Mahar : 2.500.000,-
1. Kode : GKO-505
2. Dhapur : Kudi Ebeg atau Kudi Jaran
3. Pamor : Nyanak
4. Tangguh : Sepuh
5. Sertifikasi Museum Pusaka No :
6. Asal-usul Pusaka : Banjarnegara
7. Dimensi : panjang bilah 23,5 cm, panjang pesi 5,5 cm, panjang total 29 cm
8. Keterangan Lain : sudah dibersihkan, tindih
ULASAN :
KUDI atau KUDHI, adalah sejenis gaman (perkakas/alat bantu pekerjaan, utamanya pertanian) untuk membelah atau memotong benda keras. Sebagaimana parang, kudi hanya memiliki satu sisi tajam, berbentuk agak melengkung menyerupai celurit tetapi bagian pangkalnya membesar.
Sekilas bentuk kudi hampir mirip dengan kujang. Beberapa orang menganggap Kujang merupakan metamorphose atau bentuk turunan dari Kudi yang lebih dulu ada. Terlebih sejak masa prasejarah manusia telah menciptakan berbagai bentuk perkakas yang sederhana yang dapat dipakai untuk memotong, menebas maupun melempar. Asal kata “kujang” konon adalah “kudi hyang” atau (senjata dengan kekuatan gaib milik para dewa). Namun, adapula yang menganggap kudhi dan kujang adalah dua hal yang berbeda terutama fungsinya (walaupun kudhi dapat dikategorikan sebagai jenis kujang pamangkas). Multi fungsi kudi itu antara lain sebagai perkakas pemotong padi (sabit), bisa juga sebagai alat bela diri. Sementara kujang berfungsi sebagai medium mistik ,simbol status dan ajimat (pajimatan) atau sipat kandel (piandel).
Kudi ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain; kepulauan Alor, Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Konon khodiq di pulau Madura berevolusi sebagai senjata umum yang disebut “calok” atau monteng hingga mencapai bentuknya secara evolusif yang sekarang kita kenal disebut celurit. Sementara di pulau Jawa pada umumnya kudi mengalami evolusi bentuk dan berkembang menjadi bentuk perkakas yang disebut bendo arit. Sementara salah satu bentuk kudi (bentuknya sama dengan kudi lama) masih banyak dipergunakan masyarakat pedesaan di wilayah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen). Oleh orang Banyumas, kudi dianggap sebagai salah satu identitas budaya
FILOSOFI, Salah satu hal yang menarik, kita masih bisa menyaksikan relief kudi yang terdapat di Candi Sukuh. Candi Sukuh terletak di lereng barat Gunung Lawu, di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Relief pande besi di Candi Sukuh menarik untuk dipelajari karena mempunyai kemiripan dengan miniatur besalen seperti yang kita kenal saat ini.
Adegan dalam panel relief tersebut menggambarkan sebuah bangunan beratap limasan dari genting sirap yang di dalamnya terdapat Bima sedang duduk jongkok menempa sebuah keris lurus dengan tangan kosong, memanfaatkan kepalan tangannya sebagai palu dan disampingnya ada beberapa perkakas dan senjata hasil tempaannya. Sedangkan pada bagian kanan terdapat Arjuna berdiri dengan masing-masing tangan memegang tangkai ububan. Ritual pembabaran keris ini dihadiri secara langsung oleh Dewa Ganesha yang memberkati prosesi keramat itu. Yang menarik dicermati adalah jika kita melihat hasil tempaan dari Bima terdapat banyak sekali wesi aji, mulai dari kudi hingga bentuk keris.
Seperti kebanyakan masyarakat Jawa didalam kesehariannya selalu menggunakan simbol-simbol atau lambang. Simbol atau lambang tersebut bisa berbentuk benda, tulisan, ucapan maupun upacara dan kesenian, salah satunya Kudhi. Bagian-bagian kudhi terdiri dari ; bagian ujung, perut, karah serta gagang. Bagian-bagian tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat pemotong semata, namun merupakan cermin dari karakter orang Jawa yang sesungguhnya.
Dalam Babad Jawa cerita soal Kudhi sebagai benda pusakapun tak lepas dari sejarah berdirinya Mataram, dimana Ki Ageng Selo sebagai penurun raja-raja Mataram Islam, bermimpi membabad alas (merambah) hanya dengan berbekal sebuah kudhi. “Kudi” bisa berarti lakune dadi (perilaku utama menjadi manusia lebih baik dan bermartabat), sedangkan “ebeg” atau kuda lumping sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu. Kuda dimaknai sebagai simbol kekuatan, keberanian dan pantang menyerah.
Ebeg adalah sebuah gambaran. Misalnya ketika pemain kuda lumping kesurupan, orang tersebut berlaku tidak wajar. Berjalan tidak beraturan, semua ditabrak, bahkan akan melakukkan hal-hal yang tidak sanggup dicapai logika orang yang sehat. Namun ketika menggunakan jaranan (ajaran-tuntunan, aturan), mereka akan bergerak sesuai dengan iramanya sehingga terlihat harmonis, indah dan serasi. Jaranan (kuda-kudaan yang terbuat dari bambu), diibaratkan sebagai ajaran. Ajaran itu adalah Ingsun Sejatining Ana Ing Manungsa. Sebuah makna Ketauhidan.
CATATAN GRIYOKULO, Meski tidak bisa dikatakan utuh, namun bentuk Kudi ini masih terlihat cukup cantik. Setelah dibersihkan dari karat stilasi dari sebuah Ebeg (kuda lumping) masih bisa ditangkap secara visual. Landeyan kuningan yang ada pada kudi ini juga masih original bawaan sebelumnya, yang bisa dijadikan rujukan dalam “menyandangi” Kudi. Sangat disayangkan untuk bagian kowak (warangka) Kudi ini sudah tidak ada lagi, hanya menggunakan penutup kain cinde.
Salah satu hal menarik untuk diamati adalah meskipun konon kudi hanya sebuah perkakas, namun dalam pembuatannya ternyata melalui proses tempa lipat sebagaimana tosan aji lainnya. Kudi-kudi yang berusia tua semacam ini hingga kini terus dimulyakan, dianggap sebagai salah satu wesi aji. Tidak heran oleh sebagian orang menjadikan kudi sebagai salah satu pusaka tindih, yang tentu saja salah satu keuntungannya adalah mahar yang lebih terjangkau dibandingkan jalak budha atau bethok.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————