Carubuk

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 7,000,000,-(TERMAHAR)Tn. NA  Jakarta Pusat  


 
  1. Kode : GKO-216
  2. Dhapur :Crubuk
  3. Pamor : Ngulit Semangka
  4. Tangguh : Tuban Majapahit Abad XIII
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 211/MP.TMII/III/2017
  6. Asal-usul Pusaka : Lampung, warisan turun temurun
  7. Keterangan Lain : gonjo wilud, warangka lawasan bawaan, kolektor item

  

Ulasan :

CARUBUK, kadang-kadang disebut Crubuk, salah satu dhapur keris luk tujuh. Ukuran panjang bilahnya sedang, biasanya nglimpa, tanpa ada-ada. Keris ini memakai kembang kacang, lambe gajah satu, selain itu memakai sraweyan dan greneng. Ricikan lainnya tidak ada. Dhapur Carubuk biasanya dimiliki oleh mereka yang mendalami dunia spiritual.

Berdasarkan manuskrip Sejarah Mpu ing Tanah Jawi, dijelaskan bahwa kersi dhapur Carubuk pertama kali dibuat oleh Mpu Dewayasa II merupakan cucu dari Mpu Dewayasa I yang mengabdi pada Raja Negeri Wiratha. Mpu Dewayasa II membabar tiga dhapur keris, yaitu Sang Carubuk, Sang Kebo Lajer dan Sang Kabor. Dalam versi lain, keris Carubuk yang khusus untuk dikenakan wanita pertama kali dibuat oleh Mpu Gandawijaya tahun 1125 Saka, pada era Pengging Wiratadya.

Keris dhapur Carubuk menjadi sangat terkenal ketika menjadi piyandel yang dipegang  dan dimiliki oleh Panembahan Hadiwijaya atau yang lebih familiar disebut Joko Tingkir, yaitu Raja Kasultanan Pajang di Jawa Tengah. Dengan keris Carubuk yang dimilikinya, Jaka Tingkir dikenal menjadi sosok yang sangat pandai, cerdik, pemberani, berwibawa dan sangat sakti, sehingga terangkat derajad kemuliannya menjadi menantu Sultan Demak (Trenggono) kala itu. Seiring runtuhnya Kasultanan Demak, Jaka Tingkir kemudian mendirikan dinasti Kasultanan Pajang di Pedalaman Jawa Tengah, dan bergelar Panembahan Hadiwijaya.

FILOSOFI, Carubuk memiliki pengertian “bagaikan bumi”, jadi manusia harus “Momot, Bakuh, Pengkuh, aja tampik ingkan den arepi among marang ingkang becik kewolo, Kang ala aka den mohi“. Artinya Bahwa manusia itu harus bagaikan bumi, tidak hanya menerima hal-hal yang kita sukai namun harus juga bisa menerima hal-hal yang tidak disukai, karena kesemuanya itu adalah wujud warna kehidupan, bagaikan bumi yang selalu dapat menerima biji yang baik ataupun yang tidak baik.

”Penerimaan” mengandung arti seseorang ikhlas akan sesuatu hal. “Penerimaan” disini bukan sekedar penerimaan apa adanya atau menyerah pada nasib, melainkan penerimaan hasil atas usaha atau ikhtiar yang telah dilakukan. Berusaha, berdoa dan tawakal adalah wajib. Apakah nanti hasilnya baik atau tidak, sesuai dengan harapan atau tidak, kata syukur senantiasa terucap karena perkara hasil adalah urusan dari Sang Pencipta. Pemahaman ini akan mengajarkan seseorang untuk dapat ikhlas, tidak mengharapkan sebuah balasan dan menjadi pribadi yang selalu bersyukur, bersyukur pada apa yang telah diberikan Sang Khalik hari ini, kemarin dan mungkin esok hari. Dan menjadi simbol optimisme, keyakinan sekaligus kepasrahan. Menerima bukan perkara mudah dan ikhlas adalah ilmu yang sulit dikuasai, sedangkan kita tahu bahwa Tuhan YME mempunya rencana yang terbaik bagi kita.
 
TANGGUH TUBAN MAJAPAHIT, Pada dasarnya, keris tangguh Tuban melingkupi era kerajaan-kerajaan yang membawahinya. Ketika masih zaman Kediri sebelum Singosari disebut Tuban Jenggala. Yang dibuat pada masa Majapahit atau Pajajaran disebut Tuban Majapahit atau Tuban Pajajaran, hingga ada keris Tuban Mataram – yaitu keris Tuban yang dibuat pada masa Kerajaan Mataram. Yang menarik setiap pergantian kekuasaan di tanah Jawa, Tuban selalu terlibat – atau setidaknya dilibatkan dalam pertikaian wilayah kekuasaan antar kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini barangkali tidak lepas dari letak strategis posisinya sebagai bandar pelabuhan terpenting di pantai Utara Jawa. Suksesi dari Medang-Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram yang merentang ratusan tahun lamanya langsung maupun tidak langsung juga mempengaruhi wujud dan mutu keris-keris Tangguh Tuban.
 
Kesan unik namun selaras dapat dirasakan ketika menanting sendiri pusaka ini. Sangat langka menemui keris Tuban dalam bentuk dhapur luk, terlebih lagi secara umum sulit juga sekarang ini untuk bisa melihat keris luk tujuh (7) garap dan wutuh. Dalam rasa pandangnya gagah, tegas dan lugas, menarik hati, wasuhan pamor halus, rata seperti kulit semangka, rabaan besi halus, condong leleh-nya (derajad kemiringan) agak menunduk, dengan luk yang dangkal namun luwes. Besinya terlihat ngrasak tapi jika diraba ternyata sangat halus, mencerminkan karakter orang-orang jawa wetanan yang terlihat ceplas-ceplos (kasar), namun sebenarnya baik hati. Bilah lebar tanpa ada-ada, gandik-nya pendek, sekar kacang-nya unik mirip stilasi belalai gajah khas pra Mataram Islam, ricikan jalen tebal, besar, rapat seolah menjadi satu kesatuan dengan sekar kacang menjadi signature tersendiri serta lambe gajah terletak pas di tengah gandik.  (Pada jaman dahulu kembang kacang sebagai ricikan keris disebut juga dengan tlale (belalai) Gajah. Terdapat kesesuaian dengan mitologi Ganesha, sebagai dewa lambang ilmu pengetahuan yang digambarkan selalu menghirup ilmu pengetahuan yang tiada habisnya dengan belalainya. Sekar kacang juga menyimbolkan adanya aktifitas tumbuh dan berkembang dan berbuah. Jalen merupakan simbol jalannya nafas yang terus menerus dan lambe gajah merupakan simbol lisan kita sebagai insan kamil. Pada style bagian gonjo wilud-nya yang tanpa pamor tampaknya sangat kental pengaruh Mojopahit dengan greneng yang masih bisa dikatakan wutuh. Bilah pusaka ini menggunakan Gonjo Wulung tanpa pamor yang mencerminkan simbol pengendalian diri atas godaan lawan jenis (gonjo simbol yoni/perempuan).
 
GONJO WILUD, merupakan stilasi dari ulat yang sedang berjalan, melambangkan usaha manusia untuk mencapai tujuan perlu diraih secara bertahap dengan tekun dan sabar. Ada ungkapan dalam masyarakat Jawa yang sesuai dengan pandangan ini yaitu sopo kang tekun bakale tekan, sopo sing temen bakal tinemu berarti “siapa yang tekun pasti akan dapat mencapai tujuannya”.
 
Yang paling menarik pada bilah pusaka ini adalah adanya pamor meteorit yang sengaja dititipkan (bukan akhodiyat, beda material) oleh Sang Empu atau Sang Pemilik pertama berupa bulatan kecil yang langsung dapat ditengarai dengan perbedaan mencolok bahan pamor melalui rabaan dan visual, dimana pada pamor dominan tampak seperti pamor luwu (agak suram) dibandingkan pamor titipan (lebih putih terang mengkilat). Hanya sekedar menduga-duga, dimana pada zaman dahulu perlu pengorbanan besar untuk mendapatkan batu meteor yang jatuh. Dari mana para empu-empu mendapatkan meteor sebagai bahan material keris, tombak dan pedang adalah suatu metode “konvensional” dan kearifan lokal tersendiri. Kemungkinan dulunya batu meteor ini hanya berupa bongkahan kecil, entah sebelumnya sebagai “jimat” atau ketiban “pulung” dalam mendapatkannya. Melalui doa-doa khusus sengaja disatukan (dilebur) pada pusaka karena bahan langit dipercaya memiliki kekuatan supranatural yang luar biasa.
 
 
Pusaka ini semakin jangkep (genap/lengkap) dengan perabot lawasan bawaan sebelumnya. Jika dlakukan sedikit perbaikan dan penggebegan sedikit akan meningkatkan aura perbawa tersendiri. Warangka ladrang jawa timuran terbuat dari kayu timoho dengan motif pelet dhoreng, ialah pelet dengan gambaran seperti lorengnya kulit harimau. Pelet ini berkhasiat kepada pemiliknya menjadi tegas/angker dan disegani sesama manusia. Jenis pelet seperti ini banyak dicari dan harganya cukup tinggi. Juga pada gandarnya terdapat motif pelet tulak, ialah pelet yang membentuk garis tebal dari atas ke bawah dengan warna yang mengkilat hitam atau coklat muda/tua. Khasiatnya dipercaya antara lain untuk melindungi pemiliknya dari senjata tajam dan bila dibawa dalam peperangan dapat terhindar dari senjata. Untuk landhian Tumenggungan terbuat dari kayu sawo kecik?, yang ringan, keras namun tidak mudah retak. Bagi orang Jawa, sawo kecik memiliki arti sarwa becik atau serba baik. Bahkan pada era perang Diponegoro, para pengikut Pangeran Diponegoro menanam sawo kecik di kanan-kiri rumah mereka sebagai tanda mengenali satu sama lain. Landhian Tumenggungan juga merupakan ciri khas hulu keris Madura yang berkembang menjadi landhian Donoriko. Tampak hiasan kembang temu (bunga jahe) yang mengeksplorasi flora dan segitiga tumpal.
 
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *