Mahar : 3,950,000(TERMAHAR)Tn. NA Jakarta Pusat
- Kode : GKO-227
- Dhapur : Tilam Upih
- Pamor : Ketip
- Tangguh : Mataram (Abad XVI)
- Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 335/MP.TMII/IV/2017
- Asal-usul Pusaka : Pekalongan, Jawa Tengah
- Keterangan Lain : warangka dusun
Ulasan :
Pekalongan, salah satu kota di pesisir pantai utara Jawa Tengah menyimpan banyak kekayaan budaya yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pekalongan merupakan sebuah daerah yang menjadi simpul persahabatan antar budaya, kota yang tak gagap dengan yang namanya perbedaan. Perkawinan ke-bhinneka-an (Arab, Tionghoa, Jawa) ini terajut manis membuahkan produk-produk budaya fisik maupun non fisik yang tetap terpelihara secara turun temurun dalam kurun waktu panjang hingga kini.
Mulai dari motif batik Jlamprang yang tersohor, konon motif jlamprang merupakan motif yang dikembangkan oleh pembatik keturunan Arab karena pada umumnya orang Arab yang mayoritas muslim sesuai akidah Islam tidak diperkenankan menggunakan ornamen berbentuk makhluk hidup. Pola ceplokan (cakra dan padma) distilirisasi dalam bentuk dekoratif menunjukkan corak peninggalan masa prasejarah yang kemudian menjadi warisan dari agama Hindu dan Budha. Pilihan warna yang mencolok dari batik Pekalongan tampaknya tidak sekedar sebagai pelengkap pola hias. Adanya pengaruh warna keramik pada masa dinasi Ming yang hanya diproduksi pada abad ke-17 sampai 18. Selain biru putih juga diproduksi berbagai warna. Menurut filsafat Cina kuno, warna-warna tersebut menyimbolkan makna kedinamisan, kejantanan, dan keperkasaan.
Kemudian ada Wayang Keling. Wayang Keling merupakan satu-satunya jenis wayang di daerah pesisir utara pulau Jawa, yakni di Pekalongan. Munculnya wayang tersebut berkaitan dengan masuknya agama Islam di Jawa, menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit (1518 – 1522). Pada masa pergolakan Majapahit (Paregreg), membuat orang-orang yang kokoh mempertahankan agama Hindu-Budha lari berpencar ke daerah-daerah lain dan keturunan-keturunan mereka kemudian menciptakan seni budaya baru dengan cerita-cerita pewayangan baru. Meskipun dalam sepintas lalu wayang Keling tersebut mirip wayang kulit Jawa, namun perbedaan nampak menonjol pada gelung cupit urang yang tidak sampai pada ubun-ubun. Selain itu bibir wayang semar berangkap tiga (3), gareng nampak agak gemuk, petruk membawa sapu tangan sedang Bagong berwajah burik dan berlubang-lubang. Iringan gamelannya pun berbeda dan lagu-lagunya bercengkok pesisiran dengan dilengkapi beduk dan slompret.
SURATMAN dan GUMINAH, yang tidak ketinggalan tentu saja adalah budaya perkerisannya, yakni sepasang keris Suratman dan keris Guminah. Keris Suratman (Surataning Manungso) yang selalu ber-dhapur lurus (tilam, brojol), sangat khas ciri-cirinya yakni; memiliki gambaran timbul (relief) bulatan bulatan uang picis kuno di sepanjang bilah, ada yang terpisah (dinamakan : suratman kethip) ada pula yang bertumpuk berjajar (dinamakan : suratman lethrek). Sedangkan keris Guminah (Gumandul ing manah), menurut kepercayaan adalah pasangan dari keris Suratman, ber-dhapur lurus (tidak terdapat dalam pakem dhapur) tapi memiliki ciri khas lain yakni campuran besi Brojoguno yang keras mampu menancap koin pada ujung maupun sisi tajamnya. Yang diumpamakan sebagai estri atau pendamping “Wanitanya”, yang penuh cinta dan kasih sayang (ngademke). Seperti layaknya seorang wanita, cantik, anggun, luwes, penuh kasih sayang mampu meredam keangkeran, ego, emosi /kekerasan namun tetap kuat (tegar) dan landhep (hati dan pikirannya).
FILOSOFI, Pamor Ketip tampak berpola geometri (bulatan) mirip picis atau kepeng (uang logam kuno) yang ditata rapi dari sor-soran atau pangkal bilah hingga pucukan atau ujung bilah, uniknya selalu berjumlah ganjil dan letak uang logam tersebut berselang seling tingginya antara sisi muka dan sisi belakang. Apabila ditelusuri lebih dalam ternyata juga menuai simpul-simpul perkawinan filosofi dari berbagai budaya.
Lingkaran merupakan simbol universal yang banyak ditemukan di dinding gua pra sejarah dan permukaan bebatuan. Pada awalnya kemungkinan melambangkan cakram cahaya matahari dan bahkan kini, di bidang astronomi dan seni, lingkaran dengan titik di tengah melambangkan matahari. Sedangkan di bidang astrologi lingkaran melambangkan roh manusia atau batin individu. Pada umumnya lingkaran melambangkan penyatuan, ketakterhinggaan, keutuhan, para dewi dan kekuatan perempuan. Lingkaran juga melambangkan pergantian musim yang terus menerus, roda tahun dan sifat kehidupan itu sendiri yang abadi dan memiliki siklus. Dalam khasanah Hindu-Budha, Lingkaran identik dengan senjata cakra, kata cakra dalam bahasa Sansekerta mengandung arti bulatan atau lingkaran, piringan, roda atau sejenis dengan itu. Cakra ialah perlambang lingkaran hidup manusia. Bahwa kehidupan manusia selalu berputar, kadang membawanya di atas dan kadang pula terpuruk di bawah. Ini hanya soal waktu, akankah kita mau berada dibawah terus menerus atau kita memilih untuk cepat bangkit dan menjalani siklus.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3 Email : admin@griyokulo.com
————————————