Sengkelat Corok Ndalem Sumenep

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 13.131.313,- (TERMAHAR) Tn. AHP, SCBD Jakarta


1. Kode : GKO-468
2. Dhapur : Sengkelat
3. Pamor : Ngolek Somangkah (Ngulit Semangka, Jw)
4. Tangguh : Madura Ndalem Sumenep? (Abad XVII)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 1338/MP.TMII/XII/2020
6. Asal-usul Pusaka :  Rawatan/Warisan Turun Temurun
7. Dimensi : panjang bilah 40,2 cm, panjang pesi  6,5 cm, panjang total 46,7 cm
8. Keterangan Lain : Kolektor Item


ULASAN :

SENGKELAT, adalah salah satu bentuk dhapur keris luk tiga belas. Ukuran panjang bilahnya sedang, dan memakai ada-ada, sehingga permukaannya nggigir sapi. Sengkelat memakai kembang kacang; ada yang memakai jenggot dan ada yang tidak; lambe gajah-nya hanya satu. Selain itu ricikan lainnya adalah sogokan rangkap ukuran normal, sraweyan, ri pandan, greneng, dan kruwingan.

Sekilas dhapur Sengkelat mirip dengan keris dhapur Parungsari. Bedanya, pada Sengkelat lambe gajah-nya hanya satu, sedangkan pada Parungsari jumlahnya dua buah. Keris dhapur Sengkelat termasuk mudah dijumpai serta menjadi salah satu dhapur klangenan para pecinta tosan aji. Selain keris pusaka Kanjeng Kyai Ageng Sengkelat milik Keraton Kasunanan Surakarta, ada beberapa pusaka milik Keraton Kasultanan Yogyakarta yang juga berdhapur Sangkelat. Keris-keris itu adalah Kanjeng Kiyahi Laken Manik, Kanjeng Kiyahi Naga Puspita, dan Kanjeng Kiyahi Tejokusumo.

TANGGUH MADURA SUMENEP, Bicara tentang keris dan perkerisan, tidaklah lengkap tanpa menyebut Madura, sebab tidak banyak daerah di Nusantara yang budaya perkerisannya masih tetap eksis, dan hingga kini Madura berada di lini terdepan. Pulau Madura termasuk daerah di Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri dimana di dalamnya terdapat berbagai unsur sejarah, budaya dan seni yang telah tercampur dengan nilai-nilai relijius Islam yang kuat. Berbagai keunikan tersebut tersebar ke empat Kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Dari keempat Kabupaten di Madura terdapat salah satu daerah yang oleh masyarakat Madura sering kali disebut dengan “Songennep”, yang dalam bahasa Kawi mempunyai arti lembah atau cekungan yang tenang (Song berarti relung, geronggang, Ennep berarti mengendap). Dalam masyarakat Sumenep sendiri juga berkembang pengartian Songennep berasal dari kata-kata Ingsun Ngenep. Ingsun artinya saya, sedangkan Nginep artinya bermalam. Jadi Songennep berarti saya bermalam, yang dihubungkan dengan peristiwa 700 tahun yang lalu, ketika Raden Wijaya mengungsi ke Madura akibat dikejar-kejar Jayakatwang.

Penyebutan Songennep sendiri sejatinya sudah populer sejak Kerajaan Singhasari berkuasa. Raja Sumenep tertua yang pernah dicatat secara jelas dalam kitab Pararaton, adalah Banyak Wide atau Aria Wiraraja. Ia diangkat sebagai raja di Sumenep oleh Prabu Kertanegara yang pada saat itu menjadi penguasa Kerajaan Singhasari. Sebelum Aria Wiraraja, pulau Madura hanya diperintah oleh seorang yang berpangkat Akuwu (yang namanya tak pernah tercatat dalam sejarah). Di kitab Pararaton, secara hirarki Sumenep memang jelas merupakan wilayah bagian dari Kerajaan Singasari. Kidung Harsa Wijaya menyatakan bahwa Aria Wiraraja memiliki pangkat Demung. Sedangkan isi Kidung Wijayakrama tidak menyebutkan dengan pasti apa jabatannya. Dalam kitab Negara Kertagama (wirama 42) juga menerangkan bahwa Arya Wiraraja memiliki peran besar mendukung Raden Wijaya. Mungkin tanpa Arya Wiraraja bisa saja Majapahit tidak pernah eksis berdiri. Untuk membalas budi baik tersebut, Arya Wiraraja dan Madura mendapatkan hak-hak dan perlakuan khusus dari Majapahit.

Cerita Rakyat Mengenai Empu di Madura, dikisahkan, di antara zaman Pajang dan Mataram ada seorang empu yang terkenal dengan nama Empu Supo, saudara ipar Sunan Kalijogo. Pada suatu ketika Kiyai Sengkelat Kanjeng Kiyahi Purworo hilang dicuri. Pencarian telah dilakukan dengan hasil yang sia-sia. Empu Supo kemudian dipanggil Sunan Kalijogo untuk menelusuri bagian timur pulau Jawa guna mencari keris Kiyai Sengkelat Kanjeng Kiyahi Purworo. Melalui perjalanan ini kemudian Empu Supo dan kawan-kawannya berkenan menurunkan ilmu ke banyak empu di Jawa dan Madura.

Saat melakukan pengembaraannya tersebut Empu Supo mengubah namanya beberapa kali. Di Tuban, Empu Supo menamakan dirinya Kiyai Tapen dan Kiyai Sukolipuro. Setelah pindah ke Surabaya dia menamai dirinya Kiyai Romojati dan di tempat lain di Surabaya menamai dirinya Kiyai Kembang Jepun. Ketika kemudian pindah ke Bangkalan tepatnya di kampung Bara’ Tambha dia menamai dirinya Kiyai Brojoguno. Keris hasil karyanya pada masa itu dikenal di Madura dengan sebutan Bhajra-Ghuna. Salah seorang kawan seperjalanannya ikut serta bermukim di Dhuko-anyar yang sekarang masuk dalam kawasan dua desa, Dlemer dan Kobanjar. Keris buatannya terkenal dengan nama Kobanjar dan Dlemer. Selanjutnya, pada masa Panembahan Tjakraningrat II (Sidhing Kamal), Empu Supo pindah ke Desa Tonjhung, dan setelah pindah ke Pamekasan di Desa Gherra-manjheng dia menamai dirinya Kiyai Koso. Di Pamekasan, ia meminang istri dan melahirkan dua orang anak, Kiyai Masana dan Kiyai Citro-nolo yang kemudian sama-sama menjadi empu keris. Di tempat ini Kiai Koso dan Kiai Dukun menciptakan sebuah keris yang dikenal dengan Koso Madhuro dan Baruramba.

Kemudian rombongan Kiyai Dukun dan Empu Supo ini berpindah ke Desa Banyu-aju Kewedanan Batang-Batang, Karang Duwa’ di Kota Sumenep, sedang seorang temannya yang bernama Kiyai Bromo kemudian menetap di Desa Pandeyan. Keris buatannya di Banyu-aju disebut keris Banyu-aju, di Karang Dhuwa’ disebut keris Judha-ghate (Tisno Gati), sedangkan buatan Kiyai Bromo dikenal orang dengan keris Bhrama-bato. Di Sumenep, Empu Supo dan beberapa temannya tinggal lebih lama dari tempat lain yang pernah mereka singgahi sehingga di daerah ini mereka mewariskan ilmu pembuatan keris ke banyak murid. Murid-muridnya tersebut banyak tersebar, di antaranya di kampung Barungbung Kota Sumenep dan Desa Barungbung di Kawedanan Batang-batang. Metode transfer pengetahuan yang dilakukan Empu Supo bersama Kiyai Dukun dan Kiyai Bromo dilakukan pada saat menetap sementara di daerah yang mereka lewati, mulai dari Tuban dan berakhir di Sumenep (yang kemudian dilanjutkan ke Blambangan). Cara yang mereka lakukan ini yang kemudian melahirkan banyak pandai besi di Madura, cikal bakal dari empu-empu keris Madura.

Dikisahkan pula, di Pulau Madura sebenarnya terdapat pula empat empu keris yang cukup terkenal. Mereka hidup di zaman akhir pemerintahan Majapahit atau di era masuk dan berkembangnya Islam di tanah Jawa. Buyut Mojopahit, empu pertama yang paling terkenal di Madura yang kemudian melahirkan banyak murid di seluruh penjuru pulau. Salah satu muridnya adalah Buyut Palengghiyan. Setelah lulus panjak, Buyut Palengghiyan bekerja sendiri menjadi empu keris di tempat yang nama daerah tersebut diambil dari namanya, Desa Palengghiyan, Kawedanan Kedungdung, Kabupaten Sampang. Di akhir masa hidupnya Empu Buyut Mojopahit bertempat tinggal di pulau sebelah timur Madura, Pulau Poteran atau biasa disebut dengan Pulau Talango. Makamnya sekarang berada di Desa Kombang. Empu kedua adalah empu Pekandangan, bapak angkat dari Jokothole. Menurut cerita ia berada di daerah Pekandangan, Sumenep. Satu lagi empu dari asli madura adalah Empu Kelleng Pademawu di daerah Pamekasan. Sedangkan empu yang paling tua dari ketiga empu di atas adalah Empu Nepa yang berada di daerah dekat Ketapang, Kabupaten Sampang. Disinyalir Empu Nepa hidup pada zaman Raden Sagoro.

Beberapa nama yang kemudian dikenal sebagai empu keris Madura, yang juga merupakan murid salah satu dari keempat empu keris di atas antara lain: Empu Bhira yang bertempat tinggal di Desa Bhira-tengah, Kawedanan Ketapang, Kabupaten Sampang; Empu Chatib Omben yang membuat keris di Desa Omben, Kabupaten Sampang; EmpuCombhi di Desa Combhi, Kawedanan Kedundung, Kabupaten Sampang; Empu Blega (Bhaligha) di Desa Blega, Kawedanan Blega, Kabupaten Bangkalan; Empu Pakong di Desa Pakong, Kawedanan Pegantenan, Kabupaten Pamekasan; Empu Blumbungan di Desa Blumbungan, Kawedanan Bulay, Kabupaten Pamekasan; Empu Pangolo Bagandan di Desa Bagandan, Kawedanan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan; Empu Tambak Agung di Desa Tambak Agung, Kawedanan Ambunten, Kabupaten Sumenep; dan Empu Ario Pacinan di Kampung Pacinan yang sekarang menjadi Kota Sumenep.

Beberapa raja Sumenep juga terkenal sebagai sultan sekaligus empu keris, seperti misal Panembahan Sumolo (Notokusumo I). Di masa Panembahan Sumolo terdapat jejeneng empu, yang bernama Kiyahi  Brumbung. Sedangkan di masa Sultan Abdurrahman itu jejeneng Empu-nya bernama Kiyai Citranala. Kemudian Jaka Tole dan Panembahan Adipodai adalah para pembuat keris juga. Adapula seorang ulama bernama Kiyai Imam (Buju’ Pacangakan) di Sumenep sering disebut sebagai kyai pembuat keris.

GONJO SUMBERAN MAS atau KLOWONGAN, adalah pamor yang terletak di bagian wuwungan gonjo (sisi yang terlihat dari luar ketika bilah dimasukkan ke dalam warangka). Bentuknya berupa bulatan berlapis-lapis mirip mata kayu berjumlah lima. Pamor sumber mas tergolong sangat baik dan banyak sekali dicari orang, karena dipercaya dapat membantu mendatangkan rezeki bak sumber/mata air yang tidak pernah kering, terus mengalir di musim kemarau sekalipun. Menurut catatan yang ada pada zaman Pakubuwono IV, Empu Brajaguna III pernah pula membuat sebuah dhapur keris lurus berpamor adeg wengkon dengan ciri tambahan berupa puseran atau klowongan berjumlah 5 buah pada bagian gonjo. Keris itu bernama Kyai Brajaguna.

CATATAN GRIYOKULO, Diantara berbagai macam bentuk dhapur keris, lurus maupun luk, mungkin dhapur Sengkelat adalah dhapur keris yang paling banyak diupload di katalog Griyokulo. Namun jika boleh jujur, keris sengkelat ini menyimpan greget dan rasa ketertarikan tersendiri. Terlepas dari bentuknya yang utuh (TUS) yang menjadi syarat wajib bagi para kolektor, keris sengkelat ini memiliki garap yang baik di atas rata-rata.

Karakter keris Madura terpancar dari pamornya yang putih terang memenuhi bilah dengan karakter garis pamor yang nyekrak tegas dan tebal/nggajih (premah betuh). Sayangnya, pemberian minyak misik yang berwarna coklat dan kental, disukai ataupun tidak disukai memang akan cenderung menenggelamkan warna pamor yang mubyar menjadi kelem. Besinya tampak berwarna hitam kehijauan. Luk-nya terlihat rengkol dengan bentuk yang semakin merapat di ujung. Jika memakai sekar kacang keris-keris madura umumnya juga ber-jenggot dengan bentuk relatif panjang ujungnya runcing menggelung dangkal. Posisi sekar kacang terhadap gandhik juga tampak longgar. Untuk ukuran jenis keris Madura, keris ini tergolong keris corok (keris  jawa umumnya panjangnya kurang dari 40 cm, apabila ada yang lebih panjang dari itu disebut corok). Meski berukuran birawa, bilahnya terasa ringan dalam tantingan, kokoh dan sangat tajam, sehingga secara kesuluruhan terkesan galak, wingit namun tampak indah.

Yang menarik pada bagian wuwungan gonjo seolah sang Empu memberikan “tetenger” tersendiri, dimana apabila kita perhatikan pada bagian sirah cecak, misalkan kita tarik garis melintang/vertikal, maka akan seperti membentuk segitiga sama sisi. Konon keris Tresna Gate salah satunya memiliki ciri tersebut di atas. Selain itu, signature lainnya adalah seperti halnya karya-karya maestro  Brojoguno/Mangkubumen/Pakubuwono IV-V, sang empu juga menyertakan klowongan/pamor sumberan berjumlah lima buah pada gonjo bagian bawah. Jenis keris semacam ini biasa dikenakan oleh para pangeran, keluarga bangsawan atau saudagar yang memiliki strata sosial tinggi. Sedangkan sandangan pada hulu dan warangka pada keris ini tergolong jenis ukiran khas Sumenep yang berhubungan dengan folkfore Madura yang mengaitkan kuda sembrani dengan sosok legenda Djoko Tole.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *