Mahar : 8.500.000,-
1. Kode : GKO-514
2. Dhapur : Kebo Lajer
3. Pamor : Dwi Pamor (Batu Lapak + Wengkon)
4. Tangguh : Tuban (Abad XVII)
5. Asal-usul Pusaka : Trenggalek, Jawa Timur
6. Dimensi : panjang bilah 39 cm, panjang pesi 7 cm, panjang total 46 cm
7. Keterangan Lain : warangka dusun, mendak bejen susun/grejen perak lamen
ULASAN :
KEBO LAJER, Keris Kebo Lajer mudah untuk dikenali karena memiliki bentuk dan ricikan yang sederhana. Dalam Kawruh Empu (Wirapustaka, 1914) dituliskan jika Kebo Lajer memiliki ricikan: bênêr, gandhik dawa, nglimpa, yakni keris lurus dengan bentuk gandhik yang panjang, panjangnya kira-kira dua kali ukuran gandhik keris normal dan permukaan bilah nglimpa. Selain itu, tidak ada ricikan lainnya.
FILOSOFI, Kebo. Sebagai seorang yang lahir dan tinggal di negara agraris, siapa yang tak mengenal “Kebo” atau kerbau? Ingon-ingon (hewan peliharaan) yang bagi masyarakat petani di pedesaan dianggap sebagai ‘Rojo Koyo yang selalu diupayakan untuk dimiliki. Dikatakan sebagai “Rojo Koyo” tak lain adalah “harta hidup”, atau sebagai tabungan yang hidup dan menghidupi, yang mampu beranak-pinak sekaligus dapat membantu aktivitas keseharian mereka dalam bercocok-tanam.
Bekerja di sawah saat matahari mulai menampakkan sinarnya hingga kembali ke peraduannya, merawat serta membesarkan hewan ternak, dan di akhir musim merayakan keberhasilan panen raya adalah idealitas peradaban agraris. Maka kemudian kerbau menjadi simbol etos kerja, tanda denyut nadi sektor pertanian dan nasib petani.
Lajer. Dalam genealogis (sistem kekerabatan) Jawa dikenal istilah “Lajer”, yaitu sebuah istilah untuk menandai garis keturunan yang mengacu pada keluarga laki-laki saja atau garis keturunan ayah (Patrilini/ Patriakhat). Hal ini terlihat dari nunggak semi pemakaian nama belakang seseorang yang seringkali memakai tambahan nama sang ayah. Selain menjadi kebanggaan keluarga, anak laki-laki juga mendapatkan perhatian khusus dibanding anak perempuan karena diyakini seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga. Dalam hal turun warispun berlaku: “anak lanang sa pikul anak wadon sak gendongan”. Yang mana jumlah harta waris yang diberikan kepada anak laki-laki akan lebih besar, diibaratkan sa pikul. Seperti halnya laki-laki yang memikul, ia membawa dua keranjang dalam pikulannya, yakni satu keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang. Daripada sa gendongan yang diberikan kepada anak perempuan, yang hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di punggungnya, atau yang biasa disebut digendong. Bagian perempuan adalah separoh dari bagian laki-laki, atau biasa dikenal dengan istilah 2:1 (dua banding satu).
Kerbau dikenal dari gerakannya yang cenderung lamban, tetapi bertenaga. Seperti pepatah Jawa ‘alon-alon asal kelakon’, ia memiliki keinginan dan kesabaran untuk membuat kemajuan dengan sebuah upaya yang konsisten. Ia akan mengerjakan segala sesuatu lebih keras ketimbang yang lain. Mereka tidak pernah bosan dengan rutinitas yang menjemukan. Ia juga sadar akan segala beban tanggung-jawab di pundaknya atau kewajiban yang dipikulnya dan percaya bahwa hanya dengan kegigihan dan kerja keras saja yang akan menuntunnya kepada kesuksesan. Ia juga tidak percaya bahwa segala kesulitan bisa terurai hanya dengan menunggu nasib baik atau mengandalkan orang lain. Namun, hanya dengan tindakan nyata yang akan mampu mengubah keadaan, bukan nasib atau campur tangan orang lain.
Kendati melambangkan kesuburan dan terkait dengan dunia pertanian, Keris Kebo Lajer tidak harus selalu dimiliki oleh kaum petani saja. Sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran agraris, keris ber-dhapur Kebo Lajer dapat dimiliki oleh siapa saja yang berniat menghayati ikon kerbau sebagai lambang pengharapan dan permohonan kesejahteraan. Bahkan para bangsawan dan aristokrat istana juga memuliakan keris pusaka dengan ragam dhapur Kebo sebagai pusaka ageman. Tercatat ada beberapa pusaka Keraton Yogyakarta yang berdapur Kebo Lajer, yaitu Kanjeng Kiai Ageng Mahesa Nular, merupakan pusaka persembahan Kiai Mandureja kepada Nyai Mas Ageng Danureja I, isteri Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Kemudian ada Kanjeng Kiai Mahesa Gendari, semula milik Adipati Danurejo yang bergelar KPH Kusumoyudo. Kemudian diserahkan ke Kraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V.
DWIPAMOR, atau DWIWARNA adalah istilah dalam dunia perkerisan untuk menunjuk keris yang memiliki dua macam motif pamor yang berlainan pada bilahnya, dengan batas antara kedua pamor cukup kontras. Misalnya, pada keris ini memiliki dua macam motif pamor yang berbeda, yakni pada bagian sor-soran terdapat pamor Batu Lapak, sedangkan pamor di atasnya berbentuk wengkon.
Wengkon, atau tepen atau biasa juga disebut pamor lis-lisan adalah nama pamor yang bentuk gambarnya menyerupai bentuk bingkai di sepanjang tepi bilah keris. Pamor ini tergolong pamor rekan, yakni pamor yang bentuknya dirancang terlebih dahulu oleh sang Empu. Tuahnya dipercaya sebagai pelindung dari segala sisi, bahkan ada pula keyakinan bahwa ia mampu menjaga pemiliknya dari berbagai godaan lahir maupun batin. Pamor ini tidak bersifat pemilih, sehingga siapa saja dapat memilikinya. Namun, walau tampak sederhana, kenyataannya pamor Wengkon termasuk paling sulit diwujudkan. Hanya Empu berpengalaman yang mampu menata garis Wengkon yang berhasil agar tetap konstan jaraknya dengan tepi bilah, tidak mbleber ke tengah, sehingga terlihat sempurna.
Batu Lapak, adalah salah satu motif pamor yang letaknya selalu ada di bagian pangkal atau sor-soran keris, tombak, badik, dan pedang. Bentuknya berupa garis-garis yang melengkung membentuk setengah lingkaran, atau sudut-sudut tumpul yang mengesankan pijakan. Di sebagian daerah pamor ini sering pula disebut sebagai pamor watu lapak, sementara di semenanjung pamor ini disebut dengan nama berbeda, yakni Tapak Gajah. Ditinjau dari segi pembuatannya, pamor ini tergolong pamor miring, sedangkan dari sudut terjadinya pamor, Batu Lapak tergolong pamor rekan, yaitu pamor yang bentuk gambarannya dirancang terlebih dahulu oleh sang empu dan biasanya disusulkan pembuatannya diantara pamor yang lain yang lebih dominan. Batu lapak sebenarnya adalah kepingan batu yang berbentuk datar yang bisa digunakan sebagai alas. Tuahnya dipercaya sebagai piyandel (sarana kekuatan) pondasi atau penopang kestabilan dalam berbagai hal (ekonomi, jabatan, dan spiritual), sehingga cocok dimiliki oleh sosok pemimpin yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi dan menjadi tempat bergantung banyak orang. Dalam buku Rahsia Keris dan Senjata Warisan Melayu (Abdullah, 2007) menyebut manakala ketandaan tapak gajah di pangkalnya mempunyai rahsia sebagai kekuatan dan keteguhan, serta berhikmat untuk menyelakkan pergerakan musuh.
CATATAN GRIYOKULO, Jika kita melihat keris-keris Tuban pilihan, umumnya banyak yang memiliki pamor udan mas, maka setidaknya kita masih bisa melihat keris Tuban dengan pamor miring lain. Penampakan keris ini tampak gagah merbawani dengan condong leleh miring ke depan Meskipun berukuran sedikit birawa (39 cm) keris ini masih tergolong memiliki tantingan yang ringan. Apabila diperhatikan pamor wengkon-nya tampak cukup rapi berada pada jalur-jalur sepanjang sisi tajam bilahnya. Garis wengkon-nya pun tersusun dari 2-4 garis. Pada bagian sor-soran hadir pamor batu lapak yang bentuknya asihan atau alurnya menyambung dengan ganja-nya yang ambatok mengkurep.
Dalam bahasa spiritual, Batu Lapak di pangkal bilah adalah lambang pijakan yang teguh, sementara Wengkon yang membingkai segenap sisi ibarat pagar penjaga di segala arah. Bersatu keduanya menjadi doa: semoga langkah pemilik keris ini berdiri di atas dasar yang kokoh, dan setiap jejak yang ditempuh selalu berada dalam lindungan dan keberkahan semesta. Aamiin.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
🌍 Jelajahi Dunia Tosan Aji
🔍 Temukan kawruh yang tersembunyi
📚 Jurnal, majalah, buku, hingga serat-serat kuno kini tersedia di SINENGKER.COM
📖 Ayo sinau bareng!
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————