Tombak Baru Kuping TUS

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 8.282.828,- (TERMAHAR) Tn. AHP, Villa Melati Mas, Serpong Utara


1. Kode : GKO-488
2. Dhapur : Baru Kuping/Baru Karna
3. Pamor : Wengkon Isen
4. Tangguh : Kartasura (Abad XVIII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No :
6. Asal-usul Pusaka : Rawatan/warisan turun termurun
7. Dimensi : panjang bilah  27,7 cm, panjang pesi 12,6  cm, panjang total 40,3 cm
8. Keterangan Lain : pesi untiran, landeyan panjang 210 cm


ULASAN :

BARU KUPING, yang kadang-kadang disebut Baru Karna, adalah salah jenis dhapur tombak lurus, Bilahnya pipih dan simetris. Bentuk kontur tombak itu menyerupai daun bambu, dan memiliki lekukan landai yang membentuk semacam pinggang, melebar (njeber) di bagian bongkot (pangkal). Di bagian bawah, dekat dengan pangkal tombak, terdapat bungkul (tonjolan) kecil. Sejajar dengan bungkul, di kiri dan kanannya, terdapat keunikan berupa semacam lubang berdiameter 3-5 milimeter. Keunikan inilah salah satunya yang membedakan baru kuping dengan tombak dhapur lainnya.

FILOSOFI, Kata Baru” berasal dari kata Bra, yang dalam bahasa sansekerta artinya: 1. sinar, cahaya 2. raja (keturunan brahmana). Sementara kata “Kuping” dalam bahasa Sansekerta berarti telinga atau pendengaran, sebagai bagian dari panca indera manusia, dimana telinga sebagai alat pendengaran yang obyeknya adalah suara. Jadi “Baru Kuping” dapat diartikan sebagai telinga atau pendengaran Sang Raja.

Menjadi pemimpin merupakan sebuah kewajiban dalam diri setiap orang. Dalam pendekatan kepemimpinan transformasional, seorang pemimpin harus mampu merubah dan mengembangkan dirinya, sehingga ia memiliki kompetensi untuk merubah orang lain dan lingkungan sekitarnya. Pemimpin merupakan sosok teladan, yang memiliki karakter kuat untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang-orang disekitarnya, untuk mencapai sebuah tujuan ideal. Tujuan yang bukan hanya menjadi arah bagi dirinya sendiri, namun juga bagi semua orang yang dipimpinnya.

Dalam menjalankan kewajiban sebagai pemimpin, mendengarkan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dan diterapkan. Mendengarkan berbeda dengan mendengar. Mendengar merupakan sebuah tindakan yang terjadi sebagai akibat dari berfungsinya telinga kita. Mendengar lebih kepada respon fisik terhadap kondisi dilingkungan sekitar. Dengan hanya mendengar, seseorang belum tentu bisa menyimak dan memahami lingkungan sekitarnya. Mendengar akan membangkitkan insting untuk waspada, namun tidak serta merta mengerti apa yang harus diwaspadai. Hal ini berbeda dengan mendengarkan, yang memberikan kemampuan lebih untuk dapat menyimak dan memahami. Dengan mendengarkan, seseorang akan waspada karena mengetahui hal-hal apa yang dihadapinya. Dengan mendengarkan seseorang akan lebih memahami situasi disekelilingnya, dan siap untuk mengerahkan seluruh potensinya dalam membuat perubahan. Mendengarkan tidak hanya membangkitkan insting seorang manusia, namun juga membangkitkan kompetensi spiritual, emosional, intelektual dan fisik agar siap merespon dengan tepat, terhadap hal apa yang didengarkannya. Mendengarkan akan memberikan dampak luar biasa bagi sebuah obyek, ketimbang hanya sekedar mendengar.

Seorang pemimpin yang memberi diri untuk mendengarkan dalam menjalankan kepemimpinannya, maka ia menempatkan diri sebagai pemimpin yang siap untuk menciptakan perubahan. Dengan mendengarkan pemimpin mendekatkan dirinya dengan orang-orang yang dipimpin, serta menciptakan perubahan sesuai dengan konteks yang dibutuhkan untuk berubah. Ada pepatah yang mengatakan “manusia diberikan dua telinga dan satu mulut, agar ia bisa mendengarkan lebih banyak dari pada berbicara”. Dengan mendengarkan lebih banyak, manusia akan lebih banyak memiliki peluang untuk menyelesaikan permasalahan, daripada membuat permasalahan baru.

Sementara bentuk dua lubang yang ada pada sisi kanan dan kiri bilah memiliki makna semiotika pendengaran yang harus selalu bertarung (tidak hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri), yaitu suara atau hal-hal yang didengarkan melalui kedua telinga kita hendaknya dapat dicerna, mengendap di hati dan diolah dengan ketajaman pikiran kita agar manusia menjadi bijaksana dan tetap dapat waspada.

TANGGUH KARTASURA, menurut Serat Paniti Kadga nama-nama Empu yang berkarya di Jaman Kartasura adalah: Empu Setranaya III, Empu Sendang Warih (putra Empu Setranaya III), Empu Taruwangsa, Empu Lujuguna III, Empu Japan, Empu Braja Kajoran (Brajaguna), Empu Lujuguna IV, Empu Sendhang Koripan (Putra Empu Sendang Warih) dan Empu Brajaguna II.

Seiring dengan hobi sang Sinuhun Amral membuat tren baru dan pembaharuan di jagad perkerisan klasik. Amangkurat II lebih berselera menggunakan jasa Empu-Empu dari Madura karena memang terpengaruh pembaharuan dari roman Eropa, budaya renaisans, dan budaya barok. Maka dari itu, tosan aji-nya berubah dari zaman Mataram.  Keris, dan tombak zaman Amangkurat Amral lebih besar, tebal dan kokoh tampak bisa diandalkan, lebih tegas, bergaya militer, tampak garang dan berwibawa.

PAMOR WENGKON ISEN, wengkon adalah pamor yang bentuknya  menyerupai garis yang membingkai sepanjang sisi pinggir bilah. Sedangkan isen dalam bahasa Jawa artinya adalah isian. Maksud pamor wengkon isen adalah bentuk pamor wengkon yang mempunyai isian pamor lain di dalamnya. Tuah pamor wengkon isen kira-kira hampir sama dengan pamor wengkon, yang merupakan wujud doa dan harapan akan tidak ada bahaya, tidak ada masalah dan tidak ada halangan (siro winengku, nir ing sambekolo).

CATATAN GRIYOKULO, mungkin dalam dunia pemaharan tosan aji sesekali dua kali kita masih bisa melihat dhapur Baru Kuping lewat di depan mata, namun tampaknya sudah jarang untuk bisa berjodoh dengan tombak Baru Kuping yang TUS ricikan-nya. Tanpa harus mengecilkan yang lain, jika fokus kepada tombak ini akan didapatkan sebuah tombak yang masih utuh dengan guwaya kokoh, tegas dan berwibawa.

Bentuk bilahnya yang masih terjaga dan terawat menampilkan kontur bilah yang cantik, gilig di atas kemudian melebar di bawah. Pada area bangkekan, terdapat semacam hiasan greneng di sisi kanan-kirinya, yang kemudian diikuti dengan semacam lubang di kedua sisinya. Lubang-lubang ini tidak dibuat sekedarnya dengan bor, karna jika dicermati bentuknya justru mirip dengan daun telinga, tidak membulat sempurna. Yang tentu saja berkorelasi dengan nama dhapur-nya sendiri. Pada sisi atas methuk juga terdapat semacam duri ri pandan di kedua sisi saling membelakangi. Sedangkan pada bagian pesi berbentuk untiran pada ujungnya. Bagian pamor pun tak kalah indah dalam mengimbangi, garis-garis yang membingkai bilah tampak tegas, tebal dan kontras dengan besinya, belum lagi pola-pola garis tiban-nya yang oleh beberapa orang diintepretasikan sebagai pamor rojo gundolo. Terpasang dalam landeyan sepanjang 2,1 meter, maka tampaknya semua orang akan setuju jika tombak ini layak dipusakakan.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *