Keris Pamor Lintang Purbo/Raja Sulaiman

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar :11.111.111,- (TERMAHAR) Tn DHS, Semarang


1. Kode : GKO-493
2. Dhapur : Mayat Miring
3. Pamor : Lintang Purbo/Raja Sulaiman
4. Tangguh : Pesisiran
5. Sertifikasi Museum Pusaka No :
6. Asal-usul Pusaka :  Trenggalek, Jawa Timur
7. Dimensi : panjang bilah 34,3 cm, panjang pesi 7,3 cm, panjang total 41,6 cm
8. Keterangan Lain : warangka lawasan, mendak perak


ULASAN :

MAYAT MIRING, adalah salah satu dhapur keris yang mungkin terdengar asing dan menyeramkan di telinga masyarakat perkerisan. Menurut Serat Kawruh Empu (Wirapustaka, 1914) terdapat setidaknya 3 (tiga) varian mengenai dhapur satu ini, yakni:

  1. Mayat miring = Bênêr, sogokan ngarêp, sraweyan.
  2. Mayat miring a = Bênêr, sogokan ngarêp, pejetan.
  3. Mayat miring b = Luk pitu, sogokan ngarêp, pejetan.

Kemudian kita buka pula Serat Centhini yang mencatat pula dhapur ini diantara  40 (empat puluh) golongan dhapur keris lurus lainnya. Adapun ciri-ciri dhapur Mayat Miring yang ditulis dalam Serat Centhini adalah sebagai berikut: “dhapur Mayat-miring awak bêngkuk gusèn sogokan amung sawiji ing wingking gigir kaga“. Dhapur Mayat Miring itu perawakannya agak semu bengkuk, ricikan perabotannya adalah: gusen, sogokan hanya satu di belakang ngeger manuk.

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan memang antara apa yang ditulis dalam Serat Centhini dengan catatan Wirapustaka. Pada Serat Centhini, ciri khas dhapur Mayat Miring adalah golongan keris lurus, perawakan bengkuk atau posisi bilah pada garis gonjo-nya yang agak membungkuk serta memiliki sogokan satu di belakang. Sedangkan pada Serat Kawruh Empu hanya dituliskan kategori bilah lurus (2 varian bentuk) dan luk 7 (1 varian bentuk) tanpa mendeskripsikan lebih lanjut mengenai perawakan bilahnya. Yang lebih berbeda lagi sogokan satu yang dimiliki adalah sogokan depan.

Ya, begitulah salah satu lika-liku pembelajaran dalam dunia tosan aji, jika hanya menggunakan satu sumber saja akan cenderung banyak potensi beradu argumentasi dengan mereka yang memiliki sumber yang berbeda. Karena seperti uraian di atas, jangankan soal “tangguh” (yang secara umum lebih menggambarkan suatu pandangan dari gaya, garap, material dari sebuah tosan aji berdasarkan “roso”), masalah “dhapur” (yang konon pakem saja) kadang masih memiliki perbedaan ciri-ciri mengenai ricikan yang dimilikinya. Justru dengan mengosongkan gelas, kita akan memiliki  passion untuk selalu belajar dan wadah menampung banyak ilmu.

FILOSOFI, Sebenarnya mayat dan mayit sendiri dalam bahasa Jawa memiliki dua (2) makna yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam Bausastra Jawa (Poerwadarminta, 1939) “mayat” merupakan basa krama/ngoko yang berarti: agak miring (ora ndêdêr). Sedangkan “mayit” berarti: orang yang sudah meninggal (jisim). Dalam bahasa pergaulan sehari-hari, kata yang hanya memiliki perbedaan vokal di akhir (-a dan -i) seringkali ditafsirkan tidak jauh berbeda, seperti misalnya orang Jawa memakai kata “nglayat” bukan “nglayit‘ untuk menjelaskan aktifitas menjenguk (melawat) keluarga orang yang meninggal dengan tujuan menghibur dan menguatkan hati keluarga orang yang ditinggalkan.

Maka tidaklah berlebihan jika kita mengingat kematian (dalam Islam jenazah diposisikan dalam keadaan miring dan menghadap arah kiblat) agar hidup lebih berarti. Memperbanyak mengingat kematian berdampak positif bagi seseorang dalam menjalani kehidupan dunia. Kematian adalah sebuah rahasia Sang Pencipta. Tidak ada seorang pun anak adam yang dapat mengetahui kapan dan dimana tiba ajalnya.

Mati itu tanggung jawab pribadi. Benar. Kitalah yang memilih cara mati kita. Kita pula yang menentukan bagaimana akhir hayat kehidupan kita. Masalahnya adalah bagaimana kematian itu bisa memiliki ruh. Mati yang bisa menggugah jiwa-jiwa yang lelah menemukan energinya. Itulah mati yang menghidupkan. Pertanyaannya lalu Bagaimana mendesain kematian seperti itu?

sumber: Majalah Kebudayaan Citra Yogya No 20-21/Th. IV Maret-Juni 1991

sumber: pamor duwung, babon asli saking surakarta stoomdrukkerij de bliksem 1937

PAMOR RAJA SULAIMAN, Dalam literatur pamor duwung, babon asli saking surakarta stoomdrukkerij de bliksem (1937) ditulis dengan keterangan yang apabila diterjemahkan dalam bahasa indonesia kurang lebihnya sebagai berikut : Jika ada pamor yang bentuknya seperti (bintang) ini dinamakan pamor Raja Sulaeman, harganya 100 negara, siapa yang menyimpan atau memakainya semua keinginannya akan tercapai, dan bisa dijadikan tumbal sakit penyakit, jika dibawa untuk berperang bisa menghalagi (marabahaya) pemakainya, terlebih lagi ditakuti oleh golongan setan, jin dan lelembut, juga tidak boleh disakiti (jahat) orang lain (karena karma akan berbalik dibalas Yang Kuasa).

SIMBOL RAJA SULAIMAN DALAM PEMAKNAAN SOSIO-RELIGI, Mpu Djeno menyebutnya dengan pamor Lintang Purbo (Bintang Permulaan/Kuno), yang dimaksudkan sebagai sebuah cahaya yang mendatangkan terang, mengandung makna nur cahyo, atau dalam bahasa Qur’an Nuurun ‘ala nurrin, Cahaya di atas Cahaya, Nur yang hidup dan menghidupkan. Maksudnya : Nur yang di Agungkan di alam semesta ini, yang hidup dan mewujud pada tiap-tiap yang hidup di Alam semesta. Nur yang memberikan pentunjuk yang menerangkan jalan. Tanpa Nur Allah, berarti hati manusia menjadi gelap gulita tanpa iman dan jauh dari hidayah. Nur adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Penciptanya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya (Manunggaling Kawula Gusti).

Sedangkan bentuk bintangnya yang memiliki sudut lima, yang mirip dengan irisan buah belimbing (seperti dalam tembang lir-ilir yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga), ibarat belimbing dengan lima sisi berbicara sebagai simbol dari lima rukun Islam dan sholat lima waktu yang merupakan dasar dari ajaran Islam, atau manifestasi Panca Maha Bhuta yang dikenal dalam ajaran Hindu, yakni lima elemen dasar yang membentuk alam semesta (bhuwana agung) dan badan manusia (bhuwana alit). Jika seseorang mampu menghidupkan keberadaan Panca Maha Bhuta dalam dirinya adalah; Akasa (wadah/ruang), dimana empat unsur alam semesta yaitu Pertiwi (Tanah), Tirta (Air), Agni (Api) dan Bayu (Angin) berkolaborasi dan bersinergi. Maka seseorang akan hidup dengan prinsip-prinsip; pantang menyerah (Pertiwi), namun tetap fleksibel dan luwes dalam berinteraksi (Tirta), memiliki semangat, gairah serta wawasan yang luas (Agni), memiliki rasa hormat sekaligus harga diri (Bayu). Dialah manusia sejati, yang menyadari dirinya tersusun dari Panca Maha Bhuta, mampu menguasai dan mengendalikan Panca Maha Bhuta. Dialah manusia yang pantas disebut sebagai ‘avatar’, si penguasa dan pengendali empat unsur alam semesta.

TANGGUH PESISIRAN, untuk memahami tangguh pesisiran perlu juga memahami pemetaan variasi regional dari budaya Jawa. Dimana pulau Jawa terbagi menjadi banyak daerah mulai dari barat yakni banten, kemudian sunda, pesisir, di tengah ada bagelen, negarigung, mancanegari, sampai ke timur tanahbrang wetan dan paling ujung adalah blambangan. Sedangkan pesisiran sendiri adalah untuk menyebutkan daerah-daerah di sepanjang pantai utara Jawa, dibagi menjadi dua; yakni pesisir kulon mulai dari Cirebon, Tegal, Pekalongan hingga sekitar Kendal. Kemudian pesisir wetan mulai dari Semarang, Demak terus ke utara, Jepara sampai ke timur di daerah Tuban.

Budaya masyarakat pesisir Jawa dinilai sarat dengan keunikan dan kekhasannya sendiri. Ciri khas budaya pesisiran adalah lugu. Kita bisa melihat dari sifat-sifat umum masyarakat pesisir yang berwatak keras dan lugas, cenderung ceplas-ceplos ketika berbicara, tidak ada yang ditutup-tutupi. Sifat yang lain adalah terbuka dimana keberagaman kehidupannya cenderung akulturatif dan adaptif, ternyata sangat berkaitan dengan kondisi (lingkungan alam berupa pantai terbuka) dan letak geografis posisi-posisi daerah pesisir yang secara geopolitik berjauhan dengan pusat pemerintahan atau kerajaan.

PAMOR WENGKON ISEN, wengkon adalah pamor yang bentuknya  menyerupai garis yang membingkai sepanjang sisi pinggir bilah. Sedangkan isen dalam bahasa Jawa artinya adalah isian. Maksud pamor wengkon isen adalah bentuk pamor wengkon yang mempunyai isian pamor lain di dalamnya. Tuah pamor wengkon isen kira-kira hampir sama dengan pamor wengkon, yang merupakan wujud doa dan harapan akan tidak ada bahaya, tidak ada masalah dan tidak ada halangan (siro winengku, nir ing sambekolo).

MALELA KENDAGA,  Yang terasa ‘tidak biasa’ apabila dibandingkan dengan pusaka-pusaka lain, jika pasir malela biasa kristal-kristal yang berkerlip akan membiaskan warna putih keperakan, sedangkan material pada bilah ini jika diamati di bawah sinar matahari tampak semburat emas yang kekuning-kuningan. Orang menyebutnya dengan malela kendaga. Besi jenis ini pada jaman dahulu sangat disukai oleh para Raja sehubungan dengan daya keampuhannya. Dan saat ini menjadi target utama mereka yang mendalami dunia esoteri.

Pada buku Serat Cariyosipun Para Empu ing Tanah Jawi 1919; ada cuplikan dalam bentuk tembang asmardana yang berkesan sakral : ‘pamore ngelamat kuning/ semu garing ingkang tosan/ kuning ingkang semu ijo/ milane tan kena kelar/ ingkang ngaku kedhotan/ wong desa kang ngaku teguh/ dicuwik nyawane minggat‘ yang artinya kurang lebih : ‘pamornya semburat kuning/ besinya agak kering/ kuning kehijau-hijauan/ maka tidak ada yang menandingi/ baik yang mengaku kebal senjata/ rakyat jelata yang mengaku kuat/ disentuh nyawanya melayang.

CATATAN GRIYOKULO, terjawab sudah rasa penasaran akan nama dhapur keris yang memiliki ricikan: keris lurus, sogokan depan dan sraweyan seusai membuka Serat Kawruh Empu. Dalam pandangan para penggemar eksoteri yang mementingkan garap dan bahan material, keris ini mungkin saja terlihat tidak ada yang spesial di mata. Namun bagi mereka yang gemar berburu esoteri, yang tampak biasa bagi rata-rata atau umumnya orang justru bisa saja meyimpan sesuatu hal yang lain. Namun sepertinya, ada beberapa hal yang mungkin menjadi titik kesepakatan diantara para penganut aliran eksoteri maupun esoteri, yakni ketika melihat unsur pamor raja sulaiman/lintang purbo-nya yang hanya berada pada satu sisi bilah dibuat sangat rapi, terlebih jika diraba tidak ada semacam grenjelan (tonjolan) yang membedakan bilah dan area pamor.

Yang kedua ialah besi malela-nya yang dominan berkerlap-kerlip kekuningan. Banyak yang mencari material pusaka seperti ini sehubungan dengan tuahnya. Dan memang, dalam fantasi yang liar ketika Penulis menghunus dari warangkanya, keris yang terlihat kokoh dan tajam ini seolah “mengajak” untuk mencari lawan, “mengarahkan” supaya dihujamkan ke tubuh seseorang, sekaligus untuk menguji hipotesis sebuah “keris perang” apakah musuh akan “mati tegseg”, meninggal seketika di tempat atau tidak. Namun tentu saja kesimpulan tentang benar salahnya hipotesis ini tidak akan pernah terjawab 🙂

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

4 thoughts on “Keris Pamor Lintang Purbo/Raja Sulaiman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *