tua pada jaman dahulu percaya bahwa keris dhapur brojol varian pertama ini memiliki tuah yang dapat memperlancar persalinan. Sedangkan jenis brojol yang kedua, ukuran panjang bilahnya sama dengan keris biasa, sekitar 30-35 cm. Gandhik-nya polos dengan ricikan hanya pejetan (kentara) tanpa ricikan lain.
Tuban dari masa ke masa, Menilik riwayat masa lampaunya Tuban memang sebuah kota tua yang sempat mengalami fase timbul tenggelam dalam perjalanan sejarahnya. Letak geografisnya yang sangat menguntungkan, merupakan modal utama untuk berkembang sebagai kota pelabuhan. Jalan yang memotong dan mudah ditempuh dengan melalui darat menuju ke selatan, zaman dahulu telah menjadikan Tuban pintu gerbang bagi daerah hulu sungai-sungai besar di Jawa Timur, seperti Bengawan Solo dan Brantas. Yang pasti ialah bahwa kedua sungai besar ini, yang menghubungkan timur, barat, dan selatan, benar-benar merupakan faktor yang sangat penting baik secara politik, ekonomi, dan sosial di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam Buku Prof. Dr. Slamet Mulyana (2005), Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit), hal. 213. Disebutkan bahwa tentara kerajaan Majapahit pernah menyerbu Tuban dari pusat kerajaannya (daerah Mojokerto) melewati sungai yang dinamakan ‘Tambak Beras‘. Hal ini bisa digambarkan bahwa dulunya ada sungai yang menghubungkan antara pusat Majapahit dengan Tuban, akan tetapi sungai tersebut sekarang sudah tidak ada lagi atau kemungkinan sudah hilang karena sedimentasi (pendangkalan). Pada masa Majapahit (abad ke 15), Tuban pernah mencapai masa keemasannya sebagai kota pelabuhan utama bagi kerajaan besar ini. Laporan Ma Huan yang mengiringi Cheng Ho dalam pelayaran ke 3 (1413-1415), mencatat bahwa jika orang Cina pergi ke Jawa, kapal-kapal lebih dulu sampai ke Tuban, baru kemudian meneruskan perjalanannya ke Gresik, kemudian dilanjutkan ke Surabaya, baru dari sana menuju ke pusat kerajaan Majapahit (di daerah sekitar Mojokerto sekarang) dengan memakai perahu kecil lewat sungai Brantas. Dari sumber Cina yang lain, dikatakan bahwa dua orang komandan tentara Mongol (dinasti Yuan 1279 – 1368) yang bernama Shi Phi dan Kau Shing (1292) mendarat di Tuban dalam ekspedisinya ke Jawa.
Kemudian tercatat sedikit keterangan tentang keadaan fisik kota Tuban sekitar th. 1598 dan 1599, yaitu waktu pemerintahan Bupati Tuban Pangeran Dalem dimana pada waktu pemerintahannya dibangun mesjid besar di Tuban dan bangunan pertahanan yang disebut sebagai “Guwa Barbar”. Berkat adanya gua pertahanan ini Tuban berhasil menghalau dua kali serangan dari daerah pedalaman yang dipimpin oleh satuan-satuan tentara Mataram (Graaf, 1985:170). Kemungkinan yang dimaksud dengan Guwa Barbar itu sekarang adalah “Guwa Akbar” yang baru ditemukan terletak dibawah lokasi yang digunakan sebagai pasar di Tuban. Secara samar-samar juga didapat dari tulisan atau berita kapal Belanda yang mendarat di Tuban yang dipimpin oleh Laksamana muda Van Warwijck (Tweede Schipvaert) pada bulan Januari (1599). Dalam berita itu disebutkan bahwa orang Belanda terkesan sekali oleh kemegahan Keraton Tuban (Graaf, 1985:170). Selain itu juga terdapat gambar dari alun-alun Tuban pada abad ke 16, sewaktu diadakan latihan ‘Senenan‘ (semacam latihan perang-perangan bagi para prajurit dengan berkuda).
–
Dalam perkembangan selanjutnya pada awal abad ke 16 sampai 17, kota ini mengalami kemunduran dan seolah kehilangan peran sebagai kota pelabuhan akibat pendangkalan lautnya dan juga diperparah invasi tentara Mataram (Sultan Agung), perang yang disebut oleh de Graaf sebagai pertentangan antara “Orang Jawa Pedalaman” dan “Orang Jawa Pesisir”.
–
TANGGUH TUBAN, Mas Ngabehi Wirasoekadga dalam bukunya ‘Serat Panangguhing Duwung’, salah seorang abdi dalem mantri pande di Surakarta Hadiningrat, mencatat beberapa empu tangguh Tuban dimana diantaranya; Empu Ki Panekti, Empu Ki Soeratman, Empu Ki Modin, Empu Ki Galatia, Empu Ki Bekel Jati, Empu k Supadriya, dan Empu Ni Mbok Sombro. Dalam Serat Panangguhing Duwung beberapa ciri keris Tuban dicatat sebagai penanda diantaranya; pamor rata-rata tiban (misal kulit semangka) lembut dan kering, condong leleh (derajad kemiringan) agak menunduk, rata-rata bentuk bangkekan agak bembeng (besar gilig dan wagu). Kemudian untuk bagian gonjo tercatat; bulat dan bundar, dengan sirah cecak agak melengkung (tidak lancip), demikian juga dengan buntut urang tumpul, datar dan papak (tidak nguceng mati). Kemudian jika luk, luknya dangkal dengan sogokan pendek dengan sekar kacang ngecambah.


Kesan ‘kereng, berani dan wingit’ terpancar dari aura keris ini bak kisah Ronggolawe. Nama Ronggolawe tidaklah mungkin dipisahkan dari sejarah Tuban dan Majapahit. Ronggolawe, Adipati Tuban sangat berjasa kepada Majapahit, yang akhirnya justru dianggap memberontak terhadap kerajaan yang dibesarkannya itu. Demi sebuah sikap dan ketidak-adilan menyeret Ronggolawe pada posisi yang berseberangan dengan sang Raja. Secara keseluruhan bilahnya masih sangat istimewa atau wutuh (TUS), tebal dengan bentuk nglimpo mengikuti model keris Mataram. Pamornya kurang menyala dan besinya terlihat kering, kemungkinan saat penyepuhannya menggunakan air laut (berkadar garam tinggi), tapi jangan salah sangka besinya sangat rapat dan matang tempa, apabila disentil dengan ujung telunjuk akan terdengar suara nyaring panjang, bahkan ketika dilolos dari warangkanya mempendengarkan suara resonansi yang nyaring bak pedang katana/samurai jepang. Pada bagian gonjo terlihat agak tinggi atau tebal dengan gendok (perut gonjo) gendut menegaskan ciri wetanan-nya gonjo Jenggolo yang tersohor itu, hanya saja tampil lebih modern dengan bentuk sedikit menungkak dari tengah, papak ujungnya dan melandai di bagian ekornya terpengaruh era Mataram. Ke-khas-an bentuk sirah cecak Tangguh Tuban yang buweng (membulat) merupakan warisan Pajajaran yang terus dipertahankan. Pada bagian pesi juga masih sangat wutuh, gilig sangat menunjang sisi tektomik maupun ergonomik bilah. Menjadi semakin menarik dan misterius karena terdapat tetenger (tanda) berupa tiga goresan kuku mendatar, mirip keris-keris tangguh Ngadiboyo hanya saja sedikit berbeda goresan garis tersebut bukan pada bagian pucuk pesi. Ataukah bilah ini merupakan hasil karya salah satu dari empat sekawan dari golongan Empu dan Pande yang menurut kisah pada jaman Diponegoro melarikan diri menuju Jawa Timur? Mereka ini adalah; Empu Moyogati (Ngadiboyo), Empu Setejo (Gunung Punjul), Empu Sembung (Berbek) dan Empu Janas (Karang Sono). Terlepas siapa pembuat atau Empunya, orang-orang di pesisir utara Jawa Timur sepakat menyebutnya dengan Betok Brojol Tuban (tangguh lempoh). Perabot atau warangka yang ada adalah bawaan sebelumnya, masih cukup layak mengimbangi kegagahan bilah, terlebih pendok perak alas-alasan model banyumasan masih utuh mempunyai nilai tambah tersendiri.

pesi dengan tetenger 2 guratan kuku empu
PAMOR BERAS WUTAH, merupakan kosa kata jawa yang berarti “beras tumpah”, oleh kebanyakan penggemar keris dianggap memiliki tuah yang dapat membuat pemiliknya mudah mencari rejeki yang berkelimpahan (lambang kemakmuran). Dalam pamor beras wutah terkandung rasa ucapan syukur atas berkat rahmat yang telah diberikan oleh Tuhan Semesta Alam. Rasa syukur atas hasil yang diperoleh dari perjuangan panjang memeras keringat, rajin dan tidak pernah menyerah dalam merawat tanaman padi agar menghasilkan produksi panen yang berlimpah. Bukti dari sebuah totalitas nyata seseorang dalam perjuangannya memberikan yang terbaik bagi keluarga dan negerinya.
–
Ditawarkan sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Contact Person :
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3 Email : admin@griyokulo.com
————————————