Kebo Teki Jenggala

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 13.131.313,- (TERMAHAR) Tn. AHP, SCBD Jakarta


1. Kode : DJH-17
2. Dhapur : Kebo Teki
3. Pamor : Banyu Tetes
4. Tangguh : Jenggala (Abad XI)
5. Sertifikasi Museum Pusaka No : 295/MP.TMII/VIII/2011
6. Asal-usul Pusaka :  Jakarta
7. Dimensi : panjang bilah 30,6 cm, panjang pesi 6,5 cm, panjang total 37,1 cm
8. Keterangan Lain : keris tindhih, tangguh langka


ULASAN :

KEBO TEKI, menurut Kawruh Empu (Wirapustaka, 1914) dhapur Kebo Teki memiliki ricikan: Bênêr, cêndhak, kêmbang kacang, lambe gajah têlu, pejetan, grènèng. Kebo Teki merupakan salah satu dhapur keris lurus, bilahnya tidak terlalu panjang; pipih, agak lebar dibandingkan dengan keris lainnya. Ricikan yang terdapat pada keris ini adalah: gandik-nya agak panjang, kembang kacang (biasanya nguku bimo), jalen, lambe gajah tiga dan greneng. Jika kita membuka buku  “Pakem Pusaka” Duwung Sabet Tumbak” babon asli peninggalan R, Ng Ronggowarsito dituliskan dengan gambar bahwa Kebo Teki: ingkang ngangge pangageng padusunan.

Pada zaman kolonial keris Kebo Teki banyak dimiliki oleh golongan terhormat seperti tuan-tuan tanah, juga para pedagang hasil bumi. Hingga sekarang pun keris Kebo Teki masih banyak dicari oleh mereka yang “bermain” dalam dunia property, konstruksi hingga pertambangan karena mereka percaya bahwa Kebo Teki membawa keberuntungan pada mereka yang terlahir memiliki unsur tanah. Dan di tahun Kerbau Logam 2021 ini dhapur Kebo-keboan dipercaya akan cocok digunakan sebagai piyandel.

FILOSOFI, Sebagai penduduk negara agraris siapa yang tak mengenal kerbau? Masyarakat Nusantara sudah mengenal kerbau sejak zaman neolitikum. Setelah kebudayaan Hindu dan Buddha mulai masuk dan diterima di Indonesia, hewan ini kerap tertera dalam prasasti, kitab kesusastraan, relief-relief candi, juga arca-arca kuno. Relief kerbau diantaranya terdapat di Candi Borobudur dan Candi Sojiwan. Kerbau pada masa lalu adalah tokoh dalam pengajaran moral dan budi pekerti di masyarakat Jawa. Konon Bodhisatvva pernah hidup sebagai seekor kerbau perkasa yang sangat lembut hatinya. Sangat terkenal kesabaran dan kebijaksanaannya.

Kebo (Te)Teki = Kerbau yang sedang menjalani laku teteki atau yang disebut juga dengan ibadah mati raga (bertapa). Secara spiritual “Kebo” sering dipersepsikan sebagai “sosok panuntun”. Sebagai panuntun, kebo dipahami memiliki fisik yang kuat dan besar, rajin bekerja, setia dan kalem (sabar). Kerja di sawah, merawat kerbau, merayakan panen yang berlimpah adalah idealitas peradaban agraris. Kerbau jadi simbol etos kerja.

Di samping itu para orang tua zaman dahulu telah mewarisi kearifan lokal serta tradisi leluhur agraris yang memandang kerbau sebagai “rojokoyo“. Bagi masyarakat Jawa, kerbau dianggap sebagai rojokoyo yang mendatangkan banyak manfaat karena bisa membantu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Makna terpisahnya adalah Rojo artinya Raja dan Koyo artinya kaya, yaitu kerbau yang dipahami sebagai “Raja” (untuk mendapat) hasil yang berlipat banyaknya (misalnya dari membajak sawah). Tak heran dari sisi materialistik kerbau memberikan optimisme dalam menjalani hidup.

Segala sesuatu hakikatnya tentu dari Tuhan. Namun, sebagai manusia kita diwajibkan berusaha baik secara lahir maupun batin untuk keluar dari kesulitan. Dalam laku teteki, salah satunya dijalani dengan laku kungkum atau berendam di tempuran (pertemuan) sungai di malam hari. Dipahami sebagai laku pembersihan diri membersihkan dari sengkala (kesialan) kehidupan yang membuat usaha dan cita-cita kita tersendat dan merupakan wujud pertobatan untuk hidup yang lebih baik. Tetapi sebenarnya terdapat kiasan makna yang lebih dalam dari sekedar mandi di sungai. ‘Nempur’ di tempuran sungai bukan berarti aktifitas fisik saja tetapi lebih dari itu bermakna spiritual. Aliran sungai adalah air lambang sumber kehidupan. Sumber kehidupan alam raya ini tak lain dan tidak bukan yang mempunyai hidup. Yang mempunyai hidup adalah Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu ‘nempur’ sesungguhnya adalah menyongsong campur tangan atau ‘pitulungan’ dari Yang Maha Kuasa. Terlebih ada pepatah Jawa yang mengatakan Bopo topo anak melu nompo, putu melu nemu buyut melu katut, canggah melu kesrambah. Mengandung pengharapan akan kehidupan yang serba berkecukupan dan penuh berkah. Berkah lahir batin yang terus mengalir dan terjaga hingga keturunan-keturunan selanjutnya.

Maka, keris dhapur Kebo Teki adalah sebuah visi pemiliknya yang ingin mewujudkan kemudahan hidup, keselamatan dunia akherat, dan kemakmuran hingga turunan-turunannya dimana tentu saja dijemput dengan sebuah lelaku (ikhtiar).

TANGGUH JENGGALA, biasanya keris-keris tangguh Jenggala mempunya ciri-ciri unik yang memudahkan dikenali dari tangguh lainnya yaitu besinya sangat matang tempa dan terkesan basah (seperti aspal), pamornya sedikit,  gonjanya tinggi, dan umumnya banyak yang berdapur Kebo. Selain ciri umum bentuk di atas, mungkin ada benarnya, jika salah satu ciri tangguh Jenggala adalah “kaduk wesi kirang waja” atau lebih dominan besi kurang bajanya. Alhasil penampilan besinya tampak hitam legam pulen dan pamornya putih bersih, menampilkan kesan sederhana namun wingit. Tangguh Jenggala merupakan salah satu tangguh favourit para kolekor karena faktor kelangkaannya.

Dalam Buku Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar karangan Haryono Haryoguritno (2006), tangguh Jenggala dimasukkan dalam tangguh sepuh sanget (lihat tabel).

tabel penangguhan keris menurut Haryono Haryoguritno

PAMOR BANYU TETES, atau sering juga disebut tetesing warih. Secara harfiah berarti tetesan air atau menetesnya air. Adalah salah satu bentuk gambaran pamor yang menyerupai tetesan air yang tidak teratur letaknya. Pamor tetesing warih tergolong bukan pamor pemilih alias siapapun cocok memilikinya. Oleh sebagian pecinta keris tuahnya dipercaya membantu pemiliknya menemukan peluang, kesempatan dan rezeki.

Pamor banyu tetes juga menjadi pameling (pengingat) dalam belajar memaknai kehidupan, dimana tetesan air sanggup melubangi kerasnya batu karang. Mengajarkan kegigihan agar tidak mudah menyerah, dan selalu tekun dan ulet dalam menggapai sesuatu yang kita inginkan. Karena perbedaan antara pemenang dan pecundang adalah terletak pada kegigihan.

Keyakinan dan kesabaran adalah perahu yang dapat mengantar ke tepi seberang

KERIS TINDHIH, berasal dari kata ‘tetindhih’ yang menurut kitab Bausastra Jawa versi Poerwadarminta Tahun 1939 berarti lelurah atau pangarêp (penuntun), sedangkan secara arti atau makna harfiah adalah ‘menindih’. Keris tindhih merupakan suatu konsep spiritual bagi keris yang bisa menjadi pamomong (pengasuh) bagi keris lainnya.

Di kalangan para masyarakat tosan aji, sering ada anggapan bahwa diantara keris koleksinya mungkin ada yang tidak cocok (kurang/tidak bisa menyatu) dengan dirinya atau ditakutkan mempunyai pengaruh (energi/tuah) kurang baik. Walau demikian, ia merasa sayang untuk melarung atau melepasnya. Untuk menetralkan atau meredam pengaruh negatif atau kurang baik dari keris-keris tersebut, biasanya para kolektor memiliki apa yang dinamakan keris tindhih. Sesuai dengan makna harfiahnya, keris ini dipercaya mempunyai kekuatan yang dapat “menindih” segala pengaruh negatif dari keris lain yang ditakutkan bisa saja ber-efek kurang baik, tidak hanya bagi pemiliknya namun bisa saja keluarga sekitarnya. Dengan memiliki satu saja atau beberapa buah keris tindih, dipercaya akan memberikan ruang nyaman, lepas dari rasa khawatir dan sisi piskologis yang lebih secure bagi sang pemilik.

Terdapat beragam kepercayaan yang berkembang di dalam masyarakat perkerisan mengenai keris tindhih ini :

Pertama, Jika “tindhih” dianggap sebagai lurah/panuntun/pengasuh dan dalam budaya patriarki Jawa yang kesehariannya selalu diajarkan untuk menghormati mereka yang lebih tua. Kearifan lokal ini tampaknya terserap dalam budaya tosan aji. Maka apapun nama dhapur-nya adalah mutlak keris tindhih “harus” berasal dari tangguh sepuh sanget, seperti Singosari, Jenggala atau Kabudhan. Dimana secara esoteri alami diyakini sifat gaib bawaan keris-keris yang lebih muda usia pembuatannya akan selalu menghormati keris-keris yang lebih tua tangguh-nya.

Kedua, mereka yang memahami keris tindhih sebagai konsep spiritual (yang tentu saja juga diyakini secara personal), maka kesemuanya akan menjadi flexible (subyektif). Sehingga bagi mereka ini keris tindhih tidak harus berasal dari tangguh sepuh sanget. Filosofi yang tertanam dalam tosan aji justru lebih menentukan karena menyangkut doa awal ketika pusaka tersebut dibabar. Jika melihatnya dari sisi pamor, maka pamor seperti wengkon, satriya pinayungan, dan raja sulaiman bisa menjadi pilihan. Bahkan tidak semata hanya keris bethok maupun jalak budha, tombak seperti banyak angrem, kuntul nglangak dan semar tinandhu pun bisa dijadikan pusaka tindhih meskipun tangguh atau usia-nya lebih muda.

Dan yang terakhir, ada pula yang beranggapan jika keris tindhih lebih diperlukan bagi orang-orang yang memiliki banyak pusaka yang lebih bersifat koleksi saja (menjadi barang simpanan saja), yaitu orang-orang yang merasa tidak ada kedekatan batin dengan pusaka-pusakanya. Namun selama perjalanan jika pusaka-pusaka tersebut telah terawat baik dengan kesungguhan hati (sudah ada kedekatan batin dengan pemiliknya), mungkin keris tindhih tidak lagi diperlukan.

TENTANG SERTIFIKAT,  jika kita melihat sertifikat yang disertakan pada keris Kebo Teki Jenggala ini, terdapat perbedaan yang begitu kentara. Ya betul, karena Surat Keterangan ini memang dibuat sepuluh tahun yang lalu, yakni pada tahun 2011. Meski sebenarnya isi tentang deskripsi yang menjelaskan tentang pusaka sama, namun pada bagian kop Suratnya sangat berbeda karena masih kental menggunakan logo salah satu yayasan milik Ibu Tien Soeharto, yakni Yayasan Harapan Kita. Selain itu Surat Keterangan yang lama ini memiliki kekurangan lain, yakni tidak disertai foto pusaka. Namun Panjenengan tidak perlu khawatir jika dibutuhkan keris Kebo Teki ini akan kami sertifikasi ulang.

CATATAN GRIYOKULO, selalu ada pertanyaan menggelitik saat membahas tangguh Jenggala. Usia kerajaannya yang justru lebih tua dari Singosari namun keris-kerisnya terlihat relatif lebih utuh dibandingkan keris-keris yang diperkirakan berasal dari tangguh Singosari. Semisal membandingkan material besinya pun ibarat bumi dan langit, keris-keris dengan besi korosi berpatina yang kebanyakan merupakan keris-keris temuan Sungai Brantas banyak ditangguh Singosari. Sedangkan besi keris Jenggala justru halus, matang tempa terkesan basah dan lebih banyak dirawat sebagai pusaka turun temurun.

Jika pada keris Kulonan Segaluh sangat melekat  ciri gandhik nonong-nya, maka untuk keris Wetanan Jenggala biasanya akan diasumsikan dengan bentuk gonja yang tinggi atau tebal. Meski tidak bisa digebyah-uyah atau disama-ratakan, jika tangguh Jenggala harus ber-gonja tinggi atau semua keris dengan gonja tinggi haruslah tangguh Jenggala, karena dalam kenyataannya banyak keris-keris kulonan yang juga memakai gonja tinggi. Namun, secara umum perbedaan diantara keduanya lebih kepada tebal-tipisnya bilah. Pada bilah keris-keris kulonan, semisal Pajajaran akan lebih tipis dan pamornya lebih kebak (penuh). Sedangkan pada keris-keris Jenggala bilahnya umumnnya nggeger sapi dengan pamor sedikit (nyeprit).

Dan meski tidak bisa dikatakan utuh-utuh sekali, namun saat melolos pusaka ini dari warangkanya akan dirasakan aura wingit. Wingit disini dalam arti bukan menyeramkan, namun adem merbawani. Keris-keris tangguh sepuh sanget jika dilolos memang rata-rata memiliki “getar” tersendiri. Tak salah kiranya sebagian orang mempunyai kepercayaan sebagai keris tindhih.  Mungkin bisa lebih cantik jika bagian pucuk dilaras, tapi tetap saja tidak sebanding dengan keaslian perjalanannya. Seperti Kanjeng Kiyahi Kopek (yang juga ada sedikit korosi pada bilahnya), bagi kami keaslian dari sebuah pusaka jauh lebih bernilai daripada keindahan tiruan yang disusulkan.

Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.


Contact Person :

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *