Tombak Menur Pamor Miring

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 7.000.000,-(TERMAHAR) Tn. AHP, Villa Melati Mas, Serpong Utara


1. Kode : GKO-494
2. Dhapur : Menur
3. Pamor : Pandan Riris Seling
4. Tangguh : Mataram Sultan Agung
5. Sertifikasi Museum Pusaka No :
6. Asal-usul Pusaka :  Surakarta, Jawa Tengah
7. Dimensi : panjang bilah 13 cm, panjang pesi 4,8   cm, panjang total  17,8 cm
8. Keterangan Lain : tosan aji langka, warangka model tongkat komando sederhana terbuat dari kayu galih asem


ULASAN :

MENUR, Menurut buku Narpawandawa, yang diterbitkan oleh Budi Utama Tahun 1929 dituliskan : “Mênur punika ingkang kadamêl limrahipun kajêng, pandamêlipun kabubud, mawi purus manjing ing dhandhan, wontên ing bungkul. Grênging wêwangunanipun mêrit. Atau sebenarnya menur adalah hiasan yang berbentuk chattra, terletak pada bagian pucuk payung songsong yang terbuat dari kayu, dibuat dengan cara dibubud dan melalui purus (teknik sambungan kayu) dipasang menyatu dengan dhandhan (tongkat).

Sedangkan dalam pemahaman masyarakat pecinta tosan aji, “menur” adalah tombak kecil yang menjadi isian mahkota payung songsong. Hal ini tidak lah salah, karena memang ada referensi berupa catatan keraton mengenai hal tersebut. Namun tidak otomatis seratus persen tepat, sebab dalam catatan keraton mengenai sêrat gambar songsong, terdapat sekitar sembilah puluh (90) jenis payung, lengkap dengan bentuk dan peruntukannya, mulai dari no.1 Songsong agêm dalêm hingga no.90 Payungipun kawula dalêm pangindhung. Namun, Dari sembilan puluh (90) jenis payung tersebut menurut pakem “hanya” No. 1 yakni Songsong agêm dalêm yang ditulis terdapat tombak di dalamnya (walau tidak terperinci bagaimana bentuk/dhapur-nya), kutipannya adalah sebagai berikut: “Gilap gubêg sêkar waru saha tritisipun mawi bara, sangandhapipun sanggan ruji mawi kranthil, pinggiran argulo sapêthik, pêksi dewata, dhandhan lung kêncanan, sopal sarta tunjung, songsong pusaka dalêm ingkang kagêm pasamuwan agêng punika: kalih, Kangjêng Kyai Brawijaya, Kangjêng Kyai Guwawijaya. Punika mênuripun ing pucuk mawi musthika toya. Ing nglêbêt wontên waosipun, bungkulipun sanggan sinêlut ing êmas. Pèngêtan musiyum Radyapustaka mratelakakên dhandhanipun kajêng mursada”.

SEJARAH & FILOSOFI, Dalam tradisi India dan juga tradisi buddhis, chattra, yang artinya payung, parasol atau kanopi, diasosiasikan sebagai obyek persembahan duniawi, pelindung semua makhluk, dan simbol kekuasaan seperti yang diukir dalam ukiran panel relief Karmawibhangga Borobudur (Relief 127-130): chattrapradana.

Kemudian, jika kita lihat dalam berbagai potret keluarga atau tokoh di zaman masa kerajaan lampau. Terdapat sebuah “benda” yang selalu ikut hadir. Ia adalah sebuah Payung atau Songsong. Songsong merupakan sebutan untuk sebuah payung dalam budaya Jawa. Songsong merupakan bentuk halus atau biasa disebut sebagai kromo inggil dari kata payung. Benda satu ini rupanya memiliki akar sejarah cukup panjang di Nusantara khususnya tanah Jawa.  Dalam sumberdata prasasti maupun susastra Masa Hindu-Buddha, istilah dalam Bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan untuk penyebut payung adalah ‘pajeng’, yang kemudian vokal ‘e’ diganti dengan ‘u’ dan konsonan ‘j’ dengan ‘y’ di dalam bahasa Jawa Baru dan bahasa Indonesia. Kata jadian ‘apajeng’ berarti: berpayung, dan ‘pinajengan’ berarti: melindungi dengan payung (memayungi). Istilah ini antara lain didapat dalam Kakawin Bharattayuddha (1.14 dan 15, 9.5), Harisraya B (23.5), Hariwangsa (27.10), Krensnataka (39.4), Kidung Ranggalawe (7.151, 9.8 dan 10) serta Kidung Harsyawijaya (2.43). Dalam sumber data prasasti, khususnya prasasti yang berisi ‘penetapan status sima (perdikan)’, diperoleh siratan informasi bahwa jenis payung tertentu yang dinamai ‘pajeng wlu (payung bulat)’, hanya boleh dikenakan oleh kalangan bangsawan atau orang tertentu diluar bangswan yang memperoleh hak-hak istimewa. Jenis payung khusus lainnya adalah payung berwarna keemasan, yang dalam Kakawin Bharattayuddha dinamai ‘pajeng mas’.

Berbagai relief di candi-candi (Panataran, Borobudur, dll) juga menunjukkan visual “wong agung dengan songsongnya“. Sehingga telah ada cukup bukti untuk menyatakan bahwa payung  songsong telah dikenal dan dipergunakan semenjak masa Hindu-Buddha. Tradisi memayungi bangsawan berlanjut hingga memasuki masa Perkembangan Islam.

payung songsong sejak masa Hindu-Budha hingga Mataram Islam

Songsong ini ternyata menempati posisi krusial pada masanya yang telah terlupakan. Tidak main-main; benda satu ini merupakan sebuah simbol prestis (penanda keluhuran) dari kalangan bangsawan mana ia berasal atau dari golongan kepangkatan apa ia menjabat. Keistimewaan sebuah songsong tidak hanya itu. Keberadaannya sangat vital membuatnya diperlakukan secara khusus sebagai benda pusaka. Biasanya ada seorang abdi dalem yang ditugaskan khusus untuk membawa payung untuk ndoro-nya, mereka ini disebut Juru Panongsong atau di Keraton Solo disebut Abdi Dalem Priyantaka. Makna priyantaka adalah laki-laki berani mati. Tugasnya membawa songsong bawat atau payung kebesaran raja dalam upacara-upacara resmi. Berpakaian kampuh lurik perkutut manggung.

Seorang raja jika sedang miyos ke luar istana (blusukan) selalu menggunakan songsong. Selain untuk melindungi tuannya dari sengatan sinar matahari dan cucuran air hujan, yang paling utama adalah melindungi agar bayangan tubuh sang Raja tidak muncul atau terlihat apalagi sampai terinjak oleh pengiringnya, terutama pada bagian kepala. Menginjak bayangan Raja merupakan salah satu bentuk “penodaan”. Karena Raja ibarat wakil Tuhan di Bumi, sehingga harus diupayakan agar bayang-bayang tersebut tidak muncul.

Payung selain sebagai simbol perlindungan dan pengayoman juga keteduhan. Tidaklah mengherankan di daerah Jawa, sampai ketika orang meninggal dan hendak dimakamkan, sebuah payung juga ikut menyertai perjalanannya, dengan harapan agar orang yang meninggal tersebut bisa mendapatkan keteduhan ketika harus melanjutkan perjalananan kehidupannya di alam yang lain.

PAMOR PANDAN RIRIS, Gambaran pamor pandan riris sekilas mirip dengan pamor buntel mayit, perbedaannya terletak pada pola pamor miringnya yang tidak nggubed miring ke atas, mengelilingi bilah. Secara harfiah makna pamor pandan riris atau yang lazim juga disebut iris pandan adalah daun pandan yang sudah diiris atau dipotong. Daun pandan yang sudah dipotong itu tidak berbentuk rata, namun agak serong atau silang berbentuk lancip. Ukuran panjang daun pandan yang dipotong pun kadang berbeda-beda, tergantung ukuran daun pandan itu sendiri.

Secara teknis ada tiga jenis pamor pandan riris, yakni: pamor pandan riris agal, pandan riris tambal, dan pandan riris seling

Tuah pamor ini dipercaya dapat meningkatkan kharisma dan kewibawaan pemiliknya, membuatnya lebih banyak dicintai dan dan dihormati sekelilingnya.

“Belajarlah dari pandan rela disakiti, disobek, dicabut daun-daunnya agar daun yang berikutnya tumbuh lebih wangi dan harum”

Daun pandan, identik dengan keharumannya. Tetapi tahukah kita jika harumnya itu tidak begitu saja diperoleh? Sekarang ini pandan tidak hanya ditanam untuk dimanfaatkan daunnya tetapi juga sebagai tanaman hias, dijadikan bonsai misalnya atau dibiarkan rimbun menghijau untuk dinikmati kesegaran daunnya karenanya tidak pernah atau jarang dipetik. Yang demikian ini ketika dimasak tidak mengeluarkan bau wangi. Sebaliknya pandan yang sering dipetik daunnya akan mengeluarkan aroma khas yang menggoda ketika dimasak.

Filosofi yang bisa kita ambil adalah : Untuk mendapatkan nama harum dan dikenang oleh setiap orang dibutuhkan perjuangan panjang dan perih pengorbanan, namun cepat atau lambat akan kelihatan hasilnya.

TANGGUH MATARAM SULTAN AGUNG, Dalam buku Ensiklopedi Keris karangan Bambang Harsrinuksmo (2004) dijelaskan jika tangguh Mataram Sultan Agung: pasikutan-nya demes (serasi, menyenangkan, tampan, enak dilihat); besinya mentah, pamornya mubyar. 

KAYU GALIH ASEM, Meskipun disebut dengan nama Asam Jawa (Tamarindus indica), pohon satu ini aslinya berasal dari benua Afrika. Ciri-ciri morfologi Asam Jawa berhabitus pohon dengan perawakan besar dengan daunnya yang selalu hijau karena tidak mengalami masa gugur daun. Tinggi pohon dapat mencapai hingga 30 m, dengan diameter pada pangkal pohon dapat mencapai lebar 2 m. Bagian dalam kayu asam jawa berwarna merah kecokelatan. Sifatnya berat, keras, padat, awet, dan miliki tekstur halus. Kayu ini biasa dipakai sebagai bahan baku mebel, patung, atau pun ukir-ukiran.

Namun di sisi spiritual, kayu asam jawa merupakan salah satu jenis kayu yang dianggap bertuah bagi masyarakat tertentu, khususnya masyarakat Jawa. Kepercayaan seperti itu tentu bukan tanpa alasan, latar belakang yang tidak jelas, atau tiba-tiba hadir begitu saja dalam alam pikir sebagian masyarakat kita. Kita memahami, bahwa pengalaman spiritual selalu bersifat personal dan subjektif. Nah, pengalaman yang personal itu dialami oleh leluhur dan dituturkan secara turun temurun dan menjadi kebudayaan.

Bagian yang dicari adalah bagian hitam kayu kerasnya yang diperoleh dari pohon asam tua (berusia ratusan tahun) mati ngurak (tumbang/mati sendiri karena faktor usia). Jenis pohon asam jawa seperti inilah yang dianggap bertuah sebagai media dan tanda keselamatan, penolak bala atau segala kekuatan mistik jahat yang bersifat negatif. Namun, tidak semua pohon asam jawa, memiliki bagian teras yang berwarna hitam di bagian tengahnya, yang biasa disebut Galih. Galih asam ini biasa dicari sebagai bahan baku untuk membuat sandangan pusaka, misalnya warangka keris atau tongkat komando, yang dipercaya akan cocok dipakai oleh pemimpin yang berhati “satriya pandhita”.

bagian galih pada pohon asam jawa

Pohon asam jawa juga memiliki filosofi yang cukup dalam khususnya bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata asam (dilafalkan asem) berasal dari kata nengsem yang berarti menyenangkan. Daun pohon asam dalam bahasa Jawa disebut dengan sinom, yang dapat diartikan enom yang berarti muda. Karena itu, pohon asam jawa bagi masyarakat Jawa melambangkan masa muda yang menyenangkan.

CATATAN GRIYOKULO, Menur oleh sebagian orang dianggap “mistis”, karena sebagai satu-satunya tosan aji yang letaknya “berani” di atas kepala Raja tentu saja dianggap sakral. Maka, untuk menemukan benda sepuh sekecil ini ternyata sudah tak mudah lagi. Oleh karenanya, memang sering dianggap jodoh-jodohan. Tapi lain lagi jika mencari yang golongan jimatan, karena benda-benda seperti ini karena faktor permintaan pasar yang tinggi hingga saat ini masih terus diproduksi dari remposan besi tua maupun baru.

“Kecil-kecil cabai rawit”, meski kecil tidak bisa dipandang sebelah mata. Ya, begitu sepasang mata kita melihat menur ini, akan terhipnotis oleh pamor miring meteoritnya yang mubyar menyala terang berwarna keperakan. Di pulau Jawa bagian Timur dan Madura, disebut ndelling. Tergolong pamor yang disukai orang dan dianggap mempunyai tuah yang baik, yakni: “jika kita ingin mencapai sesuatu maka kitalah yang pertama-tama terlebih dahulu bisa mencapainya daripada orang lain”. Harus menerima kenyataan memang, jika di beberapa area sudah tidak tertutup pamor penuh, tapi tetap saja menur ini masih mampu memancarkan aura seorang penggede di zaman-nya.

Melongok bagian pesi yang pendek dan bulat pada menur ini tentu saja dibuat dengan alasan tertentu, yakni masalah fungsionalitas, agar kuat tidak mudah patah, berfungsi baik jika dalam keadaan terdesak musti digunakan.

Dan apabila kita fokus ke bagian ‘methuk’ tombak, yakni bagian melingkar seperti cincin yang mempertemukan bilah dan pesi-nya, selain masih sangat rapat, pamor dan serat besinya seperti garis yang melingkar. Hal ini menjadi masuk akal karena dalam fungsinya methuk adalah peredam yang menahan gaya beban atau tekanan untuk diteruskan ke landeyan ketika tombak tersebut digunakan untuk menusuk. Maka secara ilmiah bentuk serat methuk yang melintang/sejajar akan lebih kuat. Biasanya memang tombak-tombak sepuh pamor pada methuk-nya (yang bukan methuk iras) akan melintang, sehingga dapat dijadikan salah satu indikator sepuh tidaknya sebuah tombak.

Berpasangan dengan tongkat komando yang terbuat dari kayu galih asem menambah angker-nya sendiri. Bersama pohon beringin, di pulau Jawa ia sukses membentuk dwi tunggal pohon markas dhemit yang disegani dan selalu bikin bergidik ngeri siapapun yang melewatinya. Namun yang dicari sebenarnya adalah, selain sarana tolak bala, kayu galih asem dipercaya akan memperkuat energi dari pusaka yang ditempatinya. Wallahu a’lam

Ukuran tongkat komandonya-nya yang hanya sejengkal (22 cm) menjadikannya mudah disisipkan dimanapun dan siap menemani sebagai sikep/ageman pribadi dalam hari-hari kemanapun melangkah.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo Instagram : Sinengkerbygriyokulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

2 thoughts on “Tombak Menur Pamor Miring

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *