Tilam Upih Junjung Derajad

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4.950.000,- (TERMAHAR) Tn. BA, Malang


1. Kode : GKO-503
2. Dhapur : Tilam Upih
3. Pamor : Junjung Derajad
4. Tangguh : Tuban Mataram (Abad XVI)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : –
6. Asal-usul Pusaka :  rawatan/warisan turun temurun
7. Dimensi : panjang bilah 34  cm, panjang pesi 7,2  cm, panjang total 41,2  cm
8. Keterangan Lain : warangka dusun perlu diservis


ULASAN :

Tilam Upih, menurut kitab sejarah Narendra Ing Tanah Jawi (1928) dhapur Tilam Upih (diberi nama Jaka Piturun) dibuat bebarengan dengan dhapur Balebang (diberi nama Pamunah) pada tahun 261 Saka pada era pemerintahan Nata Prabu Dewa Budhawaka. Dhapur Tilam Upih merupakan dhapur yang paling populer di seluruh wilayah Nusantara dan relatif bisa dijumpai pada setiap tangguh, mulai dari tangguh sepuh sanget hingga tangguh kamardikan. Dhapur Tilam Upih bentuknya hampir sama dengan dhapur Brojol, perbedaanya dhapur Brojol tidak dilengkapi dengan ricikan: tikel alis.

Banyak yang meyakini bahwa pusaka tidak harus terlihat garang dengan dhapur ganan atau tampil mewah dengan hiasan emas, namun justru seringkali berwujud keris-keris lurus dengan ricikan sederhana. Banyak cerita tentang pusaka keluarga dengan dhapur Tilam Upih. Menurut cerita turun temurun dahulu kala, salah satu Wali songo, yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga pernah menyarankan kepada pengikut-pengikut beliau, bahwa keris pusaka pertama yang baik dimiliki adalah Tilam Upih. Menurut beliau keris dengan dapur ini, bisa menjadi pengikut/teman yang setia disaat suka maupun duka, disaat prihatin maupun disaat sudah jaya. 

FILOSOFI, menurut ilmu simbol perkerisan dari Sunan Kalijaga yang ditulis di dalam Serat Centhini, Tilam Upih adalah lambang dari cinta dan kelembutan wanita.

Tilam-upih kang rumuhun | makna pasêmonnira | murat jalma wadon dene rahsanipun | pamikire marang katga | dikaya mikir padêmi ||

Mengandung makna pasemon jika seseorang telah mencintai keris sikapnya bagaikan orang yang mencintai  seorang perempuan yang menjadi garwa (istrinya), dimana ingatan pikirnya selalu tertuju kepadanya. Pada sisi lain, ada sebuah komitmen atau pengorbanan (waktu, tenaga, biaya) untuk merawatnya dengan baik.

Keris ini juga dianggap baik dimiliki bagi mereka yang sudah berumah tangga, akan cocok bagi siapapun, setia mendampingi berjuang dari awal, dalam suka maupun duka. Yang diumpamakan mempunyai karakter sebagai estri , yang penuh cinta dan kasih sayang (ngademke). Seperti layaknya seorang wanita, cantik, anggun, luwes, penuh kasih sayang mampu meredam keangkeran, ego, emosi /kekerasan namun tetap kuat dan landhep

Tilam Upih  dalam terminologi Jawa juga berarti tikar yang terbuat dari anyaman upih (pelepah daun pinang) sebagai alas tidur. Yang secara tidak langsung tersirat pasemon, yang diistilahkan sebagai kondisi sedang tirakat/prihatin (masih tidur dengan alas apa adanya, belum dengan alas yang empuk). Para orang tua zaman dahulu biasanya secara turun temurun memberikan anaknya yang menikah salah satunya dengan keris dhapur Tilam Upih, artinya didoakan agar nantinya hidup rumah tangganya baik, mulya, berkecukupan atau sebuah bentuk simbolisasi harapan tentang hidup nyaman berkecukupan, meski saat ini semuanya harus dimulai dari bawah.

TANGGUH TUBAN MATARAM, Keris-keris Tuban pada zaman Mataram mengalami sedikit pergeseran bentuk. Bila bilahnya pada masa sebelumnya rata-rata tipis, maka pada masa Mataram, agak lebih tebal dengan bentuk nglimpo mengikuti model keris Mataram. Bagian pejetan juga lebih sempit dari era sebelumnya dan gandik-nya agak tegak. Besinya tampak hitam, tempaannya nyaris sempurna sehingga mewujudkan bilah keris yang nyaris tidak berpori-pori. Pada bagian gonjo, sirah cecak umumnya masih ada pengaruh atau warisan dari Pajajaran yakni berbentuk buweng (bulat), dengan bentuk seperti mbatok mengkurep.

PAMOR JUNJUNG DERAJAD, adalah salah satu bentuk motif pamor yang banyak dicari penggemar tosan aji, dimana motif gambaran pamornya menyerupai corak berupa garis yang berbentuk panah/segitiga/gunung yang mengarah ke atas.

Pada keris Bali dan Lombok pamor ini dinamakan pamor Gunung Siu/ Sunsung Gunung/Gunung Drajat yang dipercaya mendatangkan kehormatan dan kejayaan. Di Semenanjung Melayu pamor seperti ini dinamakan pucuk rebung/gambaran gunungan, suatu simbol peningkatan derajad dalam kehidupan seseorang, mengantarkan seseorang pada kekayaan dan kemuliaan. Pamor ini tidak hanya terkenal dalam dunia tosan aji, dalam dunia per-batu-an mulia (gems) juga memiliki kepercayaan yang sama akan tuahnya. Tidak mengherankan pamor ini termasuk pamor yang menjadi incaran para kolektor. Dan sesuai hukum ekonomi, kelangkaannya mempengaruhi nilai mahar atau mas kawinnya.

Bentuk penampilan pamor Junjung Derajad ada dua macam, yang keduanya hampir mirip satu sama lain. Untuk pusaka ini, seperti yang ditunjukkan pada gambar nomor 1, berupa gambaran bentuk seperti pamor Raja Abala Raja, tetapi hanya setengah bilah, kemudian di atas ujung pamor itu ada jenis pamor lain yang serupa pamor wos wutah atau pulau tirto.Secara harfiah “junjung” = mengangkat/menaikkan ; “derajad” = tingkatan/kemuliaan. Derajad disini memiliki dua makna, yakni dunia dan akhirat. Ketika seseorang diangkat derajadnya di dunia, maka dia menjadi orang yang diistimewakan oleh Tuhan. Sebut saja seperti selalu diberikan kemudahan dalam segala hal, dipercepat rezekinya dan berbagai keistimewaan dunia lainnya, seperti gambaran pamor junjung derajad yang berlapis-lapis dan selalu mengarah ke atas. Sementara itu, jika diangkat derajadnya di akhirat, dilayakkan dan dipantaskan untuk masuk ke surga dengan tingkatan yang paling tinggi.

CATATAN GRIYOKULO, pandangan pertama ketika memegang keris ini, mau tidak mau mata pasti akan tertuju pada lelehan lem pada warangka di bagian “angkup” yang telah retak. Pemberian perekat made in Korea ala kadarnya tampak belepotan di bagian tersebut. Namun, kesan wingit akan dapat terasa ketika meloloskan pusaka ini dari warangka branggah jogja lamen-nya.  Tidak harus melalui dhapur Nogo atau Singo-singo-an untuk dapat menghadirkan aura-aura tersebut. Semerbak wangi minyak kemenyan (Frankincense Serrata) yang menyatu dengan aroma bakaran dupa/hio sebagai cara pemilik lamanya merawat keris ini menambah sentuhan mistisme tersendiri. Terlebih besi pada pusaka ini yang terlihat seperti membatu seolah berkarakter keras, dengan korosi-korosi normal  seusianya menambah kesan sepuh yang merbawani.

Ricikan yang terdapat pada dhapur Tilam Upih hanyalah pejetan atau blumbangan (bagian keris yang berupa cekungan seukuran ibu jari) dengan tikel alis (bagian keris yang berupa alur dangkal, melengkung seperti alis). Blumbangan pada keris ini dibuat sempit dan dangkal, sedangkan bagian tikel alis-nya digoreskan secara tegas dan panjang seperti gagang terong sangat pas jika harus berpadu dengan gandhik-nya yang amboto rubuh. Pada bagian wuwungan gonjo telihat bentuk sirah cecak yang besar dan membulat dengan ekor yang melandai ke bawah.

Pemberian minyak misik atau minyak kemenyan atau minyak lain yang cenderung berwarna hitam/coklat yang pekat ditambah dengan kebiasaan mengasap-asapi bilah bukannya tidak “mengorbankan” hal lain. Hal lain itu misal saja dapat menutup keindahan pamor dan ketika dilakukan pemotretan, terlebih menggunakan media kamera HP guratan-guratan pamor yang ada tidak dapat tertangkap lensa. Namun yang namanya hobby, preference atau kesukaan orang bisa saja berbeda dalam setiap klangenannya. Untuk hal satu ini pemilik pusaka lama lebih memilih untuk tampil prasojo, tidak menonjolkan gebyar pamor junjung derajadnya yang pandes, seolah menegaskan biarlah tirakatku menjadi rahasiaku sendiri.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *