Kujang Ciung Pajajaran

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 3.250,000,- (TERMAHAR) Tn. R Sawangan, Depok


1. Kode : GKO-429
2. Dhapur : Kujang Ciung
3. Pamor : Sulangkar
4. Tangguh : Pajajaran (Abad XIV)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 544/MP.TMII/VII/2020
6. Asal-usul Pusaka :  Bandung
7. Dimensi : panjang bilah 17,7 cm, panjang pesi  7,5 cm, panjang total 25,2 cm
8. Keterangan Lain : mata empat


ULASAN :

KUJANG CIUNG, adalah salah satu bentuk kujang yang memiliki waruga (bilah) seperti paruh burung Ciung (sejenis burung Bincarung), yakni burung pengicau dengan rupa yang elok yang memiliki paruh panjang dan lancip, warna bulu yang merah, lincah dalam gerak dan gagah apabila sedang bertengger di dahan pohon, lincah dalam gerak, serta nyaring ketika berkicau. Penamaan Ciung bertalian dengan keberadaan burung Ciung ketika itu dimana sifat-sifat nature burung Ciung tersebut merupakan cerminan kecerdasan, pandai berdiplomasi, dan rupawan.

Burung Ciung bagi masyarakat Sunda dianggap sebagai simbol pencitraan yang positif, sehingga dalam Pantun Bogor kujang ini dituturkan sebagai senjata para Bangsawan yang berkedudukan paling tinggi, yaitu sebagai Raja, Prabu Anom, dan Pendeta Agung Kerajaan (Brahmesta). Kujang Ciung merupakan salah satu jenis kujang yang populer di Jawa Barat sehingga dianggap representatif dari Kujang Sunda.

FILOSOFI, Esensi makna dari kata Ciung adalah “Ca’ng”, mengarahkan kepada Buana Nyungcung, yang merupakan tempat paling tinggi kedudukannya. Buana Nyungcung adalah tempatnya para Hyang atau para Wali Nagara yang sudah purna atau sempurna. Dalam penamaannya, Kujang Ciung mengarahkan kepada salah satu tokoh dalam babak (asal mula) Banjar Nagara yang bergelar Ciung Wanara dan Wastukancana pada zaman Pajajaran Nagara. Personifikasi karakter kujang ciung dapat disimpulkan sebagai seorang raja muda atau putra mahkota. Dengan referensi pemegang kujang ciung yang sudah dikenal oleh masyarakat Sunda, yaitu raja Prabu Ciung Wanara, personifikasi ini pun dapat membawa sifat raja yang terkenal bijak dan masyhur tersebut.

MATA/LUBANG KUJANG, adalah lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisanya berupa lubang lubang kecil. Kegunaannya sebagai lambang kedudukan status si pemakainya.

Dalam tradisi prepantun Bogor (Ki Panjak) mengenal adanya Mata kujang yang melambangkan Mandala atau Dunia atau Alam yang akan dilalui manusia sejak di dunia fana hingga alam baka, yaitu Mandala Kasungka, Mandala Permana, Mandala Karma, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala Suda, Mandala Jati, Mandala Samar dan Mandala Agung.

Kujang berdasarkan mata atau lubang dan artinya :

  1. Mandala Agung, bermata sembilan. Adakalanya dipanggil medal. Biasanya pemegangnya adalah Raja Bramestha dan Pandita agung.
  2. Mandala Samar, Bermata delapan. Adakalanya disebut ngajadi.
  3. Jati Mandala, Bermata tujuh. Adakalanya disebut malik. Biasanya pemegangnya Prabu anom, Mantri dangka (Perdana Menteri) dan pandita.
  4. Mandala Suda, Bermata enam. Adakalanya disebut usik.
  5. Mandala Seba, bermata lima. Adakalnya disebut mangrupa. Biasanya pemegangnya adalah seorang Bupati, Geurag serat, gerang Puun.
  6. Mandala Rasa biasa disebut wesi kuning, bermata empat. Adakalanya disebut gumelar. Pemegangnya para putri menak keraton.
  7. Mandala Karna, bermata tiga. Adakalanya disebut gumulung. Pemegangnya para Puun.
  8. Mandala Permana. bermata dua. Adakalanya disebut lumenggang.
  9. Mandala Kasungka, bermata satu. Adakalanya disebut ngaherang. Pemegangnya para guru tangtu Agama.

PAMOR SULANGKAR, kujang-kujang sepuh buatan jaman kerajaan dahulu tidak memiliki pamor khusus, kecuali garis-garis (sulangkar) dan bintik-bintik (tutul) yang tidak beraturan. Pamor sulangkar mengacu pada sejenis pamor yang bentuknya seperti alur sejajar dari bagian bawah sampai ke bagian atas. Bentuk pamor seperti ini banyak sekali ditemukan, bentuknya seperti pamor nyerat atau ngarambut. Konon Sulangkar atau tutul pada waruga (bilah) kujang, disamping sebagai penambah nilai artistik juga berfungsi untuk menyimpan racun.

KOWAK/KOPAK, Landean atau gagang berbentuk kepala burung ciung dengan kowak yang menyerupai sarung pisau sederhana dibuat  sendiri mengambil desain kowak kujang kuno, dengan pewarnaan instan menggunakan semir rambut. Karna seperti halnya Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, dan Kujang Jago cara membawa Kujang Ciung adalah dengan cara “Ditogel”; yaitu dengan cara diselipkan pada sabuk di depan perut tanpa menggunakan tali pengikat.

Sebelum mengenal pewarna sintesis seperti sekarang ini, zaman dahulu kayu Gadog Hideung lazim digunakan sebagai bahan pembuat sarung/warangka kujang. Orang sunda mengenal pohon Gadog (bischofia javanica) sebagai ki maung, karna konon zaman dahulu pohon ini biasa digunakan oleh harimau untuk menandai teritorinya melalui cakaran pada batangnya. Namun pada perkembangannya tidak hanya kayu gadog saja yang digunakan, namun segala jenis kayu. Sedangkan hideung artinya hitam, dimana pewarnaannya menggunakan cara alami yang akan membuat kayu menghitam, kuat dan tahan lama.

Penulis sendiri sangat penasaran dengan teknik pewarnaan alami gadog hideung. Dalam buku Tumbuhan Berguna di Indonesia I-IV, yang ditulis Karel Heyne seorang ahli botani Belanda (1877-1947) yang diterbitkan Yayasan Sarana Wana Jaya dan diedarkan oleh Koperasi Karyawan, Departemen Kehutanan (1987) dalam tulisan setebal 2500 halaman ini menyebutkan warna hitam banyak diperoleh dari kulit batang dan buah. Beberapa jenis buah memiliki kulit buah berwarna hitam seperti Ardisia pardalina, A. fuliginosa, Ricinus communis dan Macropanax undulatus, sehingga dalam jumlah banyak dapat dijadikan sebagai pewarna hitam. Yang menarik, dicatat pula jika Rendaman kulit kayu Caesalpinia sappan (secang, Sunda) dan Rhodomyrtus tomentosa (harendong sabrang, Sunda) yang direndam dalam lumpur selama minimal 3 bulan dapat menghasilkan warna hitam kelam. Secara ilmiah, melalui cara ini kandungan selulosa (pati, sumber makanan rayap) akan berkurang karena terlarut selama proses perendaman. Apakah “ramuan” ini salah satu cara yang digunakan sebagai teknik gadog hideung pada kayu?

CATATAN GRIYOKULO, dalam hal cengkok, kujang Ciung Pajajaran memiliki bentuk yang lebih melengkung dibandingkan Kujang Ciung dari daerah lain. Secara keseluruhan waruga (badan bilah) kujang ini masih tampak utuh. Mulai dari bagian papatuk (bagian ujung kujang yang runcing), siih (gerigi-gerigi pada bagian punggung kujang), mata (lubang-lubang kecil), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) hingga ke bagian paksi masih tampak dalam kondisi baik dan proporsional bentuknya. Sudah dibuatkan pula warangka yang cantik dan tematik menyesuaikan jenis kujangnya. Tidak ada pekerjaan rumah menunggu, hanya tinggal meneruskan merawatnya.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *