Sabuk Inten

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4,500,000,- (TERMAHAR) Tn. D Surabaya


 sabuk inten keris sabuk inten
  1. Kode : GKO-138
  2. Dhapur : Sabuk Inten
  3. Pamor : Beras Wutah
  4. Tangguh : Mataram Senopaten Abad XV
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 226/MP.TMII/IV/2016
  6. Asal-usul Pusaka : Lereng Galunggung, Tasikmalaya Jawa Barat
  7. Keterangan Lain : Warangka dan pendok kemalo lamen

 sertifikasi sabuk intenwarangka gayaman pendok kealo

Ulasan :

Ugemana pepelinge Gusti

Yen budaya iku ora beda,

Lan pusaka Kedhatone

Manawa dipun rengkuh,

Dipun pepundhi hamberkahi,

Lamun siniya-siya,

Tuwuh haladipun,

Marma pra setyeng budaya,

Pepetrinen uwohing pangolahing budi,

Hing salami-laminya.

Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maknanya sebagai berikut :

Peganglah peringatan Tuhan, kalau budaya itu tidak berbeda, dengan pusaka keraton, apabila diakui, dihormati memberi berkah, apabila disia-siakan, timbul pengaruh jeleknya. Oleh karena itu, para pecinta budaya, Jagalah hasil pengolahan budi, selama-lamanya.

Penduduk Nusantara mempunyai keyakinan bahwa pusaka, terutama keris, memiliki berbagai macam fungsi dalam kehidupan. Awalnya keris dimaksudkan sebagai wujud senjata tikam untuk pertahanan diri dan mencari makanan atau berburu. Tetapi seiring perkembangan zaman, keris mempunyai makna yang semakin meluas perspekifnya. Dalam perkembangan sejarah manusia, khususnya Jawa, keris menjadi “senjata” untuk menempuh kehidupan. Dengan kata lain keris menjadi perlengkapan hidup. Baru kemudian keris mengemban berbagai lambang kehidupan. Oleh karena itu, di dalamnya dibebankan sebuah wahana komunikasi dari leluhur ke generasi berikutnya. Pernyataan di dalam tembang tersebut di atas mengisyaratkan adanya kewajiban bagi kerabat keraton untuk menghormati pusaka keraton. Dengan adanya kirab pusaka pada tata cara Murwa Warsa = awal tahun Jawa 1 Sura, merupaka bukti adanya bentuk penghormatan kepada pusaka keraton.

Sederhananya, keris tak jauh dari kebiasaan masyarakat Jawa yang gemar mendoakan anak keturunannya supaya bahagia. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa keris merupakan sebuah wujud untaian doa, baik dari si pemesan maupun dari laku sang empu yang membuat. Doa itulah yang sebetulnya perlu dilestarikan, karena doa yang paling ampuh sekalipun tidak akan jatuh dari langit.

Keris Ibarat sebuah tuntunan hidup, selalu mengingat bahwa hidup adalah anugerah Sang Pencipta dan buah cinta kasih Orang Tua kita, maka selayaknyalah untuk berbuat welas asih (peduli) kepada sesamanya.  Berdasarkan pemahaman ilmu tanda (semiotik) manusia yang mampu menjadikan belas kasih sebagai sabuk kehidupan, maka ia akan berhasil menempuh kehidupan. Itulah gambaran sesungguhnya dari luk sebelas Sabuk Inten.

sabuk inten mataram sultan agung sabuk inten mataram SA

SABUK INTEN, mendengar kata tersebut, kita akan langsung terngiang dengan pusaka KK Bontit kebesaran kadipaten pakualaman, pasangan “sejiwa” KK Kopek berdhapur Jalak Sangu Tumpeng milik Sultan HB yang bertahta. Sepanjang sejarah Kadipaten Pakualaman, bertahtanya Adipati Paku Alam yang baru selalu ditandai dengan penyematan Kangjeng Kiai Bonthit. Keris Kangjeng Kyai Bontit ini memang bukan keris sembarangan, keris ini selalu menjadi simbol penguasa Kadipaten Pakualaman.

Kisahnya bisa dirunut jauh hingga masa berkuasanya Mangkubumi yang kemudian menjadi Hamengku Buwono I. Menjelang akhir masa kepemimpinannya, HB I mewariskan dua keris pusaka pada dua anaknya. Keris Kiai Kopek diserahkan kepada HB II (Sultan Sepuh) sementara keris pendamping Kiai Kopek, Kiai Bontit diserahkan kepada pangeran Notokusumo yang kemudian menjadi Adipati Paku Alam I. Saat itu HB I berpesan kepada kedua anak kesayangannya untuk saling mendukung. Kasultanan Yogyakarta tak akan bisa berdaulat tanpa dukungan Pakualaman. Begitu pula sebaliknya, kadipaten Pakualaman tak akan ada tanpa Kasultanan Yogyakarta. “Karena itulah namanya Kiai Bontit, karena berarti menjadi pendukung dari belakang.

beras tumpahpamor beras wutah

pamor beras tumpah beras wutah

PAMOR BERAS WUTAH, Berarti “beras tumpah”, oleh kebanyakan penggemar keris dianggap memiliki tuah yang dapat membuat pemiliknya mudah mencari rejeki, berkelimpahan. Oleh sebagian ahli tanjeg dikatakan bahwa di dalam pamor ini tersembunyi tuah lain yang baik. Bagi lelaki Jawa yang telah menikah, pamor ini juga mengingatkan akan tanggung jawab lelaki sebagai kepala keluarga untuk bertanggungjawab menghidupi / menafkahi keluarganya, sebagaimana tercermin dari ritual kacar-kucur pengantin Jawa, dimana pihak lelaki menumpahkan beras ke tempat yang telah disediakan pihak perempuan. Arti simbolis ritual ini juga berarti bahwa rejeki yang didapat sang suami tidak lari kemana-mana selain ke istri sendiri – yang sekaligus menjadi pengelolanya.

Selain itu motif beras wutah juga mengingatkan akan filosofi beras itu sendiri untuk bagaimana memperlakukan pasangan hidup. Seperti pameo : “Jangan kau genggam beras terlalu keras!”, jika kau lakukan itu ia akan keluar dari selah jemari tanganmu!”. Peganglah beras dengan lembut maka ia tak akan pergi dari genggamanmu. Filosofi beras dapat kita terapkan pada pasangan kita, beras merasa nyaman ditangan ketika ia tak digenggam terlalu keras begitu juga orang atau manusia tak suka dikekang dan digenggam begitu keras. Jika kau lakukan itu ia akan lepas dari genggamanmu mencari celah agar dapat keluar dari kekangannya. Perlakukanlah seseorang dengan tepat, perlakukan orang yang kau sayangi dengan baik, dengan begitu ia akan nyaman di genggamanmu, dalam pelukmu.

gandik sabuk inten gandik senopaten

TENTANG TANGGUH, Menatap keris Sabuk Inten ini, kesan pusaka ini dulunya dimiki oleh golongan kelas atas / ningrat yang wingit dan berwibawa dapat langsung ditangkap. Luluhan pamor meteornya dengan akhodiyat-nya (pamor yang tampak lebih cemerlang dibanding pamor lainnya) dan garis-garis tapih-nya masih terdefinisi jelas menambah kelasnya tersendiri. Langgam/gaya yang ada bisa dibilang sudah mulai meninggalkan era Senopaten ke Era Mataram Sultan Agung.

tlele gajah sekar kacang

Bentuk kembang kacang masih tampak nggelung wayang sempurna dengan garis pamor mengisi hingga dua pertiganya. Sogokan dan pejetan dibuat dalam dengan janur tipis dipadukan tarikan luk yang seolah-olah sama rata dari bawah hingga atas, hingga ganjanya yang wulung (tanpa pamor)  juga menambah aura perbawanya sendiri.

pendok kemalo merahpendok krawangan

Perabot (warangka dan pendok) “bawaan” sebelumnya sengaja Penulis biarkan apa adanya. Tampak sebuah warangka gayaman model jogja dihiasai pendok krawangan kemalo merah. Pendok yang telah memiliki warna ini sering juga disebut dengan istilah pendok kemalo atau pendok kemalon. Kemalo adalah bahan pewarna yang terbuat dari bahan semacam lak yang diberi zat pewarna. Warna pendok juga biasanya menentukan status sosial pemakai atau pemiliknya. Sebagai contoh jaman dahulu warna merah hanya berhak dipakai raja dan kerabatnya.

antup-antupan

Tampak pada pendok bagian bawah antup-atupan atau buntut warna cat kemalo sdh mulai terkelupas. Memang pada bagian ini adalah bagian yang paling rawan “bersinggungan” dengan benda lain jika dibawa kemana-mana.

Sebuah mahakarya yang masih indah untuk dinikmati, menyimpan banyak cerita tenang perjalanan seorang anak manusia dalam lakon mengejar derajad kemuliaannya.

 –

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

 

 

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : 5C70B435  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *