Keris Singa Barong Luk Tiga

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 8.888,888,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen, Jakarta Pusat


1. Kode : GKO-352
2. Dhapur : Singa Barong
3. Pamor : Pulo Tirto
4. Tangguh : Mataram Sultan Agung (Abad XVI)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 219/MP.TMII/II/2019
6. Asal-usul Pusaka :  Purworejo, Jawa Tengah
7. Dimensi : panjang bilah 31,5 cm, panjang pesi 6 cm, panjang total 37.5 cm
8. Keterangan Lain : dhapur yang saat ini mulai jarang ditemui


ULASAN :

SINGA BARONG, adalah dhapur keris yang bagian gandik-nya berbentuk binatang mirip singa, dengan kedua kaki depan tegak di tanah. Kaki belakang ditekuk, dengan tubuh belakang dalam posisi duduk. Sorot matanya tajam, dengan mulut menganga. Sebagian yang lain, pada moncong sang singa yang menganga sering “disumpal” dengan butiran emas atau batu mulia. Menurut kepercayaan sumpalan itu berguna untuk meredam sifat galak dari singa itu. Keris dengan dapur Singo Barong selalu tampak perkasa baik yang luk maupun lurus, karna dipercaya akan menambah kewibawaan dan keperkasaan pemiliknya.

Jika saat ini kita masih sering  melihat dhapur Naga “bersliweran”, tidak demikian dengan dhapur Singo. Selain karena varian dhapur singo tidak sebanyak dhapur nogo (seperti nogo sosro, nogo rojo, nogo siluman, nogo topo, nogo salira, nogo primitif dll), adalah sudah menjadi rahasia umum jika dhapur Singo ini sudah lama menjadi incaran para kolektor, para pejabat, para bakulers untuk kemudian masuk lemari penyimpanan sehingga dari ke hari semakin jarang kita bisa menemukannya.

Singa Barong Diantara Pengaruh Budaya Cina, Hindu. Budha dan Islam

Keris dhapur Singa Barong dan keris dhapur Nogo Sosro adalah dua jenis pasangan keris paling favourit sejak zaman dulu. Keris dhapur Singo Barong dipercaya merupakan pasangan dari keris dhapur Nagasasra. Keris dhapur Singo Barong merupakan lambang kekuatan, ketegasan dan keberanian yang diharapkan dimiliki oleh Raja, Patih dan Senapati perang. Sedangkan dhapur Nagasasra merupakan lambang kekuasaan, kewibawaan dan kebijaksanaan yang diharapkan dimiliki oleh seorang Raja. Tak heran mereka yang berkecimpung dalam dunia politik dan kekuasaan aktif memburu untuk mendapatkannya.

Untuk keris Singa Barong sendiri menarik untuk dicermati, karena bentuknya ditengarai hasil asimilasi dari berbagai budaya, terlebih adanya kenyataan juga bahwa pada fauna Jawa atau Nusantara tidak ditemukan  hewan “Singa”. Sedangkan kata “Barong” berarti sesuatu yang besar. Dan hal ini tercermin pada besarnya singa yang ada di gandik, karena umumnya bentuk yang kurus-kurus akan disebut kikik (anjing).

Cina, bentuk stilasi singa pada gandik keris Singa Barong memang lebih menyerupai kilin, yaitu arca binatang mitologi penunggu gerbang dari kebudayan Cina. Kilin ini banyak dijumpai di bangunan-bangunan Klenteng. Dalam mitologi cina binatang kilin adalah simbol kejantanan. Maka sebagian singa pada gandik dhapur keris Singo Barong juga menampilkan alat kelamin singa itu sendiri, mencuat tegang, sebagai lambang keperkasaan dan kejantanan. Singa Jantan seringkali di hiperbolakan dengan alat kelamin yang mencuat. Pada gandik singo barong-pun sering ditemui singa dengan alat kelamin mencuat ke atas, dan dalam kenyataannya para pecinta keris lebih menyenangi singo barong dengan alat kelamin ‘tegang’.

