Mahar : 4,950,000,- (TERMAHAR) Tn. N Purbalingga
- Kode : GKO-251
- Dhapur : Carangsoka
- Pamor : Beras Wutah
- Tangguh : Mataram (Abad XVI)
- Sertifikasi No : 33/MP.TMII/I/2018
- Asal-usul Pusaka : Jakarta
- Keterangan Lain : carangsoka luk 7 dengan ricikan sogokan depan langka
Ulasan :
CARANGSOKA (b), ricikan: Luk pitu, sogokan, ada-ada, kêmbang kacang, sogokan ngarêp dawa, lambe gajah siji, pejetan, sraweyan, ri pandhan, gônja papak.
Penamaan dhapur kali ini menggunakan referensi serat kuno berjudul ‘Kawruh Empu‘ yang ditulis oleh Ngabei Wirapustaka, Abdi Dalem Mantri Radyapustaka di Surakarta pada tahun 1845, dikarenakan jika menggunakan referensi buku keris yang ditulis setelah kemerdekan (1945) nyaris tidak diketemukan dengan tepat mengenai nama dhapur yang dimaksud. Jika di dalam buku-buku perkerisan terbaru Carangsoka selalu dikaitkan dengan luk 9, ternyata menurut buku Kawruh Empu terdapat setidaknya lima (5) varian dhapur Carangsoka, yakni lurus sebanyak satu jenis, luk tujuh sebanyak dua jenis, dan luk sembilan sebanyak dua jenis pula. Carangsoka versi (b) yang dimaksud adalah menggunakan ricikan diantaranya; luk tujuh, memakai ada-ada, kembang kacang, sogokan depan yang panjang, lambe gajah-nya satu, sraweyan, dan ri pandan. Carangsoka versi luk tujuh dengan sogokan depan yang memanjang termasuk jarang ditemui saat ini.
FILOSOFI, Carang merupakan ranting-ranting pohon yang walaupun kecil-kecil tetapi jumlahnya banyak, menjadikan pohon tampak rimbun, sedangkan Soka adalah serapan dari Asoka, berasal dari bahasa Sansekerta; Shoka (sedih) dan A (tidak) yang berarti tanpa kesedihan atau atau sesuatu yang tidak pernah menimbulkan kesedihan. Secara filosofi tepatlah bunga ini dijadikan penawar bagi hati yang sedang sedih, asoka dapat menjadi pelipur lara, juga harapan akan tercapainya kedamaian jiwa, jauh dari kesedihan dan derita. Sehingga yang tertinggal hanya kebahagiaan dalam setiap hati manusia. Tidaklah mengherankan jaman dahulu banyak ditanam di halaman-alaman keraton dan rumah bangsawan, juga digunakan sebagai pagar hidup candi dan kuil.
Tanaman ini juga diasosiasikan dengan Kamadewa, dewa kasih sayang, yang menggunakan bunga ini sebagai satu di antara lima bunga pemikatnya, sehingga merupakan bunga perlambang cinta. Potongan kisah Ramayana dalam relief Candi Panataran, juga menggambarkan Asoka atau soka salah satu tanaman yang sering muncul dalam penggambaran alam Jawa Kuno, baik dalam relief maupun karya sastra kakawin dalam kaitan dengan Taman Bunga Asoka, tempat Hanuman bertemu pertama kali dengan Dewi Sinta yang diculik oleh Rahwana, di tempat itu pula Sinta dikurung dan membuktikan cintanya kepada Rama, suaminya sehingga dianggap bunga perlambang kesucian.
TANGGUH MATARAM, Tampilannya masih terasa enak untuk dinikmati meski dengan sedikit korosi-korosi pada beberapa spot pinggiran bilahnya. Besinya licin halus dengan pola pamor keabu-abuan yang merata sepanjang permukaan bilahnya khas keris mataraman. Tarikan luk yang semakin pendek ke atas menjadi daya tarik lainnya, terlebih bentuk sekar kacang-nya masih sangat wutuh dengan keunikan lambe gajah tepat di tengah gandik. Suguhan sogokan depan pada luk tujuh ini membawa pembeda dan rasa penasaran untuk menemukan nama dhapur yang paling tepat, karena buku-buku baru yang ada sekarang seolah tidak mampu menjawab dengan pas rasa penasaran akan ricikan-ricikan yang ada pada keris ini. Untuk warangka dan perabot yang mengiringi sepertinya sudah tidak ada pekerjaan rumah yang urgent lagi, tinggal menyimpan dan merawat saja.
PAMOR BERAS WUTAH, kemakmuran pada zaman dahulu salah satunya ditandai dengan hasil panen yang berlebih, mengilhami para empu untuk memberi nama Beras Wutah pada pamor keris hasil karyanya. Pamor ini adalah salah satu jenis yang paling banyak dibuat sehingga saat ini adalah jenis pamor yang paling banyak diketemukan. Secara fisik pamor Beras Wutah memperlihatkan motif butiran beras tumpah, adalah pamor tiban dihasilkan oleh penempaan Empu yang dalam proses pembuatannya Ia bekerja sambil berdoa, sabar dan menyerahkan hasil dari tempaannya kepada kehendak Tuhan (ikhlas). Secara filosofis, Beras Wutah menggambarkan kondisi, harapan dan keinginan sang pembuat keris, sehingga Beras Wutah kerap dihubungkan dengan keinginan untuk mendapat hasil panen melimpah, atau kehidupan yang lebih makmur. Di masa sekarang berarti rejeki dan penghasilan yang melimpah.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3 Email : admin@griyokulo.com
————————————