Kaladete

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4.950,000,- (TERMAHAR) Tn. MA, Pekalongan


1. Kode : GKO-276
2. Dhapur : Kala Dete
3. Pamor : Ngulit Semangka
4. Tangguh : Cirebon (Segaluh?) (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 411/MP.TMII/V/2018
6. Asal-usul Pusaka : Kebumen, Jawa Tengah
7. Dimensi : panjang bilah  35 cm, panjang pesi 7 cm, panjang total  42 cm, lebar gonjo 9 cm
8. Keterangan Lain : sudah diwarangi, dhapur langka


ULASAN :

KALA DETE, merupakan salah satu bentuk dapur keris lurus, bilahnya nglimpa dengan ukuran panjang sedang. Keris ini oleh beberapa orang perkerisan kadang disebut dengan nama Kala Deteng atau Kala Dite. Keris Kala Dete memakai ricikan : kembang kacang, lambe gajah-nya hanya satu dan greneng bersusun. Tergolong dhapur keris langka.

FILOSOFI, menurut cerita dalam dunia pewayangan keris ini berasal dari taring Bathara Kala. Bathara Kala adalah anak Batara Guru yang keberadaannya tidak direncanakan dan tak terduga. Ia terjadi dari kama benih (air mani) Batara Guru yang tidak tersalurkan secara semestinya, dan jatuh ke samudra. Benih kama Batara Guru menjelma menjadi makhluk raksasa yang mengerikan. Dengan cepat makluk itu tumbuh menjadi besar. la menyerang apa saja, melahap apa saja bahkan dewa-dewa pun tak ada yang mampu menghadapi makhluk itu. Ketika mengamuk di Kahyangan Suralaya, ia hanya bisa ditaklukan oleh Sanghyang Manikmaya dengan Aji Kemayan. Selain Sanghyang Manikmaya, hanya Sanghyang Wisnu yang dapat mengalahkan Bathara Kala. Lalu kedua taringnya dipotong, yang kanan menjadi keris Kalanadah dan yang kiri menjadi keris Kaladite. Kedua keris tersebut nantinya menjadi pusaka senapati perang Pandawa dan Kurawa. Kala Nadhah diberikan Prabu Kala Trembaka dan Kala Dite diberikan kepada Prabu Kala Karna. Kala Nadhah dari Prabu Trembaka, raja Pringgadani, kemudian jatuh ke tangan Prabu Pandu dan diwariskan pada Arjuna, dan oleh Arjuna diberikan pada Gatutkaca. Sedangkan pasangannya yakni Kala Dite dari Prabu Kala Karna, jatuh ke tangan Adipati Karna.

Lain lagi dalam kepercayan Jawa, jika kita membuka primbon pakuwon kuno mengenai ‘petungan dina’ (perhitungan hari baik dan buruk) kala dite termasuk dalam waler sangker (larangan atau pamali), hari jelek yang perlu dijauhi. Dite (Kawi) yaitu umumnya disebut hari Ahad menurut penanggalan Jawa atau Minggu menurut penanggalan Masehi. Kala Dite terbagi menjadi tiga:  mereka yang mempunyai Wuku Warigagung pantangannya jatuh pada Ahad Legi, Wuku Kuruwelut pantangannya jatuh hari Ahad Wage dan Wuku Wugu pantangannya jatuh hari Ahad Pahing.

Ketika hari Kala Dite orang-orang berada dalam keadaan yang ‘mengkhawatirkan’, terlebih mereka yang lahir pada waktu ‘julung‘ (lahir saat matahari terbit disebut julung kembang, saat matahari tepat di atas kepala disebut julung sungsang dan saat matahari tenggelam disebut julung caplok), karena pada saat itu pula dipercaya Bathara Kala mencari manusia sebagai tumbalnya.

Selain mereka yang lahir waktu julung, ada lagi golongan lain yang menjadi mangsa Bathara Kala, yakni janma sukerta. Setidaknya ada tiga golongan pokok Orang Sukerta; pertama, merupakan orang yang dianggap mempunyai nasib buruk dikarenakan kelahirannya. Kedua, karena berbuat kesalahan dalam pekerjaan meski tidak sengaja. Dan ketiga, mereka yang dalam hidupnya terkena banyak musibah, sial, penyakit dan sering tidak beruntung. Mengenai berapa macam sukerto, itu ada beberapa versi. Menurut Pakem Pangruwatan Murwakala ada 60 macam sukerto, Pustaka Raja Purwa ada 136 sukerto, Sarasilah Wayang Purwa ada 22 sukerto, sedangkan menurut Buku Murwokolo ada 147 macam sukerto. Maka seyogyanya tidak melakukan pekerjaan di tempat-tempat yang berbahaya, semisal menebang kayu di hutan dan lain-lain. Juga mereka yang mempunyai hajat yang penting, seperti pernikahan, membangun rumah, pindahan rumah dan lain-lain, baiknya menjauhi hari tersebut.

Dalam dunia tosan aji, manusia Jawa merumuskan doa yang diwujudkan dalam sebentuk pusaka keris. Doa itu dilantunkan dalam laku, mulai tapa, matiraga, tapa bisu, dan lain sebagainya. Keris sesungguhnya dalam filosofinya sebagai media untuk mengantarkan sugesti dari doa. Cita-cita dan harapan manusia Jawa dimantramkan dan disimpan dalam keris, seolah olah sang empu merekam dan menanam sabda dan doanya dalam sebilah keris untuk menjadi sebuah keyakinan dan buku hidup.

Keris Kala Dete bisa dikatakan merupakan manifestasi doa untuk menemukan hakekat manusia sejati. Sebagai sarana penyucian dan pembebasan atas dosa atau kesalahannya dalam wujud kala, yang dinilai bisa membawa dampak kurang baik dalam hidupnya. Yang menjadi inti sari pemahamannya adalah sebuah kesadaran: atas ketidaksempurnaannya diri manusia, akan kekuatan sekaligus kelemahannya, yang selalu jatuh dalam dosa dan kesalahan, dan bisa berdampak menjadi bencana (salah kedaden). Pada hakikatnya, kala dete merupakan simbol penyelamatan kondisi psikologis manusia, melepaskan diri dari sukerta atau kesialan. Hilangnya taring Bathara Kala menjadi keris kala nadhah dan kala dete, memperjelas pemaknaan simbolik yang dikandung, bahwa yang diincar sebagai mangsanya bukan bentuk fisiknya, melainkan ketimpangan psikis dan pskilogisnya yang tak seimbang.

Kita juga mengerti bahwa Kala artinya waktu, dan waktu yang mengancam dan menimbulkan bencana adalah waktu yang tidak baik atau tidak tepat. Orang normal tentu berharap perjalanan waktu hendaknya selalu diusahakan untuk berpihak kepada kita. Sehingga hidup kita selamat, sehat, berkecukupan dalam bidang materi, tentram jiwa,, maju pekerjaan dan usaha, sukses dalam menjalani hidup ini, selalu mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

TANGGUH CIREBON, Keris-keris tangguh Cirebon Awal masih banyak membawa pasikutan (langgam/gaya) leluhurnya yakni keris-keris Pajajaran. Dimana yang paling kentara adalah bentuk luk-nya yang kemba dan hemet (samar atau samun). Besinya khas dengan masih tingginya kandungan besi malela” tetapi memiliki kualitas bahan pamor yang berkesan ngapas atau kurang cerah. Keris-keris tangguh Cirebon Awal memang lebih ditujukan sebagai pusaka tayuhan yang lebih mengutamakan daya yoni/taksu, sesuai aliran keagamaan pada masa itu yang lebih ke arah tasawuf dan lahirnya tarekat Satariyah.

Era Cirebon Pertengahan (Madya) keris-keris Cirebon mulai tampil semakin menarik. Pada masa ini muncul gaya yang lebih dinamis dimana tarikan luk mulai manis (rengkol) seiring dengan kekuasaan Mataram Amangkurat I dimana dominasi terhadap daerah priangan dan pesisir mulai masuk dalam hal politik dan budaya semakin menguat. Kekhasan era Cirebon pertengahan ini nampak diantaranya kembang kacang yang lebih menyerupai belalai gajah, penggunaan gonjo wulung (tanpa pamor, hanya menggunakan slorok baja), dan yang paling kentara adalah ukuran panjang bilah keris yang melebihi rata-rata pada umumnya dimana berani tambil lebih jangkung mencapai 41-45 cm. Keris-keris dengan panjang melebihi rata-rata ukuran keris jawa (normalnya 30-37 cm) dikenal dengan ‘keris Corok’. Keris ‘Corok’ juga dipercaya mempunyai daya spritual melebihi keris-keris pada umumnya.

Kemudian pada masa Cirebon Akhir, dimana dominasi kolonial baik langsung maupun tak langsung mulai mempengaruhii kebijakan politik keraton, melahirkan babak baru dalam melahirkan persenjataan di Cirebon. Produksi massal senjata fungsional perang dan pusaka sangat banyak dalam rangka mendukung peperangan melawan tirani asing.

Keris Kala Dete ini tampak gagah, bagian sor-soran-nya yang lebar seolah masih membawa darah Pajajaran. Besinya halus rabaannya beradu dengan keroyalan pamor keabu-abuannya, yang pada sisi depan dominan dihiasi pamor beras wutah sedangkan pada sisi sebaliknya dominan pamor ngulit semangka. Apabila disentil bilahnya terasa sangat nyaring, bahkan bak samurai jepang ketika bilah dilolos dari warangkanya terdengar suara “sriiing…”, begitu juga tantingan-nya terasa sangat ringan pertanda kematangan tempa. Bagian wuwungan gonjo yang terlihat dari luar ketika bilah dimasukkan pada warangkanya juga terbilang cukup unik, dimana terdapat dua bentuk macam pamor (dwiwarno); pada bagian perut gonjo ke belakang/ekor adalah ngulit semangka sedangkan pada bagian perut gonjo menuju sirah cecak berpamor singkir. Secara keseluruhan ricikan-ricikan yang ada masih sanggup menampilkan keutuhannya, hal ini tidak mengherankan dengan melihat bahan material pada bilahnya. Warangka Gambilan (tanpa dibungkus menggunakan pendok jenis apapun agar keindahan urat kayunya dapat terlihat secara optimal) bawaan yang ada sudah cukup mengimbangi kegagahan bilahnya.

PAMOR NGULIT SEMANGKA, motif unik seperti yang terdapat pada kulit buah semangka menyiratkan bahwa jalan hidup yang tak selamanya lurus bahkan mungkin akan penuh liku dan kerikil tajam. Jalan yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur.

Melingkar adalah gambaran fleksibilitas dan keluwesan. Melengkung ke bawah menggambarkan kerendahan hati. Melengkung ke atas mengajak arah dinamisasi. Lingkaran dan lengkungan dapat dimaknai sebagai pada harmoni akan keindahan, keseimbangan hidup dan semangat untuk menyambut masa depan yang lebih baik.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *