Sabuk Inten Temuan

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 5.500.000,- (TERMAHAR) Tn. NH, Menganti Gresik


 
  1. Kode : GKO-268
  2. Dhapur : Sabuk Inten
  3. Pamor : Pedaringan Kebak
  4. Tangguh : Peralihan Singosari – Majapahit Awal (Abad XIII)
  5. Sertifikasi No : 203/MP.TMII/III/2018
  6. Asal-usul Pusaka : Temuan Sungai Musi
  7. Keterangan Lain : warangka sandang walikat, keris temuan

Ulasan :

KERIS TEMUAN, yang disebut keris temuan tentu saja adalah artefak ‘asli’ bilah keris tua itu sendiri (bukan keris baru yang sengaja ditanam kemudian selang beberapa waktu dipanen) yang diantaranya seringkali ditemukan di sungai-sungai oleh para penambang pasir tradisonal atau pemburu emas. Hal ini tidak mengherankan karena sungai-sungai pada jaman dahulu digunakan sebagai jalur transportasi, dimana perahu karam sangat mungkin terjadi, peperangan atau memang benda-benda tersebut sengaja dilarung di masa yang silam. Kadang kala artefak keris tua tersebut diketemukan oleh para petani yang sedang menggarap sawah atau ladang. Keris-keris tua yang ditemukan di area perladangan atau persawahan bisa jadi karena pada zaman dahulu biasa digunakan sebagai bekal kubur, kelengkapan upacara sesaji bumi, atau sisa-sisa kelengkapan perang yang tidak sempat diselamatkan dan lain sebagainya. Umumnya keris-keris tersebut sudah tidak utuh termakan korosi alam dan usia, namun beberapa yang masih beruntung bisa dijumpai masih dalam keadaan utuh yang menunjukkan kualitas besi tempa yang baik.

kondisi awal keris ketika diketemukan (setengah bersih)

Lalu mengapa keris-keris temuan yang rata-rata berasal dari tangguh sepuh dan bisa dikatakan sudah tidak berwujud sempurna itu masih saja dicari? Jawaban nyata yang mungkin sedikit mengejutkan tentu saja menyangkut sisi kepercayaan (esoteri), selain umumnya sebagai sarana penolak bala (tindih) mereka para pemburu esoteri meyakini keris-keris temuan jika diibaratkan dengan mobil adalah sebuah mobil dengan kilometer yang masih sedikit (karena lama terpendam atau tidak terpakai). Dengan kilometer yang sedikit diharapkan ‘power’nya masih mumpuni dan alami. Ketidaksempurnaannya (bilah tidak utuh lagi) bukan menjadi suatu halangan tersendiri bagi para pemburu isoteri ini, karena mereka beranggapan bawah ‘isi’ dari keris adalah berkah dari Yang Maha Kuasa. Isi keris yang berupa berkah akan terus melekat, tidak dapat dibuang, diambil, dipindahkan, atau tidak juga berkurang karena ketidak-utuhan ‘wadah luar’ karena sifatnya permanen sampai Yang Maha Kuasa sendiri yang mengambilnya. Walau begitu, tidak sedikit juga para kolektor maupun pecinta keris yang memaharinya atas pertimbangan lain yang lebih masuk akal, yakni menyangkut estetika. Bentuknya yang lebih banyak tidak wutuh lagi karena kerusakan korosif alamiahnya membuat keris-keris temuan terkesan sangat kuno, antik dan wingit. Karena kedua alasan tersebut – esoteri dan estetika mampu menjadikan keris-keris temuan memiliki penggemar fanatiknya sendiri

Temuan bilah-bilah keris di Pulau Sumatera umumnya dijumpai di sungai, seperti sungai Batanghari, sungai Kampar, sungai Dareh, sungai Tarap dan lain sebagainya. Yang terbanyak memang diketemukan di sungai Musi, Palembang. Selain diketemukan di sungai, artefak keris-keris tua tersebut juga biasa diketemukan di ladang-ladang atau area persawahan di daerah Batusangkar, sungai tarap, Saruaso, Padang Laweh, Bangkinang dan daerah lainnya. Keris-keris temuan di sekitar daerah tersebut di atas pada umumnya serupa dengan bentuk bilah tangguh Singosari atau Kahuripan, bahkan beberapa bilah keris menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan keris tangguh kabudhan yang diketemukan di Pulau Jawa, yang sedikit membedakan adalah ukurannya yang sedikit lebih besar, lebih panjang dan lebih tebal dengan keris-keris Jawa yang sezaman. Dari berbagai temuan bilah keris tersebut kemudian banyak yang berspekulasi dengan menyebutnya sebagai keris tangguh Sriwijaya. Semenjak tahun 2000-an, temuan keris-keris tersebut kemudian populer di kalangan “lapangan” dengan menyebutnya keris tangguh Sriwijaya. Sayangnya berbagai spekulasi tersebut belum dibarengi dengan penelitian ilmiah ataupu pengujian laboratorium metalurgi, namun demikian dugaan telah adanya budaya keris pada era Sriwijaya, atau seera dengan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa, atau dikenal dengan tangguh Kabudhan.

TANGGUH PERALIHAN SINGOSARI-MAJAPAHIT, keris-keris tangguh singosari yang diketemukan di sungai Musi, Palembang kemungkinan besar dibawa ke Sumatera pada saat ekspedisi Pamalayu oleh Kertanegara. Dimana masuknya budaya keris dari Jawa ke Sumatera semakin besar terjadi pada era Singasari (awal abad ke 13). Kitab Negarakertagama pada wirama 41 bait 157 menceritakan Prabu Kertanegara dari Singasari mengadakan ekspedisi Pamalayu ke Sumatera pada tahun Saka Nagasyabhawa atau 1197 Saka (1275 M). Ekspedisi ini tentu saja berdampak besar terhadap persebaran budaya keris ke wilayah Sumatera. Pasukan yang datang dari Jawa senantiasa dilengkapi dengan keris, baik sebagai senjata dalam aspek teknologi ataupun keris sebagai simbol pusaka piyandel pelindung keselamatan dan penguat psikologis atau batin, serta keris sebagai simbol komando. Tidak mengherankan apabila kemudian keris-keris yang diduga tangguh Singasari seringkali dijumpai atau diketemukan di jalur perjalanan dan pertempuran pasukan tersebut di tanah Sumatera, khususnya di Jambi, Palembang, Minangkabau, dan sekitarnya. Selain itu ekspedisi Pamalayu juga berdampak pada hijrahnya para empu dari tanah Sunda ke Jawa Timur.

Namun pada tahun 1292 M, terjadi huru-hara di Jawa Timur. Kerajaan Singasari runtuh, Kerajaan Kediri berdiri; Kerajaan Kediri runtuh pula, kemudian Kerajaan Majapahit berdiri. Kitab Negarakertagama pada wirama 13 juga menceritakan bahwa pada tahun 1198 Saka atau 1276 M Majapait telah menundukkan daerah Melayu (Sumatera), antara lain Jambi, Palembang, Toba, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tumihang, Perlak, Padang, Hilwas, Samudera, Lamuri, Batan, Lampung dan Barus. Persebaran budaya keris pada masa Majapahit, selain melalui peperangan dan penaklukan juga terjadi karena hubungan kekeluargaan dan kekerabatan serta hubungan perdagangan. Babad Tanah Jawi menuliskan tentang hubungan kekerabatan yang dilandasi muatan politis ketika Arya Damar dari Palembang mendapatkan hadiah seorang selir prabu Brawijaya (garwa triman, Jw) yang sedang hamil yang dikenal dengan nama Dara Petak (Putri Campa). Babad Dalem juga menceritakan tentang hubungan politis yang dibangun Raja Majapahit melalui pemberian hadiah berupa keris pusaka dan baju kebesaran.

Ada aura ‘perbawa‘ tersendiri saat melolos keris ini dari warangkanya. Pandangan mata pertama tidak akan lepas dari karakter besinya. Keris ini dibuat dari bijih besi yang kualitasnya cukup baik yang ditengarai dengan warnanya yang hitam kelam setelah diwarangi dan tektur besinya yang merata melipat-gandakan kesan wingit-nya. Guratan-guratan pamornya yang lahir dari pencampuran besi (Fe), baja (C), dan nikel (Ni) atau meteorit dengan teknik dan pelipatan pada suhu tertentu, seolah tidak ingin ketinggalan menunjukkan kegagahan dan kemewahannya di masanya. Terlebih secara garap juga masih menyisakan bentuk ricikan-ricikan yang secara tidak langsung menunjukkan ‘kelas’ sesungguhnya, seperti bentuk sogokan yang  nyucuk dandang (menyerupai paruh burung dandang). Bagian gonjonya meski pada bagian belakang tidak centre dengan bilah (kemungkinan tertindih sesuatu yang berat dan jangka waktu lama) menyisakan tanda tanya sendiri, menurut hemat penulis yang dari sejak awal membersihkan sendiri artefak ini, gonjo pada keris ini bisa saja dulunya mempunyai guratan kinatah lung-lungan yang masih bisa sedikit dibaca (diduga) pada gonjo sisi belakang bilah. Sedangkan mendhak yang menempel pada bilah keris ini merupakan mendak aslinya yang masih terus dipertahankan menempel. 

mendak masih tetap menempel

PAMOR PEDARINGAN KEBAK, menurut hemat penulis kemungkinan besar pada mulanya keris ini adalah berpamor pedaringan kebak, hal ini bisa diduga dengan menilik sisi belakang bilah yang masih dipenuhi pamor baik yang berada di sor-soran maupun pucuk bilah. Pamor pedaringan kebak dihasilkan dari tempa dan lipat yang matang, paling sedikit 32 lapis sampai tidak terbatas banyaknya lapisan.

Gambaran motifnya amat mirip dengan pamor wos wutah. Ditinjau dari sudut arti namanya pun ada kaitannya. Wos Wutah artinya beras tumpah, sedangkan pedaringan kebak artinya peti beras yang penuh. Dahulu, orang jawa pada umumnya menyimpan beras dalam sebuah peti besar terbuat dari kayu yang disebut pendaringan. Dari segi bentuk gambaran pamornya, pamor pedaringan kebak tampak lebih kompleks dibandingkan bentuk gambaran pamor wos wutah. Pamor ini boleh dikatakan menempati seluruh permukaan bilah, tidak terpisah mengelompok menjadi beberapa bagian. Tuahnya dipercaya lebih kuat dibandingkan pamor wos wutah, rejeki mengalir deras memenuhi lumbung-lumbung yang ada.

karakter besi dan pamor keris temuan (melalui pembesaran)

Tidak salah karya budaya berupa keris lahir dari salah satu puncak pengetahuan ilmu metalurgi dilengkapi dengan suatu tata laku spiritual tinggi yang dicapai nenek moyang bangsa Indonesia. Pencampuran besi, baja dan meteorit merupakan pengejawantahan dari konsep perkawinan antara sang bopo angkoso dengan ibu pertiwi, yaitu berpadunya sesuatu yang berasal dari langit (meteorit) dengan yang berasal dari perut bumi (besi dan baja). Pertemuan kedua benda yang berlainan keberadaan (konsep paradoks) ini dipercaya melahirkan ruang kosmis untuk menangkap daya-daya magi yang akan senantiasa menjaga, melindungi dan menuntun manusia pada kesadaran nilai-nilai Ketuhanan yang absolut. Sejarah juga bersaksi bahwa keahlian logam merupakan sarana menuntun kunci kekuasaan.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *