Mahar : 4.950.000,-(TERMAHAR) Tn. L, Yogyakarta
- Kode : GKO-211
- Dhapur : Jalak Nguwuh
- Pamor : Sekar Mayang
- Tangguh : Majapahit Abad XIV
- Sertifikasi : Museum Pusaka TMII No : 165/MP.TMII/II/2017
- Asal-usul Pusaka : Jakarta
- Keterangan lain : warangka timoho pelet beras wutah, pendok perak motif alas-alasan, mendak seling mirah
FILOSOFI, Tidak ada ukuran atau standar bagaimana suatu dapur atau pamor keris harus diinterpretasikan maknanya. Makna yang direfleksikan pada sebuah dapur keris akan sangat tergantung pada keleluasaan cakrawala masing-masing individu. Ajaran filsafat jawa yang dibungkus dalam suatu karya seni keris, tentunya mempunyai suatu perlambang tentang ajaran mengenai hidup dan kehidupan. Dalam hal ini budaya jawa membuka lebar-lebar setiap interpretasi, dengan tetap berpijak pula kepada ajaran budi luhur para leluhur. Tidak ada salahnya jika kita sedikit memperluas cakrawala pemikiran. Kita mencoba untuk mencari, mempelajari dan memahami segala sesuatu dibalik nilai-nilai budaya, bukan sebaliknya justru meninggalkan dan membuang suatu karya budaya karena takut dituduh syirik atau dianggap kuno ketinggalan jaman.
Jalak (nama jenis burung), Nguwuh (mengundang dengan kicauannya). Jalak adalah salah satu burung yang eksotis burung yang suka berkelompok, tetapi jika sudah menemukan pasangannya maka burung-burung tersebut akan hidup berdua. Kecerewetan burung Jalak ternyata merangsang burung lain untuk mengeluarkan nyanyiannya. Burung ini ini kerap dijadikan bahan ilustrasi untuk menggambarkan betapa sebuah persahabatan antara dua ekor binatang terjalin begitu indah. Ya, Kerbau dan Jalak Hitam atau orang awam kerap menyebut Jalak Kebo atau Jalak Kerbau adalah contoh nyata terjadinya simbiosis mutualisme.
Hampir semua kebudayaan di Nusantara secara kolektif memiliki berbagai macam sudut pandang dalam melihat burung, baik burung sebagai hewan piaraan biasa maupun burung dalam dimensi yang lain. Di zaman kuno burung merupakan perlambang roh-roh orang yang telah meninggal. Ia disejajarkan dengan kehidupan alam atas. Burung tertentu dalam mitologi Nusantara diyakini memiliki naluri baik yang disumbangsihkan bagi keberlangsungan hidup. Dijadikannya burung sebagai salah satu lambang kesempurnaan hidup orang Jawa karena burung dianggap masyarakat Jawa sebagai perlambang kerinduan suatu makhluk untuk menggapai keluhuran baik budi pekerti maupun rohani. Burung juga merupakan simbol kemauan keras dalam memulai pekerjaannya pada pagi hari sebagai perlambang mencari penghidupan pada alam nyata dan pulang keperaduan pada petang hari untuk menyongsong kehidupan yang lain yaitu kehidupan ukhrawi. Bahkan menurut kepercayan orang Tua mimpi mendengar burung berkicau saja dipercaya akan mendapat kekayaan dalam bentuk rezeki yang melimpah.
TANGGUH MAJAPAHIT, Tantingannya sangat ringan dengan panjang bilahnya berukuran sedang, semakin ke ujung semakin ramping sehingga berkesan runcing dan agak pendek. Apabila kita perhatikan pada besinya tampak matang tempaan, lumer, kehitaman, terkesan basah pamornya juga terkesan menancap lumer pandes sekilas mirip dengan besi keris Sedayu yang tersohor itu. Hanya saja seperti pepatah dimana “tak ada gading yang tak retak” pada sepertiga bagian atas wilah tampak sang Batara Kala sudah mulai menggerogoti kecantikan sekar mayang yang masih sanggup bertahan berabad-abad. Dari sisi isoteri keris-keris tangguh Majapahit sebagai cikal bakal Nusantara dipercaya memiliki perbawa lebih dibandingkan keris tangguh lainnya, karenanya dari masa ke masa selalu mendapat tempat tersendiri di hati para pecinta keris.
Dilengkapi dengan pendok perak motif alas-alasan diamini menambah citra “ekslusif” tersendiri. Motif Alas-alasan menggambarkan suasana hutan (alas) dan seisinya. Umumnya terdapat gambar hewan dan tumbuhan. Secara semiotik, motif hias alas-alasan merupakan representasi dari dari “raja”, gumelaring jagad ; kekuasaan, kewibawaan, kemewahan, kehidupan dan kesuburan, serta perlindungan. Tak salah kiranya pada masa lalu pendok dengan motif alas-alasan hanya berhak dipakai oleh Raja dan Pangeran. Hanya saja pada bagian plisirnya (bingkai) sedikit terpotong miring (mungkin) untuk menyesuaikan condong leleh dengan warangkanya. Mendak Seling Mirah lawasan melingkar cantik di atas hulu kerisnya. Mendak disebut seling mirah untuk menamai permukaan yang dihias dengan intan atau batu mirah secara selang-seling.
Griyokulo Gallery Jl. Teluk Peleng 128A Kompleks TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan
Facebook : Griyo Kulo SMS/Tlp/WA : 0838-7077-6000 Pin BB : D403E3C3 Email : admin@griyokulo.com
————————————