Hindu, Sebaliknya, mulut singa jantan digambarkan terbuka seperti sedang mengucapkan aksara “Aum” yang melambangkan konsep suci agama Hindu dan dipercaya sebagai pelindung. Dalam khasanah keagamaan Hindu, singa dianggap sebagai hewan suci, dimana menjadi dalah satu bentuk penjelmaan dewa Whisnu, dewa pelindung dan pemelihara alam semesta. Ketika berusaha membebaskan dunia dari kekuasaan Hiranyakacipu, seorang raja raksasa yang sangat lalim tetapi juga sangat sakti karena tidak dapat mati di waktu siang tak juga dapat mati di waktu malam. Selain itu singa juga dikenal sebagai wahana dewi Durga, istri dewa Syiwa, yang sedang menjelma  sebagai dewi Sinhavahini atau Sinharathi dan Badrakali. Oleh karenanya dipahami sebagai perwujudan dan wahana para dewa, yang merupakan perwujudan dari para pengawal yang mampu menjaga pemiliknya dari segala marabahaya dan maksud buruk dari semua mahkluk yang berniat jahat. Kepercayaan akan isoteri ini kemungkinan yang mendasari fakta bahwa keris dhapur Singo Barong ini dulunya banyak dimiliki oleh senopati atau pimpinan prajurit sebagai piyandel (memberi keteguhan).

Budha, Dalam naskah ‘Silpa Prakasa‘. sebuah naskah Budha kuno, disebutkan ada empat penggambaran bentuk singa yang dianggap baik, yakni :

  1. Simhavalokana, posisi singa digambarkan dalam posisi badan membalik dan kepalanya menghadap ke belakang.
  2. Jagrata atau Khummanasimha, posisi singa yang digambarkan dengan wajah sangat buas, duduk dengan kedua cakar depan diangkat ke atas.
  3. Gajakranta, dimana posisi singa digambarkan duduk dengan ketiga kaki berada di atas raja gajah dan satu kaki depannya diangkat di depan dada.
  4. Jhmpasimha atau Udyata, yang dianggap sebagai penggambaran singa yang dianggap paling suci dengan gambaran singa mengaum yang duduk bertumpu di kaki belakang dan kedua kaki depan lurus menyangga badan. Gambaran ini kurang lebih serupa dengan gandik singo barong yang kita kenal.

Islam, Ketika agama Islam masuk ke Indonesia dengan segala pengaruhnya, termasuk turut memberi influence dalam dunia perkerisan dengan masuknya filsafat, idiom atau simbol-simbol keislaman. Tampaknya telah terjadi akulturasi budaya dengan agama-agama sebelumnya, termasuk keris singo barong yang sarat akan nilai-nilai Cina-Hindu-Budha tetap dipertahankan keberadaanya. Bukan tanpa alasan, tak lain karena singa juga merupakan lambang ketokohan yang dimiliki oleh Rasulullah SAW yang dikenal sebagai sosok yang ramah, lemah lembut dan santun seperti diriwayatkan para sahabatnya sebagai singa medan laga ketika harus berperang melawan orang kafir. Demikian pula, beberapa sahabantnya juga memiliki gelar As’adullah (Singa Allah) karena memiliki keberanian dan kepemimpinan. Sehinga menjadi hal yang sangat wajar ketika pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusuma yang menabuh genderang perang kepada Kumpeni Belanda banyak membabar keris-keris ber-dhapur singo barong dengan harapan laskar Mataram yang dipimpinnya menjadi gagah berani dan dapat menang melawan kumpeni.

Pada akhirnya keris Singo Barong bukan sekedar menjadi sebilah senjata pusaka dengan segala aspek yang menyertainya tetapi juga lambang pemersatu ke-bhinneka-an berbagai etnis dan kebudayaan, berbagai macam agama dan kepercayaan dalam sebuah wadah adiluhung.

TANGGUH MATARAM SULTAN AGUNG, Barangkali fase yang dianggap paling mewakili kejayaan pembuatan keris di Jawa adalah semasa Kerajaan Mataram Islam. Dan Sultan Agung merupakan Raja Mataram yang paling terkenal dan dalam kekuasannya pembangunan di segala bidang mengalami kemajuan yang pesat. Bahkan Thomas Stamford Raflles mencatat, bahwa Sultan Agung digambarkan oleh orang Belanda sebagai raja yang sangat pandai dan memiliki pemikiran yang cerah. Meskipun naik tahta dalam usia yang relatif muda, yakni 22 tahun Sultan Agung ternyata bukan hanya berkemampuan memimpin pemerintahan dan kemiliteran, melainkan juga mahir dalam menangani masalah kebudayaan. 

Ketika itu, perkembangan keris dan tombak mencapai puncak kejayaan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Konon pada masa pemerintahan Sampean Dalem Ingkang Sunuhun Kangjeng Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma Senapati Ing Ngalaga Abdurahman Sayidin Panata Dinan berkenan mengeluarkan pengumuman, ialah mulai saat itu rakyat diperkenankan mempunyai pusaka-pusaka wesi aji seperti keris, tombak, pedang luwuk dan sebagainya, dan janganlah mempunyai rasa takut, bila sewaktu-waktu pusaka tersebut akan diminta oleh Raja atau keluarga keraton. Semua manusia berhak mempunyai rasa kepercayaan yang mantap terhadap apa yang dimiliki, dan diharapkan mempunyai rasa kepercayaan terhadap pimpinannya, bahwa beliau dan kerabat keraton akan selalu melindungi semua hak milik rakyatnya. Mulai saat itu Mataram berwajah baru, rakyat secara gotong royong mulai berbenah diri dan membangun mulai dari desa-desa hingga dalam kota. Keadaan Mataram bertambah cerah, dan di sana-sini bila ada hari-hari pertemuan atau pisowanan, rakyat tidak takut-takut lagi memakai pakaian adatnya lengkap dengan kerisnya, mulai dari keris yang tergolong ageman maupun yang disebut pusaka tayuhan.

Bahkan ketika  merencanakan mengempur VOC di Batavia,  Sultan Agung mempersiapkan diri melengkapi peralatan perang bagi pasukannya. Sultan Agung mengumpulkan empu – empu dan pande besi yang ada di daerah kekuasaan Mataram. Para Empu tersebut berasal dari seluruh penjuru tanah jawa berjumlah 800 dengan membawa calon kodokan masing-masing, dikumpulkan di Mataram untuk melaksanakan perintah membuat keris, tombak, meriam dan senjata perang lainnya, peristiwa inilah yang disebut “Pakelun“. Kata kelun artinya penguasaan menyeluruh atau mutlak. 800 orang empu ini kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok dipimpin oleh empu senior (empu tindih) dan kepadanya diberikan pangkat lurah mantri, yaitu empu Ki Nom, empu Legi, empu Tepas, empu Luwing, empu Guling, empu Tundung, empu Anjir, empu Gede, dan empu Mayi. Berbeda dengan keris buatan Empu “Domas” Majapahit yang keris-kerisnya mempunyai satu gaya, satu pasikutan, keris-keris karya Empu “Pakelun” Mataram lahir dengan membawa gaya masing-masing Empu.

PAMOR PULO TIRTO, bentuknya hampir mirip dengan pamor wos wutah. Perbedaaannya, pada pamor Pulo Tirto bulatan-bulatan yang ada lebih besar dan agak berjauhan atau lebih renggang tidak menggumpal satu sama lain seperti bentuk gugusan kepulauan dalam sebuah peta. Tuahnya untuk ketentraman hati pemilik, keharmonisan rumah tangga, dan kemudahan dalam mencari rejeki.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *