Buto Ijo

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 6.250.000,-(TERMAHAR) Ibu M Tajur, Bogor



  1. Kode : GKO-228
  2. Dhapur : Buto Ijo
  3. Pamor :  Pedaringan Kebak
  4. Tangguh : Singosari Abad XI
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No :340/MP.TMII/V/2017
  6. Asal-usul Pusaka : Temuan sungai Musi, Palembang
  7. Keterangan Lain : keris tindih, mendak asli, warangka lawasan gayaman ladrang solo

 

Ulasan :

Keris Buto Ijo banyak dicari oleh mereka yang ingin segera memperoleh derajad pangkat kedudukan, melanggengkan kekuasaan juga menjaga harta benda sang pemilik.

BUTO IJO, adalah salah satu dhapur keris luk sembilan yang tergolong langka. Ukuran panjang bilah ini sedang, sebagian besar memakai ada-ada, sehingga permukaan bilahnya nggigir sapi. Dhapur buto ijo memakai  pejetan, sogokan rangkap, sraweyan serta eri pandan. Gandik-nya polos, tanpa ricikan lainnya. Pada zaman dahulu keris berdhapur buto ijo banyak dimiliki oleh kalangan prajurit (banteng wareng) keraton.

FILOSOFI, Buto dalam bahasa Jawa berarti raksasa dan Ijo adalah hijau. Raksasa dalam pewayangan sering disebut buto atau denawa. Para raksasa termasuk golongan Asura. Sebutan Asura artinya bukan dewa. A– artinya bukan, sura artinya dewa. Jika melihat gambarannya, maka ciri-ciri golongan raksasa itu sangat jelas. Tentu ciri yang paling nampak bahwa raksasa itu buruk rupa. Sedangkan ciri-ciri yang lain adalah raut muka serba menakutkan, hidungnya besar seperti lengkung tepi perahu (canthiking baita), mata bulat besar, mulut lebar, gigi besar, punya taring panjang, rambut kumpul (gimbal), bulu rambut tangan dan kaki panjang lebat (dhiwut), simbar teba, dan ciri yang tidak bisa diraba tetapi pasti bahwa raksasa itu jahat.

Buto Ijo hadir dalam tokoh pewayangan maupun folkfore (cerita rakyat), serat-serat atau manuskrip mencatat wayang raksasa (denawa) mulai dibuat pada jaman Mataram. Pada masa pemerintahan Mas Jolang atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Seda Krapyak (1601-1613), selain membuat wayang dagelan (semar, cantrik dll), Sang Prabu juga mencipta wayang denawa murgan, mempunyai sebuah gigi taring yang keluar dari bibir bawah, dimana bagian depan taring itu hampir merapat dengan hidung, memakai keris dan kain berdodot, dengan kedua tangan dapat digerakkan atau lebih dikenal dengan buto cakil. Pembuatan wayang tersebut mempunyai sengkalan: ‘tangan yaksa satataning janma‘ (1605 M). Sultan Agung Anyakrakusumo yang merupakan ahli filsafat dan ahli kesenian menciptakan pula wayang denawa memakai taji dan rambut terurai, atau buto rambut geni dengan sengkalan: ‘jalu buta tinata ing ratu‘ (1631 M). Kemudian Amangkurat I tak ketinggalan pula menciptakan wayang buto alasan atau buto ijo, laki-laki memegang badama (parang) dan hanya memakai cawat dengan diberi sengkalan: ‘wayang buta ing wana tunggal‘ (1634 M). Tradisi itu masih dilanjutkan juga di jaman Kartasura, dimana pada zaman itu diciptakan wayang buta Gundul berleher pendek berhidung seperti buah terong, atau lebih dikenal buto endog atau buto terong bermata satu dengan sengkalan: ‘marga sirna wayanging raja‘ (1682 M).

Seringkali Buto Ijo digambarkan sebagai sosok berupa raksasa tinggi besar berwarna hijau dengan rambut keriting gimbal awut-awut, laki-laki, berhidung bulat dan besar, dan bertaring melengkung. Hidup dalam ganasnya hutan belantara membentuk dan membesarkannya sebagai seorang prajurit pilih tanding, yang selalu berada di ujung garis pertempuran. Dia adalah prajurit sejati, pantang mundur dari laga, dan melaksanakan segala perintah dari Rajanya dengan sebaik baiknya, walaupun nyawa taruhannya. Di lain sisi, Buto Ijo juga menggambarkan tentang keserakahan yang ada dalam diri manusia. Keserakahan seringkali dimaknai sebagai sifat yang ingin memiliki segala sesuatu yang ada di dunia, tidak peduli milik siapapun, segala sesuatu yang diinginkannya harus tunduk dan menjadi miliknya. Buto Ijo adalah gambaran jahat bagi orang Jawa, manifestasi kekuatan yang tak terhingga, menindas sewenang-wenang hingga kita terinjak-injak. Buto Ijo adalah imperialisme (penjajahan) asing yang mengobrak-abrik tatanan rumah kita, menjajah mentah-mentah kita, menghisap sumber daya alam kita, tanpa menyisakan barang secuilpun untuk kita, selain remah-remah tak berharga yang dijadikan makanan kita. Buto Ijo adalah musuh bersama yang harus diperangi dan dikalahkan.

Di kalangan pemburu isoteri, keris Buto Ijo justru menjadi piyandel lain. Buto Ijo dianggap ‘satpam gaib‘ yang setia menunggui harta benda dan menjaga bisnis tuannya. Menurut para pakar kebatinan, harta yang dijaga Buto Ijo akan aman dari apa pun, bahkan termasuk ulah makhluk gaib lain. Tetapi yang sebenarnya adalah harta benda, kekuasaan dan hal-hal keduniawian lainnya semuanya adalah titipan Yang Maha Kuasa, yang bisa diberikan dan diambil sewaktu-waktu.

TENTANG TANGGUH,Masyarakat Palembang secara turun temurun senantiasa bersinggungan dengan berbagai ragam budaya yang datang dari luar, baik budaya serumpun maupun dari bangsa-bangsa lain. Salah satu hasil budaya yang datang dari luar  yang mampu mereka olah dan kemudian menjadi salah satu identitas masyarakat adalah budaya keris. Berdasarkan beberapa manuskrip dan catatan sejarah masuknya budaya keris dari Jawa ke pulau Sumatera sebagian besar terjadi ada era Singasari. Kitab Negarakertagama pada wirama 41 baid 157 menceritakan Prabu Kertha Negara dari Singasari mengadakan ekspedisi Pamalayu ke Sumatera pada tahun Saka Nagasyabhawa atau 1275 M. Ekspedisi Pamalayu ini tentu saja bersampak significant  terhadap persebaran budaya keris ke wilayah tersebut. Keris pada saat itu adalah atribut perlengkapan prajurit, senjata perang dan sekaligus sebagai benda pusaka bagi prajurit jawa. Kitab Negara Kertagama pada wirama 13 juga menceritakan bahwa pada tahun 1276 M Majapahit telah berhasil menundukkan Melayu (Sumatera) antara lain; Jambi, Palembang, Toba, Darmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Haru, Mandailing, Tumihang, Perlak, Padang, Hilwas, Samudera, Lamuri, Batan, Lampung dan Batan, Lampung dan Barus. Era Sunda Pajajaran juga terdapat seorang Empu yang bernama Sanggabumi yang hijrah ke barat.

Demak Bintoro juga mempunyai hubungan spesial dengan Kasultanan Palembang, dimana Ekspedisi Demak ke Malaka di bawah pimpinan Pati Unus didukung penuh oleh kerajaan-kerajaan di Sumatera. Ekspedisi tersebut memiliki peranan besar terhadap persebaran keris ke Sumatera hingga ke Malaka dan Semenanjung Malaya. Diantaranya yang paling menonjol adalah persebaran bentuk warangka wulan tumanggal yang kemudian berkembang dan populer menyebar hampir di seluruh Sematera, hingga Semenanjung Malaya, Brunai Darussalam dan Thailand Selatan. Era Mataram Sultan Agung juga memiliki peranan tersendiri terhadap persebaran budaya keris Palembang. Hubungan politik dengan raja-raja di Sumatera seringkali dipererat dengan pemberian hadiah berupa keris (Si Ginje).

Selain pengaruh Jawa, keris-keris di pulau Sumatera khususnya Palembang juga mendapat pengaruh ‘darah’ Bugis. Masuknya keris Bugis ke Sumatera khususnya Palembang diperkirakan telah terjadi pada awal abad ke-16. Penaklukan Bone atas kerajaan Pariaman di Sumatera oleh La Tenri Tata Arung memiliki pengaruh yang besar; bentuk mata keris, warangka/sampir, ulu/hulu keris-keris di Sumatera seringkali dijumpai menyerupai gaya keris Bugis.

Sangat jarang Penulis bisa melihat keris ber-luk sembilan dengan sogokan rangkap, terlebih jika menggunakan rujukan ‘Mazhab’ Bambang Harsrinuksmo (Ensiklopedi Keris), dimana dhapur Buto Ijo adalah luk sembilan dengan ricikan salah satu diantarannya adalah sogokan depan dan belakang (rangkap) yang agak berbeda dengan buku ‘dhapur’ Damartaji. Meskipun tidak bisa dikatakan wutuh lagi, dari tarikan luk-nya yang luwes kita bisa melihat aslinya memang keris ini berlekuk sembilan, bukan berlekuk sebelas atau lebih yang luknya hilang.

Mendak asli pada keris ini masih menempel pada keris ini ketika ditemukan di Sungai Musi. Mendak bentuknya seperti mangkok kecil atau cincin kecil yang kebanyakan diantaranya dihiasi dengan batu-batu kecil. Bagian ini merupakan peralihan dari bagian gagang ke bagian wilah. Pada zaman dahulu selain pendok, mendak juga sebagai penanda status sosial. Sejak kapan pemakaian aksesoris mendak pada keris menyisakan pertanyaan dengan jawaban yang masih kelabu. Drs Hamzuri dalam bukunya : Petunjuk Singkat Tentang Keris yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1982/1983 menulis : “Keris pada jaman majapahit tidak terdapat mendak. Keris Jaman Majapahit kebanyakan ukiran (hulu) menjadi satu dengan bilah berbentuk patung manusia. Keris pada Era sebelumnya, seperti yang terdapat pada pahatan-pahatan batu dalam relief candi-candi terdapat gambar keris lurus yang sederhana (jalak atau bethok, dimana methuk menjadi satu juga dengan bilah)”.

Yang bisa dijadikan bahan catatan, jika kita mengunakan lup atau kaca pembesar untuk mengamati dengan seksama sisa-sisa batu-batu mulia yang masih menempel pada bagian mendak, akan terlihat pola bidang permukaan yang mulus atau oval membulat sempurna, berbeda dengan batu-batu yang terdapat pada mendak sekarang yang terlihat potongan cuting menjadi beberapa diagonal segi/bidang. Sisa-sisa batu alam yang menempel berwarna transparan kekuning-kuningan oleh para pecinta batu akik dikenal dengan batu ‘topaz’. Batu topaz juga dipercaya memiliki tuah, daya magis atau mistis bagi siapapun yang memilikinya. Melihat dari namanya, batu topaz dalam bahasa sansekerta ‘tapas’ yang artinya ‘panas atau api’, yang mana di percaya bahwa batu ini memiliki kekuatan untuk mengendalikan amarah atau emosi. Bahkan pada jaman kerajaan dulu kala, batu ini diyakini memiliki kekuatan untuk menambah wibawa, karenanya bangsawan jaman dahulu banyak yang menggunakan batu ini untuk memperindah perhiasan mereka. 

Gonjo wilud-nya yang bergelombang luwes tidak bisa dinafikan menambah kecantikan dan kesan garap tersendiri. Gonjo Wilud merupakan stilasi dari ulat yang sedang berjalan, melambangkan usaha manusia untuk mencapai tujuan perlu diraih secara bertahap dengan tekun dan sabar. Ada ungkapan dalam masyarakat jawa sopo kang tekun bakale tekan, sopo sing temen bakale tinemu, berarti “siapa yang berusungguh-sungguh pasti akan dapat menemukan apa yang dicarinya”.

Yang menjadi catatan kecil bagi penulis justru pada bagian pesi yang masih wutuh. Tampaknya hulu yang ada sebelumnya efektif melindungi bagian pesi dari korosi alam. Bagian Pesi tampak berbentuk gilig dengan diameter yang cukup besar melebihi rata-rata. Pesi yang besar dan kokoh ini tentunya akan fungsional memback-up kekuatan bilah ini jika dulunya digunakan sebagai senjata taktis dalam pertempuran.

PAMOR PEDARINGAN KEBAK, gambaran motifnya amat mirip dengan pamor wos wutah. Ditinjau dari sudut arti namanya pun ada kaitannya. Wos Wutah artinya beras tumpah, sedangkan pedaringan kebak artinya peti beras yang penuh. Dahulu, orang jawa pada umumnya menyimpan beras dalam sebuah peti besar terbuat dari kayu yang disebut pendaringan. Dari segi bentuk gambaran pamornya, pamor pedaringan kebak tampak lebih kompleks dibandingkan bentuk gambaran pamor wos wutah. Pamor ini boleh dikatakan menempati seluruh permukaan bilah, tidak terpisah mengelompok menjadi beberapa bagian. Tuahnya dipercaya lebih kuat dibandingkan pamor wos wutah, rejeki mengalir deras memenuhi lumbung-lumbung yang ada.

Hal ini mengandung ajaran bahwa wanita sebagai istri harus mampu menjadi pedaringan, yaitu mampu menjadi tempat menyimpan segala macam rejeki yang diperoleh suami. Artinya istri harus mampu memilah antara kebutuhan dan keinginan agar dapat mengelola penghasilan suami dengan baik (gemi dan nastiti). Sebetulnya tidak hanya itu, seorang istri juga harus bisa menyimpan rapat rahasia (baca: kekurangan) suami. Sebab, istri yang pandai menjaga rahasia suami adalah penopang ketentraman langkah suami. Jika tidak, rumah yang dibangun dan ditinggali akan goyah dan tidak kuat menahan beban. Yang akan terjadi kemudian adalah nikmat sesaat sesal kemudian. Maka dalam mencari istri harus berhati-hati dan jangan terbawa perasaan sesaat. Ingat, cinta juga bisa memudar. Perempuan yang baik adalah yang bisa mengelola rejeki suami, menjaga hartanya dan ikut menghasilkan rejeki dari harta suami yang dikelolanya. 

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : 5C70B435  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *