Panimbal Sukowati

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 9.999,999,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen Jakarta Pusat


1. Kode : GKO-420
2. Dhapur : Panimbal
3. Pamor : Beras Wutah, Bawang Sebungkul, Rojo Gundolo?
4. Tangguh : Mataram/Sukowati? (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 352/MP.TMII/III/2020
6. Asal-usul Pusaka : Rawatan/Warisan Turun Temurun
7. Dimensi : panjang bilah 38 cm, lebar gonjo :  10,8 cm panjang pesi  7,5 cm, panjang total 45,5 cm
8. Keterangan Lain : bungkalan, sogokan kandas waja, kolektor item


ULASAN :

PANIMBAL, adalah salah satu bentuk dhapur luk sembilan yang mempunyai ricikan: kembang kacang, jalen, lambe gajah-nya dua, tikel alis, pejetan, sogokan rangkap depan dan belakang, sraweyan dan greneng. Menurut mitos/dongeng dhapur Panimbal pertama kali dibabar oleh 800 empu yang disebut Empu Dhomas, sekitar tahun jawa 1381 pada jaman Raja Brawijaya akhir.

Keris dhapur Panimbal tergolong populer dan banyak dicari. Pada zaman dulu keris dhapur Panimbal banyak dimiliki kalangan abdi dalem karena dipercaya memiliki tuah yang menyebabkan pemiliknya dipercaya oleh atasannya (termasuk raja) untuk melaksanakan berbagai tugas. Adapula kepercayaan unik di kalangan pecinta keris. Mereka yang mendalami dunia esoteri tosan aji percaya bahwa keris panimbal merupakan salah satu “magnet pemanggil” keris-keris mahanani lain yang belum atau ingin dimiliki, juga sebagai “sang pemanggil” sarana mengundang rejeki, karir hingga jodoh.

FILOSOFI, Panimbal merupakan Palu berbentuk kecil dengan ujung pemukulnya panjang, sekitar 45 cm yang terbuat dari kayu atau bambu, dan selalu digunakan oleh para Empu jika sedang bekerja bersama panjak-nya.  Panimbal terbagi dalam tiga jenis, yaitu :

  1. Panimbal Kemlaku, beratnya 2 kati (1 kg) untuk mengimbal (mewasuh) besi  dengan cara dipukulkan dengan keras. Palu ini dipergunakan oleh para panjak untuk menempa, melipat, mengulur besi menurut petunjuk sang Empu.
  2. Panimbal Panuding, beratnya 1 1/2 kati (0,75 kg), dipergunakan oleh sang Empu untuk memberi arahan kepada panjak
  3. Panimbal Pepehan, beratnya 1 kati (0,5 kg) fungsinya hampir sama dengan no. 2

Dengan palu panimbal ini seorang Empu memberi aba-aba melalui kode pukulan, bagaimana panjaknya harus menempa: di bagian mana? apakah harus kuat, atau memukul dengan lemah dan sebagainya. Dalam proses menempa tersebut sang Empu adalah penunjuk saja dan dilakukan dengan mbisu (tidak berbicara).

Setidaknya ketika kita belajar tentang palu panimbal dalam lintasan sejarah, maka yang terpenting bagi kita adalah melihat kearifan, bahwa palu panimbal kini bukan sekedar perkakas besalen semata, namun dapat dipahami sebagai sarana penunjuk kebenaran dan keadilan, tetapi palu tetaplah palu, siapa orang yang berada dibalik palu itulah yang memiliki tanggung-jawab penuh dalam mendefinisikan kebenaran serta  keadilan kepada orang lain.

TENTANG TANGGUH, mengenai tangguh atau perkiraan zaman/era pembuatan keris Panimbal ini memunculkan diskusi yang menarik. Rasanya hampir semua akan sepakat jika keris ini membawa darah dari trah Mataram. Demikian juga tangguh pada Surat Keterangan yang dibuat oleh Museum Pusaka TMII tertulis era Mataram abad XVIII. Terbersit keingintahuan lebih lanjut: “Secara spesifik pada era Mataram manakah pusaka ini dibabar?” Karena seperti kita ketahui ada beragam tangguh Mataram, diantaranya Mataram Senopaten, Mataram Sultan Agung, Mataram Amangkurat/Kartasura hingga Mataram nom-noman pasca palihan nagari yakni HB dan PB.

Karena sifatnya “mengira-ira” tadi (walau tetap didasarkan pada kaidah-kaidah tertentu atau niteni, Serat Centhini menjelaskan dengan: tangguh iku kira-kira awit sikutan pinirid nitik pamor wêsi waja) dalam soal penangguhan seringkali muncul beragam pendapat dengan alasan/dasar masing-masing. Seperti keris Panimbal ini ketika ditanyakan pada beberapa sesepuh ada yang mengatakan buatan Mpu Guling Mataram era Sultan Agung, ada pula yang mengatakan Cirebon era Mataram Amangkurat. Dan yang paling menarik bagi Penulis, dari melihat perawakan bilah yang besar serta lebar, sogokan kandas waja, palemahan (dasar bidang sogokan) berbentuk datar/rata, bawang sebungkul dan materialnya yang lebih mirip Kartasura diperoleh jawaban tangguh Sukowati.

Penulis sendiri belum menemukan referensi dari serat-serat lama mengenai Tangguh Sukowati ini. Jika kita membuka catatan lama peninggalan Ronggowarsito yang disalin dalam aksara latin oleh R.Ng Hartokretarto (1964) memang akan ditemukan banyak tangguh yang kurang familiar di masa sekarang, semisal tangguh Serang (Utara Surakarta), Matesih, Tingkir, Gunung Tawang, Surabaya bahkan yasan Kangjeng Pangeran Harya Mangkubumi yang dibuat oleh Empu Bradja Setika ketika di Surakarta juga tercatat.

Dari hasil “ngaji keris” dengan salah satu sesepuh ternyata didapatkan informasi mengenai tangguh Sukowati yang ternyata berhubungan dengan sejarah Pangeran Sukowati (Pangeran Mangkubumi) semasa melakukan pemberontakan melawan Pakubuwono II yang didukung VOC dengan membentuk Pemerintahan Pemberontak Projo Sukowati di daerah sekitar Sragen saat ini. Namun seiring Palihan Nagari, melalui perjanjian Giyanti Mangkubumi kemudian diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana I.

PAMOR BERAS WUTAH, Dalam konteks sejarah peradaban Nusantara, beras bukan hanya sekadar urusan perut, kuliner dan gaya hidup. Beras lengkap dengan segala proses pengolahannya dari awal hingga akhir, telah melahirkan banyak petuah bijak yang menjelma menjadi rambu pengingat atau lonceng kesadaran bagi masyarakat di tlahah Jawa selama berabad-abad.

Bagi lelaki Jawa yang telah menikah, pamor beras wutah mengingatkan akan tanggung jawab lelaki sebagai kepala keluarga untuk bertanggungjawab menghidupi/menafkahi keluarganya yang berupa sandang pangan, sebagaimana tercermin dari ritual “kacar-kucur” pengantin Jawa, dimana pihak lelaki “menumpahkan beras” ke tempat yang telah disediakan pihak perempuan. Arti simbolis ritual ini juga berarti bahwa rejeki yang didapat sang suami tidak lari kemana-mana selain ke istri sendiri – yang sekaligus menjadi pengelolanya. Pamor ini juga sebagai pengingat simbol kesetiaan seorang pria yang sudah berumah tangga. Istri-lah tempat kita kacar-kucur. Istri tempat menampung/menyebarkan benih dan lahirlah anak-anak. Dalam menempuh mahligai rumah tangga berat-susahnya beban hidup dipikul berdua, jika sudah menjadi berkah pun nantinya akan dinikmati bersama.

PAMOR BAWANG SEBUNGKUL, bungkul merupakan kata bilangan yang digunakan untuk menyatakan jumlah atau ukuran bawang putih. Bawang sabungkul adalah bawang yang terdapat pada satu pangkal tangkai daun bawang. Biasanya bawang sabungkul terdiri atas 8-14 siung bawang putih. Istilah bungkul tidak banyak diketahui oleh masyarakat sehingga istilah tersebut jarang sekali digunakan untuk menyatakan jumlah atau ukuran bawang putih. Masyarakat lebih mengenal kata siyung daripada bungkul sebagai penunjuk satuan atau ukuran bawang putih.

letak pamor bawang sebungkul

Dinamakan bawang sebungkul juga dikarenakan letak pamornya berada pada bagian bungkul keris, yakni tonjolan di bagian paling bawah dari pangkal keris, tepat di tengah bilah atau di atas pesi berupa ruas-ruas garis. Tuahnya dipercaya memberikan ketenangan lahir dan batin pemiliknya (ayem tentrem).

BUNGKALAN, adalah sebuah istilah dalam dunia perkerisan untuk menyebut pucuk bilah yang sengaja dibuat oleh Sang Empu tak berpamor. Istilah bungkalan berbeda dengan pamor bungkalan. Bungkalan termasuk jarang ditemui (bukan karena pamor aus). Bagi kepercayaan Jawa, pamor dianggap bedak/hiasan sehingga bentuknya bervariasi seperti macam-macam keinginan duniawi. Sedangkan slorok yang memberikan kekuatan letaknya di tengah dan seringkali tidak terlihat melambangkan jiwa/ruh. Maka tuahnya dipercaya untuk mengangkat derajad spiritual yang lebih tinggi bagi pemiliknya.

SOGOKAN KANDAS WAJA, Keris dengan sogokan kandas waja (kandas atau dalam sehingga besi/bajanya kelihatan) seolah ingin menampilkan kreativitas dari Sang Empu untuk menampilkan keahliannya. Hal ini bukannya tanpa resiko, karna sogokan yang dibuat sangat dalam serta membuat bentuk janur yang tipis dan tajam diantara sogokan depan dan belakang juga merupakan sebuah tantangan sendiri. Kecermatan dan ketelitian sang Empu diperlukan saat menatah bagian ini supaya tidak meleset/merusak karena salah-salah justru akan menjadi lebih rawan untuk tembus/bolong. Keris-keris dengan bentuk sogokan kandas waja bisa menjadi salah satu penanda/ciri suatu Empu/Tangguh, biasanya banyak terdapat pada keris Mangkubumen.

CATATAN GRIYOKULO, Mungkin diantara seribu kita hanya bisa menemukan satu keris dengan model/style seperti ini. Dengan panjang bilah 38 cm namun memiliki lebar gonjo sekitar 11 cm (bukan keris corok tapi birowo) menghadirkan sebuah sensasi bentuk pusaka yang lain daripada yang lain. Keris Panimbal ini mungkin jika dilihat dari foto tidak akan nampak perbedaan dimensinya, namun akan berbeda ceritanya dengan pengalaman menanting sendiri. Ketika melolos bilah dari warangka yang sudah uzur (penuh tambal sulam, mungkin sudah waktunya diganti sandangan) dijamin akan memunculkan sensasi keterpukauan tersendiri.

Warangka uzur ini  sepertinya dibuat salah satunya dengan tujuan untuk menyamarkan ukuran bilah sebenarnya. Itulah kenapa warangka lama tetap dipertahankan, selain bentuknya yang lebih luwes daripada warangka-warangka sekarang, jika berniat menyandangi sendiri dengan model Yogya maupun Solo dengan ukuran standar dapat dipastikan tidak akan cukup, sehingga harus melakukan custom. Pada bagian wuwungan gonjo juga terdapat pamor tiban unik, rojo gundolo kah?

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *