Suratman Ketip

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 3,950,000(TERMAHAR)Tn. NA  Jakarta Pusat



  1. Kode : GKO-227
  2. Dhapur : Tilam Upih
  3. Pamor : Ketip
  4. Tangguh : Mataram (Abad XVI)
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 335/MP.TMII/IV/2017
  6. Asal-usul Pusaka : Pekalongan, Jawa Tengah
  7. Keterangan Lain : warangka dusun

 

Ulasan :

Pekalongan, salah satu kota di pesisir pantai utara Jawa Tengah menyimpan banyak kekayaan budaya yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pekalongan merupakan sebuah daerah yang menjadi simpul persahabatan antar budaya, kota yang tak gagap dengan yang namanya perbedaan. Perkawinan ke-bhinneka-an (Arab, Tionghoa, Jawa) ini terajut manis membuahkan produk-produk budaya fisik maupun non fisik yang tetap terpelihara secara turun temurun dalam kurun waktu panjang hingga kini.

Mulai dari motif batik Jlamprang yang tersohor, konon motif jlamprang merupakan motif yang dikembangkan oleh pembatik keturunan Arab karena pada umumnya orang Arab yang mayoritas muslim sesuai akidah Islam tidak diperkenankan menggunakan ornamen berbentuk makhluk hidup. Pola ceplokan (cakra dan padma) distilirisasi dalam bentuk dekoratif menunjukkan corak peninggalan masa prasejarah yang kemudian menjadi warisan dari agama Hindu dan Budha. Pilihan warna yang mencolok dari batik Pekalongan tampaknya tidak sekedar sebagai pelengkap pola hias. Adanya pengaruh warna keramik pada masa dinasi Ming yang hanya diproduksi pada abad ke-17 sampai 18. Selain biru putih juga diproduksi berbagai warna. Menurut filsafat Cina kuno, warna-warna tersebut menyimbolkan makna kedinamisan, kejantanan, dan keperkasaan.

Kemudian ada Wayang Keling. Wayang Keling merupakan satu-satunya jenis wayang di daerah pesisir utara pulau Jawa, yakni di Pekalongan. Munculnya wayang tersebut berkaitan dengan masuknya agama Islam di Jawa, menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 – 1522). Pada masa pergolakan Majapahit (Paregreg), membuat orang-orang yang kokoh mempertahankan agama Hindu-Budha lari berpencar ke daerah-daerah lain dan keturunan-keturunan mereka kemudian menciptakan seni budaya baru dengan cerita-cerita pewayangan baru. Meskipun dalam sepintas lalu wayang Keling tersebut mirip wayang kulit Jawa, namun perbedaan nampak menonjol pada gelung cupit urang yang tidak sampai pada ubun-ubun. Selain itu bibir wayang semar berangkap tiga (3), gareng nampak agak gemuk, petruk membawa sapu tangan sedang Bagong berwajah burik dan berlubang-lubang. Iringan gamelannya pun berbeda dan lagu-lagunya bercengkok pesisiran dengan dilengkapi beduk dan slompret.

SURATMAN dan GUMINAH, yang tidak ketinggalan tentu saja adalah budaya perkerisannya, yakni sepasang keris Suratman dan keris Guminah. Keris Suratman (Surataning Manungso) yang selalu ber-dhapur lurus (tilam, brojol), sangat khas ciri-cirinya yakni; memiliki gambaran timbul (relief) bulatan bulatan uang picis kuno di sepanjang bilah, ada yang terpisah (dinamakan : suratman kethip) ada pula yang bertumpuk berjajar (dinamakan : suratman lethrek). Sedangkan keris Guminah (Gumandul ing manah), menurut kepercayaan adalah pasangan dari keris Suratman, ber-dhapur lurus (tidak terdapat dalam pakem dhapur) tapi memiliki ciri khas lain yakni campuran besi Brojoguno yang keras mampu menancap koin pada ujung maupun sisi tajamnya. Yang diumpamakan sebagai estri atau pendamping “Wanitanya”, yang penuh cinta dan kasih sayang (ngademke). Seperti layaknya seorang wanita, cantik, anggun, luwes, penuh kasih sayang mampu meredam keangkeran, ego, emosi /kekerasan namun tetap kuat (tegar) dan landhep (hati dan pikirannya).

FILOSOFI, Pamor Ketip tampak berpola geometri (bulatan) mirip picis atau kepeng (uang logam kuno) yang ditata rapi dari sor-soran atau pangkal bilah hingga pucukan atau ujung bilah, uniknya selalu berjumlah ganjil dan letak uang logam tersebut berselang seling tingginya antara sisi muka dan sisi belakang. Apabila ditelusuri lebih dalam ternyata juga menuai simpul-simpul perkawinan filosofi dari berbagai budaya.

Lingkaran merupakan simbol universal yang banyak ditemukan di dinding gua pra sejarah dan permukaan bebatuan. Pada awalnya kemungkinan melambangkan cakram cahaya matahari dan bahkan kini, di bidang astronomi dan seni, lingkaran dengan titik di tengah melambangkan matahari. Sedangkan di bidang astrologi lingkaran melambangkan roh manusia atau batin individu. Pada umumnya lingkaran melambangkan penyatuan, ketakterhinggaan, keutuhan, para dewi dan kekuatan perempuan. Lingkaran juga melambangkan pergantian musim yang terus menerus, roda tahun dan sifat kehidupan itu sendiri yang abadi dan memiliki siklus. Dalam khasanah Hindu-Budha, Lingkaran identik dengan senjata cakra, kata cakra dalam bahasa Sansekerta mengandung arti bulatan atau lingkaran, piringan, roda atau sejenis dengan itu. Cakra ialah perlambang lingkaran hidup manusia. Bahwa kehidupan manusia selalu berputar, kadang membawanya di atas dan kadang pula terpuruk di bawah. Ini hanya soal waktu, akankah kita mau berada dibawah terus menerus atau kita memilih untuk cepat bangkit dan menjalani siklus.

Bagi budaya Islam, pamor ketip seperti angka nol (0) yang berderet. Angka 0 yang dalam bahasa Inggris disebut zero berasal dari bahasa Arab “sifr” yang bermakna “kosong”. Secara historis, ditemukannya angka 0 pertama kali oleh Muhammad bin Ahmad kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Musa Al Kwarizmy, seorang tokoh penemu perhitungan Al Jabar yang menjadi dasar ilmu pasti. Penemuan angka 0 ini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dunia. Dalam filosofi agama, angka 0 bisa diartikan sebagai kembalinya diri terhadap penyucian jiwa, sehingga 0 merupakan titik keikhlasan dan penyerahan, mengosongkan dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Angka 0 juga memiliki arti penting dalam mencapai kesempurnaan nilai akan sesuatu, serta bisa menjadi simbol kemenangan bagi penyucian jiwa. Angka 0 berderet tak ubahnya dengan proses terus mencoba, tak cukup sekali lalu menyerah, untuk kembali fitrah.
Bagi budaya Cina, deretan uang logam menggambarkan keajegan atau konsistensi dan tentu saja kesejahteraan (penumpukan harta benda atau penarik rejeki). Uang logam juga memiliki kemampuan untuk memikat kesuksesan. Orang jawa menyebutnya dengan “cepak rejeki / sandang pangane”. Sejarah peradaban Tiongkok melahirkan pandangan para filsuf terhadap fungsi uang, mulai dari segi ekonomi hingga kekuasaan untuk mengontrol. Uang sudah tidak lagi sekedar alat tukar perdagangan, maupun menjadi alat untuk menilai status seseorang. Hal ini dapat dilihat dari fungsi uang baik segi budaya maupun metafisik orang Tionghoa. Uang sudah melampaui fungsinya sebagai alat tukar ekonomi, misalnya dalam fengshui, ritual exorcisme hingga perlindungan terhadap anak dari mara bahaya, banyak yang menggunakan uang. Tak heran keris ini dulunya hingga sekarang justru banyak disimpan oleh para juragan batik, juragan kapal, juragan walet dan para pedagang keturunan Tionghoa yang njawani di daerah pesisir utara Jawa Tengah itu, mereka berkeyakinan tuah pamor keris Suratman Ketip tidak kalah dahsyatnya dengan pamor udan mas.
Bagi orang Jawa, motif ini juga melambangkan harapan agar manusia selalu ingat akan asal-usulnya, sebagai pameling (pengingat) bahwa hidup tidak hanya untuk mencari atau menumpuk harta benda saja, karena justru seringkali mata uang logam (sen) digunakan untuk ditebar sepanjang jalan sebagai pengiring jenazah (sawur).
TENTANG TANGGUH, Kesan wingit langsung dirasa ketika melolos pusaka dari warangkanya, besinya tampak hitam legam, keras dan berbau ‘khas’, karena memang untuk ngrukti (perawatan) keris suratman ketip turun-temurun biasanya hanya diolesi dengan minyak misik hitam dan diangin-angin sekaligus diasapi dengan kemenyan atau dupa, jarang sekali keris suratman ketip diwarangi. Tentu saja pancaran ‘warna’ yang wingit tersebut berasal dari endapan minyak yang sudah mengering berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun lamanya. Bilahnya berukuran sedang, tantingannya ringan, dan berbunyi nyaring jika disentil pertanda matang tempa, gandik-nya agak tegak dengan tikel alis agak dalam dan panjang, bentuk bilah secara keseluruhan masih bisa dikatakan wutuh menjadi nilai tambah tersendiri. Ibarat sebuah alat musik masih bisa beresonansi dengan sempurna menghasilkan nada-nada yang pas. Pada bagian pamor ketip (uang logam) tampak pula berjajar rapi pada sisi tengah bilah mulai dari pangkal bilah hingga ke ujung berjumlah 41 buah.  Adakah makna khusus dalam setiap jumlah uang logam pada pamor ketip yang berbeda-beda? Adakah makna khusus di balik angka 41? Apakah berhubungan dengan Ilmu Tiongkok kuno Bagua Shuzi dimana Sheng Qi = Angka kekayaan: 14, 28, 39, 41, 67, 76, 82, 93?
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *