Jalak Nguwuh

10590558_1712292255668741_9142982091114899016_n

Mahar : 4.950.000,-(TERMAHAR) Tn. L, Yogyakarta


 
  1. Kode : GKO-211
  2. Dhapur : Jalak Nguwuh
  3. Pamor : Sekar Mayang
  4. Tangguh : Majapahit  Abad XIV
  5. Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 165/MP.TMII/II/2017
  6. Asal-usul Pusaka : Jakarta
  7. Keterangan lain : warangka timoho pelet beras wutah, pendok perak motif alas-alasan, mendak seling mirah
 

 
Ulasan :
JALAK NGUWUH, adalah salah satu bentuk dhapur keris yang bilahnya lurus, ukurannya sedang, gandik keris ini polos (tanpa sekar kacang dll) dengan ricikan lainnya pejetan dan tingil. Bagian ada-adanya terlihat jelas dan tebal, sampai ke ujung bilah, dengan demikian permukaan bilah. Keris ini bentuknya hampir mirip dengan bentuk keris dhapur Tilam Sari.

FILOSOFI, Tidak ada ukuran atau standar bagaimana suatu dapur atau pamor keris harus diinterpretasikan maknanya. Makna yang direfleksikan pada sebuah dapur keris akan sangat tergantung pada keleluasaan cakrawala masing-masing individu. Ajaran filsafat jawa yang dibungkus dalam suatu karya seni keris, tentunya mempunyai suatu perlambang tentang ajaran mengenai hidup dan kehidupan. Dalam hal ini budaya jawa membuka lebar-lebar setiap interpretasi, dengan tetap berpijak pula kepada ajaran budi luhur para leluhur.  Tidak ada salahnya jika kita sedikit memperluas cakrawala pemikiran. Kita mencoba untuk mencari, mempelajari dan memahami segala sesuatu dibalik nilai-nilai budaya, bukan sebaliknya justru meninggalkan dan membuang suatu karya budaya karena takut dituduh syirik atau dianggap kuno ketinggalan jaman.

Jalak (nama jenis burung), Nguwuh (mengundang dengan kicauannya). Jalak adalah salah satu burung yang eksotis burung yang suka berkelompok, tetapi jika sudah menemukan pasangannya maka burung-burung tersebut akan hidup berdua. Kecerewetan burung Jalak ternyata merangsang burung lain untuk mengeluarkan nyanyiannya. Burung ini ini kerap dijadikan bahan ilustrasi untuk menggambarkan betapa sebuah persahabatan antara dua ekor binatang terjalin begitu indah. Ya, Kerbau dan Jalak Hitam atau orang awam kerap menyebut Jalak Kebo atau Jalak Kerbau adalah contoh nyata terjadinya simbiosis mutualisme.

Hampir semua kebudayaan di Nusantara secara kolektif memiliki berbagai macam sudut pandang dalam melihat burung, baik burung sebagai hewan piaraan biasa maupun burung dalam dimensi yang lain. Di zaman kuno burung merupakan perlambang roh-roh orang yang telah meninggal. Ia disejajarkan dengan kehidupan alam atas. Burung tertentu dalam mitologi Nusantara diyakini memiliki naluri baik yang disumbangsihkan bagi keberlangsungan hidup. Dijadikannya burung sebagai salah satu lambang kesempurnaan hidup orang Jawa karena burung dianggap masyarakat Jawa sebagai perlambang kerinduan suatu makhluk untuk menggapai keluhuran baik budi pekerti maupun rohani. Burung juga merupakan simbol kemauan keras dalam memulai pekerjaannya pada pagi hari sebagai perlambang mencari penghidupan pada alam nyata dan pulang keperaduan pada petang hari untuk menyongsong kehidupan yang lain yaitu kehidupan ukhrawi. Bahkan menurut kepercayan orang Tua mimpi mendengar burung berkicau saja dipercaya akan mendapat kekayaan dalam bentuk rezeki yang melimpah.

TANGGUH MAJAPAHIT, Tantingannya sangat ringan dengan panjang bilahnya berukuran sedang, semakin ke ujung semakin ramping sehingga berkesan runcing dan agak pendek. Apabila kita perhatikan pada besinya tampak matang tempaan, lumer, kehitaman, terkesan basah pamornya juga terkesan menancap lumer pandes sekilas mirip dengan besi keris Sedayu yang tersohor itu. Hanya saja seperti pepatah dimana “tak ada gading yang tak retak” pada sepertiga bagian atas wilah tampak sang Batara Kala sudah mulai menggerogoti kecantikan sekar mayang yang masih sanggup bertahan berabad-abad. Dari sisi isoteri keris-keris tangguh Majapahit sebagai cikal bakal Nusantara dipercaya memiliki perbawa lebih dibandingkan keris tangguh lainnya, karenanya dari masa ke masa selalu mendapat tempat tersendiri di hati para pecinta keris.

 
PAMOR SEKAR MAYANG, Sekar dalam bahasa Indonesia berarti bunga, sedangkan Mayang adalah penyebutan Bahasa Jawa untuk nama dari bunga jambe (pinang). Bunga Mayang merupakan bunga pinang yang sedang mekar, berurai indah dan berbau wangi. Mekarnya bunga pinang dimaknai sebagai simbol untuk mengantarkan kepada kehidupan baru orang dewasa di dalam berkeluarga serta bermasyarakat  sehingga orang sekitar atau orang lain  dapat memetik bakti dan dharma-nya. Pamor ini juga bisa menjadi piwulang serta paweling (pembelajaran dan pengingat). Walaupun pohon jambe (pinang)  itu tumbuhnya menjulang tinggi tetapi bunga atau buahnya kecil dan banyak, artinya walaupun besar atau tinggi kedudukannya, pangkatnya, kepintarannya namun tetap harus mau melindungi yang kecil dan banyak memberi manfaat kepada orang lain, karena sebaik-baiknya orang adalah mereka yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain. Di dalam perkawinan hal tersebut mengandung makna lambang perlindungan (pengayoman), papan atau tempat yang teduh, nyaman, menyenangkan (Jawa: ayem tentrem). Maksudnya suami isteri itu wajib mengusahakan papan, perlindungan dan tempat yang menyenangkan di dalam membina rumah tangga. Di dalam kehidupan masyarakat Jawa, ketenteraman dan ketenangan hati merupakan satu hal yang dicari orang Jawa sebagai bentuk dari keadaan selamat.
Pamor Sekar Mayang dipercaya mempunyai tuah yang bisa membuat pemiliknya dikasihi oleh orang sekelilingnya, luwes dalam pergaulan, mudah mendapatkan pengikut, dan bahkan ada yang sangat mempercayai dapat digunakan untuk memikat lawan jenis. Walaupun penampilannya indah dan menyenangkan serta banyak dicari, pamor ini tergolong pamor pemilih, tidak semua orang dapat cocok untuk memilikinya.
Kayu Timoho, termasuk salah satu kayu yang sangat digemari dan dicari sebagai suatu kelengkapan pusaka tosan aji (terutama masyarakat yogyakarta), karena menurut kepercayaan mengandung isoteri tersendiri, maka dari itu para sesepuh kita dahulu sangat menghargai motif kayu pelet ini untuk kelengkapan tosan aji yang dimilikinya. Seperti pada warangka ini mempunyai pelet beras wutah, ialah sejenis pelet yang mempunyai gambaran titik-titik kecil dan merata pada seluruh kayu. Khasiat yang dimiliki ialah untuk pengasihan (dicintai semua makhluk, baik manusia juga binatang). Jenis kayu timoho berpelet beras wutah ini banyak dicari tak heran harganya termasuk lumayan.

Dilengkapi dengan pendok perak motif alas-alasan diamini menambah citra “ekslusif” tersendiri. Motif Alas-alasan menggambarkan suasana hutan (alas) dan seisinya. Umumnya terdapat gambar hewan dan tumbuhan. Secara semiotik, motif hias alas-alasan merupakan representasi dari dari “raja”, gumelaring jagad ; kekuasaan, kewibawaan, kemewahan, kehidupan dan kesuburan, serta perlindungan. Tak salah kiranya pada masa lalu pendok dengan motif alas-alasan hanya berhak dipakai oleh Raja dan Pangeran. Hanya saja pada bagian plisirnya (bingkai) sedikit terpotong miring (mungkin) untuk menyesuaikan condong leleh dengan warangkanya. Mendak Seling Mirah lawasan melingkar cantik di atas hulu kerisnya. Mendak disebut seling mirah untuk menamai permukaan yang dihias dengan intan atau batu mirah secara selang-seling.

Ada suatu kebanggaan tersendiri, apabila seorang pemilik tosan aji memiliki pusaka yang secara keseluruhan memiliki harapan/doa yang dikehendaki, mulai dari bilah yang terbuat dari besi yang baik, dhapur yang memiliki arti atau filosofi, pamor yang mempunyai tuah/khasiat, serta dibuat oleh Empu pilih tanding, disamping itu memiliki perlengkapan yang mrabot menunjang. Dan pada akhirnya semua hal tersebut bisa terwujud dalam satu kesatuan karena perkenan dan berkah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dialih-rawatkan (dimaharkan) sesuai dengan foto dan deskripsi yang tertera.

Contact Person :
 

Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan

Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3  Email : admin@griyokulo.com

————————————

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *