Mahar : 6.999.999,- (TERMAHAR) Tn GP, Bogor
1. Kode : GKO-495
2. Dhapur : Kidang Soka
3. Pamor : Ngulit Semangka
4. Tangguh : Yogyakarta/Mataram Ngentho-entho?
5. Sertifikasi Museum Pusaka No :
6. Asal-usul Pusaka : Yogyakarta
7. Dimensi : panjang bilah 34,5 cm, panjang pesi 7,5 cm, panjang total 42 cm
8. Keterangan Lain : ganja pamor unik, pesi untiran
ULASAN :
KIDANG SOKA, menurut Serat Centhini, Kidang Soka adalah salah satu dhapur keris luk sembilan (9) dengan ricikan: “….ingkang dhapur Kidang-soka | lambe gajah kakalihe | kêmbang-kacang pan sinung | saraweyan ri-pandhan wuri |” atau dhapur ini memiliki ricikan: lambe gajah dua, mempunyai kembang kacang, sraweyan dan eri pandhan di belakang gonjo.
Demikian pula Kawruh Empu (Wirapustaka, 1914) juga mencatat Kidang Soka memiliki ricikan: Luk sanga, kêmbang kacang, sogokan, lambe gajah loro, pejetan, sraweyan, ri pandhan.
FILOSOFI, Masih menurut Serat Centhini berikut penggalan pupuh 110 bait ke-3 hingga ke-5, dari Serat Centhini Jilid 2 pupuh 108-125 dituliskan sebagai berikut:
3. ……. | kala panjênêngan nata | Sah-ing Akbar Ngalam ing Dêmak miwiti | jamane kawaliyan ||
4. Guruning kang Wali Sanga nami | Sunan Bonang iyasa curiga | dhapur Sangkêlat aranne | êmpu Sura kang (ng)gêbug | panggarape duk angka warsi | sèwu caturtus lawan | nênggih sangalikur | panutup Wali (n)Jêng Sunan | Kalijaga iyasa dhapuring kêris | Kidangsoka Balebang ||
5. Êmpu Jaka Sura kang akardi | panggarape kala angka warsa | sèwu triatus punjule | pan asthadasa catur | tamat ingkang samya mêwahi | dhapure kang curiga | têkèng mangke kulup | iyasa namung panulad | kang wis-uwis tan iyasa dhapur malih | iku caritanira ||
kajian per kata:
Kala (ketika) panjênêngan (beliau) nata (raja), Sah (Syah) ing (di) Akbar (Akbar) Ngalam (‘Alam) ing (di) Dêmak (Demak) miwiti memulai), jamane (zamannya) kawaliyan (kewalian), guruning (guru dari) kang (yang) Wali Sanga (Wali Sanga) nami (bernama), Sunan Bonang (Sunan Bonang) iyasa (membuat) curiga (keris), dhapur (dhapur) Sangkêlat (Sangkelat) arann e(namanya), êmpu Sura (Empu Sura) kang (yang) (ng)gêbug (memukul), panggarape (pengerjaannya) duk (ketika) angka (angka) warsi (tahun), sèwu (seribu) caturtus (empat ratus) lawan (dan), nênggih (yaitu) sangalikur (dua puluh sembilan). (Ketika beliau raja Syah Akbar Alam di Demak memulai zaman kewalian, guru dari para Wali Sanga bernama Sunan Bonang membuat keris dhapur Sangkelat namanya, Empu Sura yang mengerjakan, pengerjaannya ketika angka tahun 1429).
Panutup (penutup) Wali (Wali) (n)Jêng (Kangjeng) Sunan (Sunan), Kalijaga (Kalijaga) iyasa (membuat) dhapuring (dapur) kêris (keris), Kidangsoka (Kidangsoka) Balebang (Balebang), Êmpu Jaka Sura (Empu Jaka Sura) kang (yang) akardi (membuat), panggarape (pengerjaannya) kala (ketika) angka (angka) warsa (tahun), sèwu (seribu) triatus (tiga ratus) punjule (lebihnya), pan (yakni) asthadasa (delapan puluh) catur (empat). (Penutup Wali Sanga Kangjeng Sunan Kalijaga membuat dhapur keris Kidang Soka dan Balebang. Empu Jaka Sura yang mengerjakan keris tersebut pada tahun Jawa 1384).
Tamat (selesai) ingkang (yang) samya (semua) mêwahi (menambah), dhapure (dhapur) kang curiga (keris), têkèng (sampai) mangke (sekarang) kulup (anakku), iyasa (membuat) namung (hanya) panulad (mencontoh), kang (yang) wis-uwis (sudah-sudah) tan (tak) iyasa (membuat) dhapur (dhapur) malih (lagi). Iku (itu) caritanira (ceritanya). (Selesai semua yang menambah dhapur keris, sampai sekarang anakku, yang membuat (keris) hanya mencontoh yang sudah-sudah, tak membuat dhapur lagi. Seperti itulah ceritanya).
Setelah Majapahit surut pusat pemerintahan beralih ke kerajaan baru di Demak Bintara. Sultan Demak Syah Akbar ‘Alam memulai zaman kewalian. Guru Wali Sanga yang bernama Sunan Bonang membuat dhapur keris baru yang disebut Sangkelat. Pengerjaan keris tersebut dilakukan oleh Empu Sura di tahun Jawa 1429. Sunan Kalijaga, Wali penutup (Hal tersebut berkaitan dengan jumlah dewan Wali Sanga yang terdiri dari delapan wali, dan ketika itu Kangjeng Sunan Kalijaga melengkapi jumlah yang kesembilan), membuat pula dua (2) dhapur keris, yakni Kidangsoka dan Balebang, Empu Jaka Sura yang membuatnya di tahun Jawa 1384. Jadi dua dhapur keris ini dibuat lebih dahulu daripada dhapur Sangkelat, meski pemrakarsanya wali terakhir. Selesailah kisah tentang para pembuat dhapur keris sejak zaman Prabu Dhestharastra sampai zaman Demak. Sejak saat itu orang membuat keris hanya mencontoh yang sudah-sudah, tidak membuat dhapur keris yang baru lagi.
“Kidang” atau kijang dalam purana adalah salah satu jelmaan dari pertapa. Dalam Adhiparwa juga disebutkan bahwa Resi Kimindama jika sedang karonsih dengan istrinya, mengambil bentuk kijang sebagai penyamarannya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kijang identik dengan kehidupan pertapa.
“Soka” dalam kawijarwa ataupun bausastra memiliki padanan kata. Dalam bahasa jawa terdapat operasi bahasa yang dinamakan dasanama. Dasa bisa diartikan sepuluh atau jamak, sedangkan nama adalah penyebutan. Sebuah kata memiliki padanannya sesuai dengan konteks yang menyertainya. Sehingga sebuah kata tidak memiliki makna tunggal. Konsep dasanama ini dikenal dalam bahasa jawa kuno dan sanskerta lalu diadopsi oleh bahasa jawa.
Soka dapat diartikan sebagai salah satu jenis bunga atau perdu (angsoka). Dalam pewayangan sering terdengar kata Argasoka (nama taman di kerajaan Ngalêngka). Dalam Yudhakandha digambarkan sebagai bunga merah simbol keberanian. Soka menurut Winter memiliki 3 arti, yaitu: susah, rêmbulan, anggung. Jika diartikan sedih, dalam bahasa jawa ternyata sedih itu dapat diklasifikasikan secara lebih spesifik. Misalnya dalam menggambarkan kesedihan yang disebabkan oleh kerinduan disebut sebagai kasmaran atau kingkin. Sedih karena kehilangan sering disebut duhka, duhkita atau dukacipta. Kedua hal ini cukup berbeda secara kontekstual.
Sehingga penamaan dhapur Kidangsoka dalam konteks ini bisa memiliki 3 tafsir yaitu:
- kijang yang memiliki sifat seperti bunga Soka.
- Kijang yang sedang anggung kasmaran ( sedang larut dalam devosi Keilahian).
- Kijang yang merasa berduka kehilangan sesuatu.
Kehidupan tak selamanya putih dilalui dengan penuh suka, ada kalanya beberapa noda duka mesti menempel sebagai bagian dari dialektika yang terjadi dalam diri manusia. Seperti halnya setiap hari yang dilalui, ada terang lalu gelap, begitupun ada musim yang datang silih berganti, tidak selalu panas terik, terkadang ada saatnya hujan membasahi bumi.
Bukan tak ada maksud Sang Pemilik Hati menciptakan keadaan ini. Suka adalah cara-Nya untuk memberikan pelajaran tentang rasa syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan. Sedangkan duka mungkin adalah cara Tuhan untuk mendorong manusia untuk selalu rendah hati dan tak menyombongkan diri dari-Nya.
Suka menawarkan berbagai kesenangan, kebahagiaan, dan kenikmatan pada siapa pun yang diliputinya. Sedangkan, duka terkesan sebagai penderitaan, kesedihan, dan obyek kekecewaan bagi siapa saja yang diselimutinya. Padahal belum tentu “suka” yang kita harapkan adalah baik untuk kita, begitupun sebaliknya. Terkadang manusia akan lebih dekat dengan Tuhan-nya dalam keadaan duka dibanding dalam keadaan suka.
Dalam keadaan suka, manusia lebih banyak yang lalai dan terlena dengan kenikmatan dan melupakan siapa yang sudah memberikan kenikmatan tersebut. Dan di suatu waktu, sebagai manusia memang tidak dapat luput dari masa-masa yang tidak menyenangkan dapat berupa kegagalan, kehilangan harta benda, hingga ditinggalkan orang yang dikasihi.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita bersikap. Sebuah sikap yang kita ambil akan mempengaruhi kehidupan kita. “What doesn’t kill you, makes you stronger“. Sebab, percayalah apa yang diambil oleh Tuhan akan kembali dengan bentuk lain dalam dimensi yang berbeda bahkan lebih dari apa yang dibayangkan sebelumnya dengan keyakinan yang sebenar-benarnya. Tuhan tidak berjanji bahwa hidup yang kita lalui ini akan tenang tanpa badai, tanpa masalah atau tantangan, namun hidup yang Tuhan berikan bagi kita ini indah, sebab Ia memberikan segala yang terbaik bagi kita.
Dhapur Kidangsoka mengingatkan kita: bahwa hidup manusia akan selalu ada duka, tetapi manusia diingatkan agar tidak terlalu larut dalam duka yang dialaminya. Kehidupan masih terus berjalan dan harus terus dilalui dengan semangat hidup yang tinggi.
TANGGUH MATARAM NGENTHO-ENTHO, Kisah Empu Wayang memasuki Desa Ngéntha-éntha menurut cerita tutur, bersamaan dengan berdirinya kerajaan Yogyakarta Hadiningrat. Empu Wayang bersama kawan-kawan empu yang lain, para pengikut Pangeran Mangkubumi menyingkir dari Kartasura ke Yogyakarta. Mereka kemudian menempati desa-desa di sekitar Godean. Desa-desa itu letaknya terpencar sekarang dikenal sebagai Desa Ngéntha-éntha, Balangan, Cebongan, Sumberan, Jenggalan, dan lain-lain.
Empu Wayang sendiri merintis sebuah desa dan membuka lahan yang dijadikan desa baru guna membangun tempat tinggal dan besalènnya. Di desa baru (belum ada nama Ngéntha-éntha) itulah Empu Wayang mulai meneruskan kariernya sebagai ahli tempa logam, pembuat segala persenjataan, dan lain-lain terutama keris pusaka. Ke-pandé-an Empu Wayang ini selanjutnya tak hanya mengalir kepada anak turunnya, namun juga mengalir kepada warga masyarakat sekitarnya sampai turun-temurun.
Pada zamannya, hampir semua warga Ngéntha-éntha mampu membuat beraneka ragam alat-alat dari hasil tempa besi, selain ada yang ahli membuat alat pertanian, seperti sabit, cangkul, dan sebagainya. Ada juga yang mampu membuat senapan, pedang, dan keris. Terkait dengan itu, dahulu orang-orang di desa ini banyak yang memakai nama depan Supo, karena nama Supo dianggap identik dengan seseorang yang ahli dalam ke-pandé-an logam. Di setiap rumah penduduk terdapat bangunan rumah besalèn yang biasanya terletak di sekitar rumah tinggalnya. Hal ini diperkuat oleh tulisan Dr. Isaac Groneman dalam bukunya Der Kris De Javaner (1910) juga mencatat seorang empu swasta/mandiri di Yogyakarta, dimana terdapat seorang lurah bernama Empu Japan dan seorang bekel bernama Supa Kinom dari keraton Yogyakarta, seorang dari Pakualaman bernama Karyadikrama, dan seorang lagi tanpa jabatan tetap bernama mas Supa Taruna, artinya empu swasta/mandiri, dengan dibantu oleh para panjak, yang biasanya adalah anak-anak atau kerabat dekatnya.
Empu Wayang sendiri kemudian telah menjadi milik bersama masyarakat. Para penduduk setempat secara batiniah dianggap sebagai keturunan dari penghuni pertama desa tersebut. Jejaknya yang kuat dibuktikan oleh nama depan pribadinya yang terpatri dengan Desa Ngéntha-éntha. Meskipun kapan dan bagaimana awal penyebutan nama depan Wayang, yaitu Éntha menjadi Ngéntha-éntha, baik sebagai nama desa maupun sebagai nama Tangguh keris, sampai saat ini belum ada yang mengetahui secara pasti. Meskipun demikian masyarakat pada umumnya mewarisi warisan nama tanpa mempermasalahkan kapan lahirnya nama tersebut.
Langgam atau gaya keris buatan empu Wayang memang tidak banyak diketahui, namun menurut beberapa kalangan pecinta keris dari Yogyakarta, keluarga Empu Wayang selalu membuat keris dengan gaya penampilan ramping. Bentuknya tampak manis dan bilahnya lebih tipis dibanding bilah keris buatan Kartasura. Dalam Serat Panangguhing Dhuwung, Wirasoekadgo menulis sedikit mengenai tangguh Ngentha-Entha (tanpa nama Empu) sebagai berikut:
Empu ….? ing Mataram. Dhuwung ganja waradin gulu meled warni-warni sirah cecak ugi warni-warni, bangkekan inggih warni-warni buntut urang lancip, embatipun warni-warni awak-awakipun ganja tipis, menggah seblakipun kemba, wasuhanipun pamor kirang lulut, manawi wonten dhuwung ingkang memper puh ingkang edi-edi mangka sereng grengseng mathenthengipun kemba inggih punika tangguh Ngentha-entha.
Empu …?… di Mataram. Keris dengan ganja rata gulu meled bermacam-macam bentuknya sirah cecak juga bermacam macam bentuknya, bangkekan juga bermacam-macam, buntut urang lancip, perawakannya macam-macam penampang ganja tipis, mengenai dalam rasa pandangnya kurang mantap, wasuhan pamor kurang selaras, jika ada keris yang mirip dengan buah puh yang matang keras kurang greget maka itulah tangguh Ngentha-entha
Setelah meninggal Empu Wayang dimakamkan di makam Gedong, yaitu makam Desa Ngéntha-éntha yang letaknya di sisi timur desa tersebut. Batu nisannya masih terawat baik sampai sekarang. Surutnya Empu Wayang, maka keempuan keris Desa Ngénthaéntha dijalankan terutama oleh pewaris anak turunannya sendiri, yaitu Empu Badur. Setelah Empu Badur selanjutnya oleh Empu Kartayuda. Sebagai keturunan Empu Wayang, kedua empu keris tersebut bekerja mengikuti cara yang dilakukan Empu Wayang, namun sayangnya tidak banyak yang dapat mengungkapkan secara lebih mendalam kisah hidup kedua empu tersebut. Menurut para pengamat, hal itu dikarenakan kedua empu tersebut tidak membuat corak baru, mereka setia meneruskan identitas Empu Wayang yang telah menjadi kerangka ciri khas desanya. Setelah meninggal kedua empu tersebut juga dimakamkan di tempat yang sama, yakni di makam Gedong, Ngéntha-éntha. Selanjutnya tradisi keempuan dilanjutkan oleh Empu Djoirono, keturunan Empu Kartayuda. Empu Djoirono kemudian menurunkan Empu Supoinangun yang sangat dikenal masyarakat sampai akhir hayatnya di Ngéntha-éntha.
PAMOR NGULIT SEMANGKA, disebut demikian karena pamor yang dibuat oleh sang Empu mirip sekali dengan corak pada kulit buah semangka, yakni berupa beberapa garis lengkung dari bentuk garis lengkung terkecil kemudian melebar dengan lengkungan yang membesar, menunjukkan gerak yang teratur harmonis.
Buah semangka adalah salah satu buah yang digemari oleh Kanjeng Nabi. Dan apabila kita renungkan lebih dalam, buah semangka mencerminkan kepribadian seseorang yang rendah hati dan tidak sombong. Sikap “humble” ini disimbolkan dengan batangnya yang tumbuh merambat di permukaan tanah. Dalam 1 pohon/tanaman hanya terdapat 1-2 buah semangka saja, seolah hendak mengajarkan untuk selalu fokus memberikan yang terbaik. Buahnya besar dan rasanya menyegarkan, menggambarkan bahwa orang tersebut hidupnya penuh dengan manfaat bagi orang lain atau lingkungannya. Buah semangka juga menunjukan kedamaian bagi orang lain dengan warna kulitnya yang hijau meski di dalamnya berwarna merah, yang bisa diartikan sebagai bentuk nafsu amarah. Artinya kita harus pandai dalam menjaga hati, jangan sampai amarah kita merugikan diri kita apalagi merugikan orang lain dan menjadikan banyak musuh.
CATATAN GRIYOKULO, keris ini menyimpan kisahnya sendiri, jika ia bisa berbicara mungkin ia akan berteriak memohon memelas. Diperoleh dalam kondisi ligan tanpa sandangan atau perabot lainnya. Padahal sebelumnya keris ini begitu dimulyakan oleh pemilik lamanya, berkaca dari perabot yang menyertainya bukanlah yang kaleng kaleng. dimana warangka sebelumnya menggunakan pilihan branggah yang terbuat dari kayu cendana wangi dan pendok suasa. Demikian pula pesi masih jabungan (dilekatkan dengan hulu keris-nya secara tradisional), sebelum akhirnya dilepas untuk mendapatkan mendak emasnya. Di tangan hunter antikan ataupun kolektor, secara matematika perabot-perabot tersebut berpotensi menghasilkan cuan lebih dengan cara dilorot sandangannya (dijual terpisah) daripada dimaharkan satu paket, mungkin mereka berpandangan sandangan yang ada tidak akan bisa mengangkat harga kerisnya.
Beberapa orang yang diberikan bakat khusus/kelebihan untuk menayuh keris ini menyiratkan jika keris ini cocok sebagai piyandel untuk dibawa berperang. Penulis hanya bisa mengotak-atik gatuk atau mengkaitkan hal tersebut, tentunya dengan dasar referensi yang tertulis dalam buku/serat kuno. Terlebih sifat dari tayuh/tanjeg lebih kepada hal spiritual yang sifatnya pribadi dan bisa jadi masuk dalam ranah abu-abu yang arahnya subyektif. Jika kita buka-buka buku Pamor Doewoeng Babon Asli Saking Cirebon (1935) memang mungkin akan menemukan sedikit benang merah yang tidak jauh, terutama melihat pamor pada bagian gonjo.
Seperti yang kita ketahui bersama, ada beragam aneka pamor di gonjo dengan kepercayaan tuah yang berbeda-beda, diantaranya gonjo sumberan untuk kerezekian, gonjo mas kumambang untuk pergaulan dan gonjo dengan pamor tundung mungsuh untuk penolak marabahaya dan menghalau lawan. Bambang Harsrinuksmo dalam bukunya Pamor Keris (1985) menulis, jika ganja berpamor seperti ini jarang terdapat, seandainya ada biasanya hanya terdapat pada keris-keris yang “top” saja. Penulis sendiri agak kurang jelas apa yang dimaksud keris “top” itu, karena jika dilihat secara eksoteri (garap) Bambang Harsrinuksmo juga menulis secara teknis sebenarnya membuat pamor tundung mungsuh di ganja tergolong tidak sulit, dibandingkan harus membuat pamor ujung gunung atau raja abala raja pada bilah.
Dari beberapa contoh gambar yang ada pada buku Pamor Doewoeng, pamor yang bentuknya mirif mirip pamor ujung gunung atau huruf V menyamping jika ditelaah memang ada hubungannya untuk keperluan tugas di lapangan (jika ada hajat musuh tidak dapat melihat pemakai keris ini, luput dari panah, senjata tajam dan peluru), dan dipakai bukan oleh orang sembarangan (penghulu, patih).
Ternyata ada hal-hal unik, keris keris semacam ini saat ini tidak hanya dicari oleh mereka yang berprofesi di bidang hukum, jaksa, pengacara hingga militer/polisi. Mereka yang berprofesi sebagai pengusaha pun ada yang mencari pamor semacam ini, adapun tuah yang diharapkan adalah untuk memenangkan suatu tender, atau mengalahkan pesaingnya.
Tidak hanya bagian gonjo yang nyentrik dengan model ri pandan sungsun yang dibuat mirip aring/janggut rawai keris bangkinang, pada bagian pesi pun menampilkan ciri khas lain yakni dipuntir. Dalam Serat Pakem Pusaka Duwung, Sabet, Tumbak. Babon peninggalan R.Ng Ronggowarsito, yang kemudian digambar dan ditulis ulang dalam aksara latin oleh R. Ng Hartokretarto (1964) mencatat beberapa Empu yang membuat semacam “signature” pada pesinya dengan cara dipuntir, yakni Empu Sombro pada zaman Pajajaran (pesi dipuntir dan berlobang ujungnya), dan mungkin yang banyak tidak tahu Empu Kyahi Guling zaman Mataram juga membuat ciri khas pesi dipuntir (artikel dapat dibaca disini). Seolah menolak punah, generasi empu kamardikan yakni Empu Ngadeni dari Gunung Kidul saat ini pun masih melestarikan tetenger tersebut (pesi diuntir) dalam membabar keris-keris tayuhannya.
Dan sebagai penutup, keris ini sudah disandangi dengan warangka model gayaman Yogkarta. Setelan njing-njingan-nya juga “ngunci”, jadi jika warangka dipegang terbalik bilah tidak jatuh. Pun ketika membukanya cukup mudah, tinggal disentuh menggunakan ibu jari, kuncian bilah akan dengan mudah terlepas.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com
————————————