Cangak Ondol Kolektor Item

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : ?,- (TERMAHAR) Tn. AP, Senen – Jakarta Pusat


1. Kode : GKO-319
2. Dhapur : Kujang Cangak
3. Pamor : garis-garis mrambut
4. Tangguh : Cirebon (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1120/MP.TMII/X/2018
6. Asal-usul Pusaka :  Banjar Pataruman
7. Dimensi : panjang bilah 18,8 cm, panjang pesi 6,3 cm, panjang total 25,1 cm
8. Keterangan Lain : kolektor item


ULASAN :

CANGAK ONDOL, dalam beberapa literatur ada yang menyebutnya kujang naga atau bahkan kujang naga kulilo (burung kadewan). Kujang dengan model semacam ini di daerah Cirebon dan sekitarnya populer disebut Cangak Ondol, karena bentuknya yang menyerupai burung cangak. Kenapa kemudian mendapat tambahan kata “Ondol” menjadi Cangak Ondol? kemungkinan karena dulunya merupakan pusaka ageman para Panggede, sehingga pada saat acara-acara resmi kenegaraan atau dalam perjalanan jauh pusaka ini selalu dibawa (digendong Jw, dalam bahasa Cirebon diondol). Saking menyatunya jiwa dan raga pusaka ini dengan pemiliknya maka pusaka ini lantas disebut Cangak Ondol. Menurut cerita kujang cangak ondol pertama kali dimiliki oleh Mbah Kuwu, sebelum golok cabang yang digunakan untuk babad alas Cirebon. Konon Ia memperoleh senjata itu saat bertafakur.

metamorfosis bentuk kujang naga

Namun bila dicermati lebih detail, perbedaan mendasar kujang naga dibandingkan dengan kujang cangak ondol adalah bagian kepalanya, dimana pada kujang naga terdapat hiasan seperti mahkota sedangkan kujang cangak tidak dihias mahkota (sumber buku: Kujang Pasundan, Basuki Teguh Yuwono,2018). Kujang Naga merupakan jenis kujang yang khusus untuk pusaka dan kelengkapan upacara (pangarak), dimiliki oleh Raja dan keluarga bangsawan yang merupakan pelindung rakyat. Pasangannya yaitu Kujang Geni (Ra), Naga-Ra. “Nagara” mempunyai pemahaman suci dan adil. Pada kujang ini dihiasi matak dari bahan jaton (campuran tujuh jenis bahan logam), yang menunjukkan sebagai kujang yang didudukkan sebagai pusaka dengan strata tinggi. Jaton merupakan jenis logam campuran yang dipercaya sebagai penolak bala. Kujang ini biasanya tergolong bermutu tinggi dan memiliki pola garap yang baik terlebih sudah sangat jarang ditemukan di pasar tosan aji. Tak heran ada guyonan di antara para pecinta kujang “belumlah menjadi kolektor kujang sejati jika belum berhasil memiliki kujang naga/cangak”.

FILOSOFI, Kata cangak dalam Kamus Basa Sunda, Kamus Jawa Kuna, Kamus Kawi, dan Kamus Sansakerta, berarti burung bangau. Konon kujang cangak ondol terilhami dari burung cangak yang banyak beterbangan di sekitar kaki gunung cangak, talun, bukit mandala, gunung sembung, gunung jati, mundu pesisir dan lain-lain. Semua jenis burung jenis burung yang terdapat dalam famili cangak (nama ilmiahnya Ardeidae), seperti cangak (mempunyai jambul), kuntul (paling besar), dan bambangan (paling kecil) mempunyai paruh yang panjang dan tajam. Famili cangak pada dasarnya ialah bangsa burung pengarung, sering berada di rawa-rawa, sungai, dan danau. Mereka mempunyai leher yang panjang dan ramping, kaki yang panjang, tidak berbulu, dan sangat kurus, serta jari-jari kaki yang panjang termasuk jari belakang yang besar. Dengan langkah berwibawa mereka menjelajah perairan, mencari katak, kepiting kecil, atau reptilia kecil; atau mereka berdiri tidak bergerak, dengan sabar menunggu ikan kecil mendekati mereka. Ketika berdiri menunggu mangsa, leher berada dalam posisi istirahat (bentuk S). Lalu dengan gerakan secepat kilat, leher burung yang panjang itu menghunjam dan menombak ikan itu dengan paruhnya yang runcing. Dengan sayap yang besar, mereka terbang agak lambat tetapi anggun, kaki mereka terentang ke belakang tetapi lehernya ditekuk dan kepalanya bertumpu di antara kedua bahu. Banyaknya jumlah Cangak merupakan indikator ketersedian pangan yaitu ikan dan kualitas air di suatu wilayah tersebut (gemah ripah loh jinawi).

Melihat keperkasaan, kecantikan, dan sifat-sifat unggul burung satu ini membuat Empu-empu jaman dahulu terinspirasi membuat sebuah pusaka dengan role model burung cangak. Cangak sebagai simbol sosialisasi antar sesama, dalam bahasa Jawa sering diartikan sebagai tepung rame. Sifat sosial yang dimiliki Cangak membuatnya mendekat dengan sang Pencipta. Dengan adanya sifat itu dia dapat memperbanyak mertaubat amal kebaikan. Jadi Cangak merupakan simbol ketokohan yang memuat masalah hubungan makhluk dengan sesama, dan makhluk dengan Tuhan. Cangak dalam menjalankan tarekat sudah sampai pada taraf gerak hidup di dunia. 

waos ampilan keraton Yogyakarta (foto by Cassian Keppas)

Ada dokumen menarik mengenai beberapa tombak pusaka di gedong pusaka Keraton Yogyakarta yang sempat diabadikan oleh Kassian Chepass, seorang fotografer kraton sejak jaman HB VI sekaligus sebagai wedana ordonans (wedana yang tugasnya sebagai penghubung antara pihak kraton dan pemerintah Hindia Belanda). Di antara tombak-tombak yang bisa dikatakan bentuknya tak lazim, terdapat satu tombak pusaka berbentuk Kujang Cangak Ondol. Tombak-tombak pusaka ini merupakan perlengkapan kebesaran Raja yang biasanya dikirab saat upacara garebeg di belakang Sultan ketika miyos siniwaka di bangsal manguntur tangkil sitihinggil yang menjadi lambang kewibawaan keraton.

beberapa pusaka peninggalan Sunan Gunung Jati tersimpan di museum pusaka keraton kasepuhan

Selain itu di Museum Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 18 September 2017, tepatnya di Ruang Pusaka Sunan Gunung Jati juga tersimpan sebuah Kujang Cangak Ondol beserta beberapa tosan aji lainnya, diantaranya Keris Sempana Luk 9 Kinatah Emas Panji Wilis (ageman Gusti Sultan Kasepuhan), keris Sinom Kinatah Emas Kamarogan (menjadi ageman Pangeran Raja Adipati atau putera mahkota). Ada juga keris dengan dhapur sederhana tanpa hiasan emas seperti Jalak Nyucup Madu, Tilam Upih dan Brojol. Selain keris tersimpan pula beberapa wedung abad XV dan tombak cis untuk khotbah Sunan Gunung Jati yang menjadi masterpiece. Para pengunjung yang ingin melihatnya dipersilahkan datang pada hari minggu, karena Ruang Pusaka Sunan Gunung Jati ini hanya dibuka 1x dalam semingu, yakni di hari Minggu saja (sebelumnya hari Jumat). Tampaknya kujang Cangak Ondol mendapat kedudukan istimewa, karena di Ruang Pusaka Sunan Gunung Jati hanya terlihat sebilah kujang saja (berjenis Cangak), berbeda dengan tosan aji lainnya ada beberapa jenis keris dan tombak.

TANGGUH CIREBON, Menyebut Cirebon, orang kini seolah sudah lupa membayangkan jejak kebesarannya di masa lalu sebagai kota pelabuhan dan kerajaan pesisir yang termasyur, tetapi saat ini justru lebih kerap menggunjingkan hal-hal yang berbau mistis, sesuatu yang lazim melekat di daerah yang pernah punya pengaruh dan kharisma besar pada masanya. Berbagai kisah sejarah yang kemudian – dalam perkembangannya – mendapat bumbu tersendiri, salah satunya menyangkut pusaka-pusaka keratonnya. Para Raja Kasultanan Cirebon tidak ada yang menyebut jelas pusaka-pusaka yang dimiliki. Raja Keraton Kasultanan, misalnya, hanya menyebut secara umum bahwa pusaka yang diwarisi dari para leluhurnya berupa keris, tombak, hingga kujang. Suksesi kekuasaan di Keraton Cirebon pun tidak menggunakan pusaka keris atau tombak sebagai simbol legitimasi. Tak ada keris KK Joko Piturun seperti di keraton Yogyakarta. Namun begitu tetap ada pusaka inti – tidak diperlihatkan, dan pusaka umum yang disimpan di museum keraton. Namun menurut hasil kulak dengar, kebanyakan pusaka utama keraton-keraton Cirebon berupa kujang. Kenapa? Cirebon sebagai kerajaan yang tergolong tua tidak terlepas dari pengaruh peninggalan budaya Kerajaan Pajajaran yang sebelumnya berkuasa di wilayah barat pulau Jawa.

Sebuah keberuntungan tersendiri kita masih bisa menemukan sebuah jejak kejayaan masa lampau yang hilang. Kacirebonan memang tak punya banyak pusaka. Pusaka Kacirebonan justru banyak bertebaran di masyarakat. Terlebih pada tahun 1960, sejak diberlakukannya UU Swapraja, Keraton Kacirebonan merasa bahwa keraton mungkin akan dibubarkan. Sehingga pihak keraton mengantisipasi dengan bagi waris, aset-aset berupa tanah (sultan ground) dibagi, termasuk pusaka-pusakanya.

Tidak disangsikan, varian yang paling susah dicari dalam kujang adalah “keluarga cangak/naga”, karna rata-rata sudah masuk lemari kolektor kelas kakap. Bentuknya yang ramping menjadikannya tampak cantik dan anggun menebarkan aura keteduhan. Stilasi jambul yang menjuntai dan guratan mahkota menambah keelokan seorang bangsawan. Bagian methuk-nya pun terbilang sangat unik, seperti bentuk kelopak bunga wijayakusuma, sang Ratu malam pembawa berkah Raja-Raja Jawa. Secara visual didapatkan pola pamor mrambut (jw). Sama halnya keris, sebuah kujang dibuat dengan teknik lipatan sehingga selalu tampak alur-alur guratan garis sebagai efek lipatan dalam penempaan. Kematangan tempa ini juga menjadikannya sangat ringan seolah tidak memiliki bobot, salah satu pembeda dengan kujang produk-produk baru. Kujang-kujang Cirebonan biasanya tidak diwarangi (putihan), dan secara pribadi penulis berpendapat memang pada kujang ini lebih wingit jika dalam kondisi putihan. Hanya saja untuk proses sertifikasi di museum pusaka TMII diperlukan pewarangan sebagai salah satu syarat, supaya memudahkan dalam proses penangguhan (besi dan pamor). Sandangan sarung/kowak kayu model naga dengan teknik tangkepan bawaan sebelumnya masih dipertahankan. Mungkin selanjutnya bisa dipertimbangkan untuk dilakukan pergantian sarung, meski masih cukup kuat namun sudah tidak dalam kondisi terbaiknya, ada bagian yang sebelumnya gumpil yang telah direkatkan kembali (bukan oleh penulis). Untuk landeyan/tangkai model paruh elang/garuda yang terbuat dari tanduk sepertinya masih layak untuk tetap dipertahankan.

(kiri) dari foto menggunakan lensa pembesaran tampak alur-alur lipatan, (kanan) logam untuk menutup mata masih menggunakan alat-alat tradisional

PAMOR MRAMBUT, merupakan salah satu motif atau pola gambaran pamor yang bentuknya menyerupai deretan garis yang membujur dari pangkal hingga ujung tosan aji, seperti rambut lurus yang terurai. Seringkali memang garis-garis itu bukan garis yang utuh, melainkan terputus-putus. Namun jika garis itu tidak terputus, maka disebut pamor adeg mrambut. Selain itu istilah mrambut juga digunakan untuk menilai besi wasuhan keris. Besi yang mrambut artinya besi itu tampak berserat halus bagaikan rambut. Kesan tersebut bisa dirasakan melalui perabaan maupun melalui penglihatan. Jika seratnya agak kasar, disebut besi yang ngawat. Tuah pamor ini oleh para pecinta tosan aji adalah untuk menangkal atau menolak bala (halangan), atau sesuatu yang tidak diinginkan.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *