Tombak Semar Tinandu

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : ?,- (TERMAHAR) Tn. MA, Pekalongan


1. Kode : GKO-329
2. Dhapur : Tombak Semar Tinandu
3. Pamor : Ngulit Semangka
4. Tangguh : Cirebon (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1558/MP.TMII/XI/2018
6. Asal-usul Pusaka :  Desa Lahar, Kabupaten Pati
7. Dimensi : panjang bilah 27,5 cm, panjang pesi 14,5 cm, panjang total 42 cm, landeyan 52,5 cm
8. Keterangan Lain : tombak sangat langka, kolektor item


ULASAN :

SEMAR TINANDU, dalam dunia tosan aji kita mengenal nama “semar tinandu” dalam bentuk keris dan tombak. Meskipun sama namanya, namun ricikannya berbeda. Pada bilah keris, semar tinandu adalah salah satu bentuk dhapur lurus. Ukuran panjang bilahnya pendek, tetapi lebar, dan permukaannya rata. Keris semar tinandu dapat dikenali dengan memakai dua (2) kembang kacang yang letaknya bersusun. Keris ini juga memakai sogokan rangkap depan dan belakang. Sedangkan pada jenis tombak, semar tinandu juga merupakan salah satu bentuk dhapur tombak lurus. Sesuai dengan namanya pada bagian sor-soran terdapat stilasi (ganan) berbentuk semar kembar di sisi kiri dan kanan, yang pada gandik kerisnya justru tidak ada semar-nya. Selain sebagai piyandel, keris dan tombak semar tinandu umumnya digunakan sebagai pusaka tindih untuk menetralkan atau meredam aura negatif atau kurang baik dari pusaka lain oleh para kolektor, walaupun keris/tombak tersebut tidak setua keris dhapur Jalak atau Betok Budha. 

gambar pakem dhapur keris semar tinandu dan tombak semar tinandu

FILOSOFI, meski pada awal mulanya tombak secara fungsional merupakan wujud dari senjata tusuk untuk pertahanan diri serta alat berburu (mencari makanan), tetapi dalam evolusi selanjutnya yakni sebagai bagian dari tosan aji, tombak memiliki daya tarik dan kharisma (perbawa) tersendiri. Dalam bentuk pusaka, semar dianggap “hidup” tidak hanya karena kepercayaan akan daya linuwih-nya (supranatural) saja, tetapi dikarenakan pula oleh nilai-nilai yang memberikan inspirasi hingga sugesti bagi penyandangnya. Salah satunya ada pada tombak dhapur semar tinandu

Di kalangan masyarakat Jawa, semar memiliki arti khusus yang sangat disakralkan, karena mencerminkan dunia pandangan yang spesifik dan kompleks. Semar salah satunya merupakan perwujudan simbolis (lambang) tentang pandangan dan sikap orang Jawa terhadap esensi dari kehidupan. Dalam jagad pakeliran (pewayangan) Semar dianggap sebagai titisan dewa yang bertugas menjadi pamomong (punakawan) para ksatriya (pandhawa) menjalani dharma-nya. Hanya ksatriya sejati yang akan menjadi asuhan Semar. Dalam dunia kebatinan (kejawen) dapat kita temukan adanya kesadaran orang Jawa, bahwa mereka mempunyai ketergantungan pada yang memberi pengayoman. Semar dianggap sebagai simbol tertinggi danyang (dewa) penjaga asli Jawa yang membawa keselarasan atau keharmonisan dengan alam semesta. Dalam dunia kepraktisan sehari-hari-pun Semar seakan menjadi sumber inspirasi dan melekat pada berbagai jenis penamaan suatu barang, seperti misalnya semar mendem (nama sebuah makanan), semar mesem (nama aji pengasihan), semar kuncung (jimat), semar tinandhu (nama arsitektur, nama tombak dan keris) serta masih banyak lagi.

Semar Tinandu (semar diusung atau semar dipikul dalam tandu). Dalam konsep kepemimpinan tombak semar tinandu mengajarkan sebuah filosofi yang tak asing di telinga kita untuk selalu “mikul dhuwur mendhem jero”. Mikul artinya memikul, yakni membawa diatas bahu. Duwur artinya tinggi. Sedangkan Mendem artinya memendam dan Jero artinya dalam. Dengan demikian “mikul duwur mendem jero” makna sederhanya adalah ada sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan ada yang harus ditanam dalam-dalam.

“Mikul duwur mendem jero” adalah sebuah ungkapan maupun cerminan dari etika sosial dalam kebudayaan Jawa, yang menggambarkan rasa hormat seseorang terhadap orang lain. Hal ini bisa tercermin dalam sikap seorang anak terhadap orang tuanya, anak muda kepada orang lain yang lebih tua, sikap murid terhadap gurunya, anak buah terhadap atasannya, atau rasa hormat warga masyarakat terhadap para pemimpinnya. Kehormatan yang disiratkan dalam ungkapan mikul dhuwur itu diwujudkan dengan cara menjunjung tinggi nama baiknya, ajaran-ajarannya, pesan-pesan moralnya dan segenap wujud kearifannya. Mikul dhuwur itu tidak lebih mengerek tinggi-tinggi kemuliaan orang yang bersangkutan, agar dunia mengetahui sisi terbaik darinya. Dan sebaliknya mendem jero adalah menanam dalam-dalam segenap aib dan kekurangannya, tidak diungkap atau dibeberkan kemana-mana. Kesalahannya dimaafkan, kekurangannya ditutup untuk dijadikan suatu bahan pembelajaran dan kemudian diperbaiki melalui sikap dan tindakan nyata.

Dalam memegang prinsip “mikul dhuwur” seorang pemimpin harus bisa menjadi patriot dalam menjunjung harkat dan martabat dari bangsanya sendiri. Seorang patriot harus tetap cinta pada negara dan bangsanya. Tidak “menjual” tanah airnya – sebagai tempat berlindung di hari tua, tempat akhir menutup mata, kepada kepentingan asing. Sedangkan dalam memaknai prinsip mendem jero, apapun sejarah kelam yang pernah hadir bagi bangsa Indonesia, dalam perjalanannya tetap terselip banyak hal yang bisa dipetik agar tinta merah sejarah tidak kembali berulang. Sebagai suatu pelajaran untuk lebih maju dan bersatu. Bukan untuk melebarkan jurang perbedaan, apalagi berseteru.

Secara khusus perwujudan semar pada tombak pusaka ini memberikan gambaran filosofi yang mendalam. Dimulai dari rambutnya yang mempunyai jambul (kuncung, Jw). Rambut semar berbentuk “kuncung“, meski dibekali dengan kesaktian dan asal-usul yang jauh lebih hebat daripada para Pandawa, seolah semar hendak mengatakan : akuning sang kuncung atau sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, kesemuanya diniatkan secara ikhlas untuk melaksanakan ibadah. Sebuah pribadi yang sudah mulai langka di kalangan pemimpin di negeri ini.

Mulut Semar terlihat seperti tersenyum (tertawa), akan tetapi matanya sayu seperti hendak menangis. Sama halnya seperti saat ia tertawa yang selalu diakhiri dengan nada tangisan. Merupakan sebuah wejangan bahwa apa yang ada di dunia, atau apa yang sedang kita hadapi dan rasakan tidaklah abadi. Setiap kesedihan pasti ada kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya. Maka hendaklah manusia untuk selalu mengingat dan berserah diri pada Tuhan YME, karena apapun yang datang dari-Nya akan kembali pada-Nya. Selain itu, dikisahkan pula bahwa Semar ini Dewa yang menjadi rakyat sehingga memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat kecil. Maka tak heran matanya terkesan selalu berair. Ia lebih banyak menangisi orang lain dibandingkan menangisi dirinya sendiri. Ini merupakan simbol dari seseorang yang telah mengesampingkan ego dirinya demi kesejahteraan sesamanya.

 

Secara khusus pula, mulut Semar pada tombak pusaka ini digambarkan sangat lebar sebagai simbol bahwa menjadi manusia itu harus terus berbicara dan mengajak orang lain pada hal-hal kebaikan. Dalam bahasa Jawa, mulut biasa juga disebut cangkem yang berarti di cang-cang bari mingkem. Artinya, kita harus senantiasa menjaga mulut kita dari perkataan yang tidak perlu atau tidak baik. Jika sekiranya perkataan itu tidak benar, tidak baik dan akan menyakiti orang lain, maka sebaiknya diam.

Jika pada tokoh Semar secara umum biasanya jari telunjuk Semar digambarkan sedang menunjuk sesuatu. Hal ini mirip seperti seseorang yang sedang melakukan tahiyatul (akhir saat sholat) yang merupakan simbol bahwa Allah itu Esa. Atau ada pula yang mengatakan bahwa telunjuk Semar melambangkan bahwa manusia sejatinya akan mati dan kembali ke tanah. Namun sosok Semar pada tombak pusaka ini sedang pada posisi bersedekap/i’tidal (menumpangkan atau melipat kedua tangan di atas perut, seperti sedang sholat). Posisi sedekap yang benar adalah tangan kiri di bawah tangan kanan, yang artinya kejelekan ditutup dengan segala kebaikan. Dalam posisi bersedekap kita sedang berada dalam kesadaran tertinggi, dimana kondisi emosi stabil dan jiwa pun tenang. Dalam posisi ini kita juga cenderung dalam posisi “berbicara dan mendengar” dengan lebih baik. Sosok pemimpin yang mau mendengar suara rakyat lebih banyak inilah yang sekarang  paling dibutuhkan di tengah carut marutnya negeri ini. Karena suara rakyat adalah suara Tuhan.

Dan terakhir, tokoh Semar itu sendiri sangat identik dengan bentuk tubuhnya yang selalu diametral dan unik (ngropoh, Jw). Demikian juga pada tombak ini. Mata kita meyaksikan dengan jelas, bahwa ia memiliki tubuh yang bulat – perut dan pantat sama buncitnya. Banyak ahli sastra menafsirkan bahwa tubuhnya mencerminkan bentuk bumi yang bulat. Dalam perspektif lain, bulatnya tubuh Semar, dapat pula diterjemahkan dengan keharusan untuk memiliki kebulatan sikap, jika kita yakin bahwa apa yang kita pilih benar.

PUSAKA TINDIH, berasal dari kata ‘tetindhih’ yang menurut kitab Bausastra Jawa versi Poerwadarminta Tahun 1939 berarti lelurah atau pangarêp (penuntun), sedangkan secara arti atau makna harfiah adalah ‘menindih’. Di kalangan para koletor tosan aji, sering ada anggapan bahwa diantara keris/tombak/pedang atau koleksinya yang lain mungkin ada yang kurang/tidak cocok dengan dirinya atau mempunyai pengaruh (tuah) kurang baik bagi orang terdekatnya (keluarga). Walau demikian, ia merasa sayang untuk melarung atau memaharkan. Untuk menetralkan atau menangkal pengaruh negatif atau kurang baik dari tosan aji tersebut, biasanya para kolektor memiliki apa yang dinamakan pusaka tindih. Dipercaya selain tuah pokoknya sendiri, pusaka tindih juga mempunyai “kekuatan bawaan” yang dapat “menindih” (meredam) segala pengaruh buruk dari benda gaib lain yang ditakutkan berimbas negatif, baik bagi pemiliknya maupun orang-orang terdekat. Dengan memiliki satu atau beberapa buah pusaka tindih, dipercayai akan memberikan ruang nyaman dan sisi yang lebih aman bagi sang pemilik.

TENTANG TANGGUH, Pusaka ini didapatkan dari Desa Lahar di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, dari seorang Nenek tua. Beliau menyimpan pusaka ini sebagai salah satu barang peninggalan suaminya. Sebelumnya hanya dibungkus dengan kain putih (mori) tanpa sandangan apapun, lantas dijamas dan kemudian dibuatkan landeyan dari kayu walikukun dan tudung (tutup). Dalam dunia metafisika Kayu Walikukun sering dianggap sebagai ”Kayu Laduni”, karena diyakini dapat membantu pemakainya kearah tingkat “kecerdasan” yang lebih tinggi. Konon menurut cerita, kayu walikukun juga digunakan oleh Sunan Bonang sebagai tongkat pada masa itu. Tongkat itu kemudian diwariskan kepada Sunan Kalijaga untuk menemani beliau berdakwah.

Menilik kisah perjalanan kadipaten Pati pada masa lalu juga cukup mendebarkan. Tidak hanya sejarah keperwiraannya yang dengan gagah berani dan suara lantang menyatakan bahwa Kadipaten Pati dan Mataram adalah sederajad. Hingga pada masa Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung, Pati diserbu oleh “saudara sekandungnya” sendiri, tetapi juga letak geografisnya yang ternyata dulu terpisahkan dari Pulau Jawa oleh Selat Muria.

Karakter pesisiran tidak bisa hilang dari tombak ini. Untuk memahami tangguh pesisiran perlu juga memahami pemetaan variasi regional dari budaya Jawa. Dimana pulau Jawa terbagi menjadi banyak daerah mulai dari barat yakni banten, kemudian sunda, pesisir, di tengah ada bagelen, negarigung, mancanegari, sampai ke timur tanahbrang wetan dan paling ujung adalah blambangan. Sedangkan pesisiran sendiri adalah untuk menyebutkan daerah-daerah di sepanjang pantai utara Jawa, dibagi menjadi dua; yakni pesisir kulon mulai dari Cirebon, Tegal, Pekalongan hingga sekitar Kendal. Kemudian pesisir wetan mulai dari Semarang, Demak terus ke utara, Jepara sampai ke timur di daerah Tuban.

Namun secara bentuk, semar yang ada pada tombak ini lebih mendekati pakem semar Jawa dibandingkan pakem semar Cirebon (seperti yang tertulis pada Surat Keterangan diperkirakan berasal dari Tangguh Cirebon). Di Cirebon, Semar digambarkan sangat bulat dengan wajah yang lebih besar dan bulat pula. Jika di Jawa, Semar memakai kain yang menutupi hampir seluruh badan bagian bawah, di Cirebon Semar digambarkan berbeda, tidak menutupi seluruh badan bagian bawah. Dalam tradisi pedalangan Cirebon Semar terasa sangat istimewa, ada sebagian dalang bahkan membungkus semar dengan kain putih, sebelum membuka kain tersebut sang dalang melantunkan sebuah syair dalam bentuk tembang suluk.

Sederhana dan lugas, namun tidak kehilangan esensi keteduhan seorang Semar dan aura kesakralannya. Secara ergonomi juga tampak tebal, kuat, kokoh, dan dapat diandalkan. Bagi sang pemilik dianggap sudah selesai dengan masalah ‘bungkus’ dengan lebih memilih ‘isi’. Besinya terkesan keras, dan agak kering, patut diduga dalam penyepuhannya menggunakan air yang mengandung kadar garam tinggi. Pengolahan (smelting) besinya juga masih tampak tradisional dari warna besi yang tampak heterogen tanda masih banyaknya unsur-unsur logam “pengotor” lain selain besi (Fe). Sangat dimungkinkan tombak ini berusia lebih tua dari perkiraan Abad yang tertulis pada Surat Keterangan dari Museum Pusaka.

Apabila bilah tombak kita lepas dari landeyan-nya, kita bisa melihat bentuk pesi yang cukup unik, dimana bagian ujungnya dipuntir. Menurut catatan  R. Ng Ronggowarsito yang disalin ulang oleh R. Ng Hartokretarto dalam Buku Pakem Pusaka Duwung, Sabet, Tombak (1964), signature Kyahi Guling Mataram jika membuat keris dan tombak pesinya selalu dipuntir.

PAMOR NGULIT SEMANGKA, disebut demikian karena pamor yang dibuat oleh sang Empu pada permukaan bidang mirip sekali dengan corak yang terdapat pada kulit buah semangka, yakni berupa beberapa garis lengkung dari bentuk garis lengkung terkecil  kemudian melebar dengan lengkungan yang membesar, menggoreskan lukisan abstrak alam yang harmonis. 

Menyiratkan bahwa jalan hidup yang tak selamanya lurus bahkan mungkin akan penuh liku naik turun dan kerikil tajam. Jalan yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, tidak perlu merasa khawatir karena segala sesuatunya sudah ada yang Maha Mengatur. Dalam konteks tersebut menggambarkan jalinan yang tidak pernah putus, baik dalam arti upaya untuk mencari jati diri, dan upaya memperjuangkan suatu gegayuhan. Untuk menjadi pribadi yang lebih percaya diri (optimis), bijaksana dalam memutuskan suatu permasalahan (dinamis), dan pandai dalam pergaulan untuk menyesuaikan dengan segala keadaan (flexible). Garis diagonal yang bertemu pada suatu titik juga melambangkan penghormatan, keteladanan, cita-cita, serta kesetiaan kepada nilai-nilai kebenaran. Aura dinamis pada pamor ini juga menunjukkan kecekatan, kesigapan, dan kesinambungan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya. Artinya, tidak ada kata berhenti atau menyerah dalam menggapai suatu tujuan sampai saat waktunya harus berpulang. Gusti Paring Dalan.

Dalam setiap cerita yang bergulir, sosok Semar seolah membawa jaminan, yakni : “barangsiapa didampingi tokoh Semar, hidupnya tidak akan goncang melainkan mukti, suci murni, dan tidak diliputi sifat kemunafikan”. Ketika situasi sosial, ekonomi dan politik jagat kehidupan manusia mulai ditimpa kekacauan, tokoh Semar akan muncul secara tiba-tiba. Pemunculan Semar yang wujud fisiknya bisa dalam berbagai ragam, mencerminkan sedang terjadinya kemelut politik dan ekonomi yang gagal diatasi oleh manusia. Hadirnya sang Semar berarti kekacauan itu segera akan berakhir.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

One thought on “Tombak Semar Tinandu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *